Salin Artikel

Kisah Para Perempuan NTT Melestarikan Kain Tenun Puncatiti

Jemari mereka bergerak lincah di atas alat penenun dari kayu dan bambu.

Tiga perempuan tersebut sedang membuat kain tenun Puncatiti. Keterampilan menenun kain Puncatiti ini diwariskan oleh orang-orang terdahulu di Kecamatan Congkar, Manggarai Timur.

Selain untuk keperluan adat, banyak masyarakat setempat menggantungkan hidup dari menenun kain Puncatiti.

"Saya biasa dedang (menenun) kain tenun Puncatiti pada pagi hari dan sore hari. Sebelum berangkat kerja di sawah dan kebun, saya bangun subuh untuk dedang. Kemudian saya melanjutkan pada sore hari," ujar Anastasia Ninging kepada Kompas.com, Senin (14/3/2023).

Anastasia menjelaskan, pekerjaan pokoknya adalah bekerja di kebun dan sawah, sedangkan menenun merupakan kerja sampingannya.

"Kalau ada orang yang pesan kain Puncatiti, baru saya kerjakan pesanan tersebut," jelasnya.

Namun menurutnya, ada pula masyarakat yang hanya bekerja menenun kain.

Anastasia menjelaskan, dia belajar membuat kain tenun Puncatiti dari sang ibu semenjak tamat dari Sekolah Dasar (SD).

Bermula melihat tangan sang ibu bekerja, Anastasia mulai praktik hingga tangannya piawai menenun.

Satu kain tenun Puncatiti bisa diselesaikan dalam dua minggu atau satu bulan tergantung waktu kosongnya.

"Awalnya saya melihat mama menenun. Saya duduk di sampingnya. Jadi melihat sambil belajar. Di saat itulah mama mengajarkan saya cara dedang kain tenun puncatiti, hingga saya bisa menenun seperti sekarang ini," jelasnya.

Saat ini, lanjut Anastasia, ia bisa menghasilkan dua kain tenun puncatiti dalam sebulan.

Selama dua minggu menghasilkan satu kain, tergantung waktu kosong," jelasnya.

Harga kain tenun Puncatiti

Anastasia menjelaskan, ia biasa menjual kain Puncatiti dengan harga Rp 600.000 untuk satu lembar kain.

"Kalau dihitung-hitung harga jual dan beli bahannya, keuntungan saya tidak banyak karena proses menenun itu membutuhkan waktu lama dan sangat sulit. Butuh kesabaran, ketenangan dan fokus untuk menghasilkan satu kain tenun puncatiti," jelasnya.

Penenun kain Puncatiti lainna, Regina Inus mengatakan, baginya menenun kain puncatiti sama artinya melestarikan warisan leluhur.

"Saya tahu menenun sejak tamat Sekolah Dasar tahun 1983. Saya juga belajar menenun dari mama saya. Kini saya bisa dedang dengan beberapa motif sesuai pesanan," jelasnya.

Regina menjelaskan, warna dasar kain tenun puncatiti adalah warna hitam dengan delapan motif.

Kedelapan motif itu dalam bahasa Congkar yaitu, motang ringgik, matang tondang, akik leka, saung tidam, matang tondang hum sua, akik leka hum empat, wela runus dan Kali ruit.

"Saya dan mama-mama di Kampung Wangkar sudah bisa menenun delapan motif ini. Biasanya satu motif yang lebih menonjol di satu kain puncatiti. Memang dalam satu kain itu ada delapan motif, namun, satu yang lebih menonjol untuk bisa membedakannya," jelasnya.

Regina menjelaskan, motif kain tenun puncatiti berbentuk garis lurus dari atas ke bawah.

Ini yang membedakan kekhasan kain tenun puncatiti dengan kain tenun lainnya di wilayah Manggarai Raya.

"Dulu saat saya belajar menenun, mama saya memberi pesan bahwa anak perempuan harus bisa menenun supaya merawat, melestarikan dan menjaga warisan nenek moyang, khususnya kaum perempuan di kampung (anak loe, pecing dedang, tuing anak loe dedang). Selain itu, hasil kain tenun bisa menghasilkan uang untuk membeli beras, jagung dan keperluan adat istiadat," jelasnya.

"Kalau saya fokus menenun untuk sebulan bisa menghasilkan uang sebesar Rp 1.800.000; kalau dijual dengan harga Rp 600.000; tetapi kadang-kadang tidak ada pemasukkan tergantung orang pesan," lanjut dia.

Biaya pendidikan anak

Regina menjelaskan, hasil penjualan kain tenun Puncatiti dipakai untuk biaya pendidikan anak sekolah dan menopang ekonomi keluarga.

Regina juga melatih anak perempuannya hingga sang anak sudah bisa menenun.

Anak gadisnya itu sudah mengikuti pelatihan menenun di pusat Industri Kecil Menengah (IKM) Rana Tonjong. Tapi anak gadisnya itu kini merantau ke Kalimantan.

Sedangkan satu anak yang lain sedang mengenyam pendidikan Sekolah Menengah Atas di Kota Ruteng, Kabupaten Manggarai.

"Kesulitan mewariskan dan melatih anak gadis di kampung ini yakni mereka mengenyam pendidikan SMA di perkotaan. Selain itu anak gadis tidak banyak yang berminat menenun lagi," jelasnya.

Regina menjelaskan, khusus untuk Kampung Wangkar, ada kurang lebih 100 perempuan penenun kain tenun Puncatiti.

Sedangkan penenun lainnya, Petronela Evi menjelaskan pada zaman dulu, empat kain tenun puncatiti bisa ditukar dengan seekor kuda untuk keperluan adat istiadat. Selain itu, kain tenun puncatiti bisa tukar dengan sebidang tanah.

"Kain tenun puncatiti di zaman dulu bahannya dari olahan kapas sehingga tidak luntur saat dicuci, beda dengan bahan benang yang beli di toko, kainnya bisa luntur saat dicuci," jelasnya.

Para penenun kain berharap lembaga pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas melatih siswi untuk menenun kain tenun puncatiti supaya warisan ini terus menerus berlanjut bagi generasi berikutnya.

"Kami sangat khawatir dengan usia kami saat ini bahwa suatu saat kain tenun puncatiti hilang. Apalagi anak gadis masih belajar di sekolah yang jauh dari Kampung Wangkar," harapannya.

https://regional.kompas.com/read/2023/03/14/090801378/kisah-para-perempuan-ntt-melestarikan-kain-tenun-puncatiti

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke