Salin Artikel

Sejarah Hari Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi: Penyebab, Kronologi, dan Dampak

KOMPAS.com - Tanggal 5 Februari selalu diperingati sebagai Hari Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi.

Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi adalah peristiwa sejarah pemberontakan di kapal Zeven Provinciën, salah satu kapal terbesar milik pemerintah Hindia Belanda.

Dalam buku De Zeven Provinciën: Ketika Kelasi Indonesia Berontak 1933 (2015) oleh J.C.H. Blom dan Elly Touwen-Bouwsma yang diterbitkan oleh LIPI, disebutkan bahwa kapal ini dipergunakan sebagai kapal latih di mana para pelaut pribumi mendapatkan pendidikan praktik di kapal tersebut.

Para pelaut pribumi mendapatkan pendidikan praktik di kapal ini setelah menempuh pendidikan yang lebih bersifat teoritis di Pendidikan Dasar Pelaut Pribumi ( Kweekschool voor Inlandse Schepelingen atau KIS) di Makassar

Pemberontakan di kapal Zeven Provinciën ini juga dikenal sebagai salah satu peristiwa besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Penyebab Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi

Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi diketahui melibatkan kelasi dan perwira menengah Belanda yang dipicu protes terhadap pengurangan gaji yang ditetapkan Gubernur Jenderal B.C. De Jonge.

Terjadinya Pemberontakan di kapal De Zeven Provinciën memang bertepatan dengan krisis ekonomi yang melanda seluruh lapisan masyarakat Hindia Belanda.

Hal ini bermula pada saat Pemerintah Hindia-Belanda membuat keputusan untuk melakukan pengurangan gaji sebanyak 7%, termasuk bagi anggota marinir pribumi.

Keputusan pengurangan gaji tersebut diumumkan secara resmi masing-masing pada 26 Januari dan 30 Januari 1933.

Keberatan mencuat mengingat sebelumnya besaran gaji telah dua kali diturunkan, masing-masing sebesar 5%.

Kronologi Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi

Keputusan untuk melakukan pengurangan gaji tersebut memicu pemogokan kerja di kapal-kapal maupun di lembaga-lembaga marinir di darat pada 30 Januari 1933.

Saat itu lebih dari 400 awak kapal yang hampir semuanya berasal dari Eropa terlibat di dalamnya.

Berita pengurangan gaji dan contoh pemogokan anggota Eropa juga menyebabkan terjadinya pemogokan yang sama di kalangan anggota pribumi pada 3 Februari 1933.

Hal ini juga menimbulkan pikiran di kalangan sekelompok kecil pribumi di De Zeven Provinciën untuk melayarkan kapal ke Surabaya sebagai pelayaran unjuk rasa.

Saat itu De Zeven Provinciën tengah membawa awak kapal yang terdiri dari 141 Eropa dan 256 orang pribumi.

Pada 4 Februari 1933, rencana-rencana pemberontakan di Kapal De Zeven Provinciën itu semakin jelas.

Sekelompok pribumi dari Manado dan Ambon bersama Paradja dan Kawilarang yang merupakan kelasi kelas satu dan tokoh terpenting, menjadi pemimpin.

Paradja berhasil menguasai kunci rak senjata dan lemari tempat menyimpan amunisi, namun ketika melakukan rencana dia ketahuan dan harus melarikan diri.

Sementara Kawilarang kemudian memberi aba-aba dimulainya pemberontakan yang dilakukan lebih awal dari rencana.

Dalam ketegangan tinggi, mereka berhasil menguasai persenjataan serta masuk ruang mesin dan berhasil membuat kapal siap berlayar.

De Zeven Provinciën kemudian mulai berlayar dengan tenang dan tertib melalui pantai barat Sumatera menuju ke Surabaya sebagai suatu bentuk unjuk rasa.

Pada 5 Februari 1933, disusun telegram dalam bahasa Belanda dan Inggris yang menyatakan:
“Kapal dikuasai para awak dan berlayar menuju Surabaya. Sehari sebelum merapat komando akan diserahkan pada komandan. Kami memprotes pengurangan gaji yang tidak adil, dan menuntut pembebasan langsung rekan kami yang ditahan tiga hari yang lalu. Di kapal semua dalam keadaan baik, tidak ada kekerasan dan tidak ada yang terluka.”

Di sisi lain, komandan De Zeven Provinciën dan para petinggi marinir di Batavia dan Surabaya sangat gusar karena kejadian ini.

Para awak Belanda sangat terpukul karena tidak menyangka bahwa awak Indonesia berani dan mempunyai kemampuan mengemudikan kapal.

Komandan Eikenboom yang tertinggal di Olehleh bersama-sama awak De Zeven Provinciën lain yang tertinggal secepat mungkin menyusul.

Mereka segera menggunakan kapal uap milik pemerintah, De Aldebaran. Tak berselang lama, De Aldebaran dan De Zeven Provinciën akhirnya saling berhadapan.

Namun De Zeven Provinciën mengusir De Aldebaran, Kawilarang yang berada di menara komando memberikan isyarat peringatan akan menembak semua kapal yang lewat di sisi.

Pemerintah Hindia Belanda juga memperingatkan kapal-kapal agar menjauhi kapal yang dianggap sedang berontak tersebut.

Kemudian pada 7 Februari 1933, kapal De Aldebaran digantikan oleh De Eridanus dan pada 9 Februari kapal itu De Eridanus digantikan oleh De Orion.

Perhitungan mereka adalah bahwa De Zeven Provinciën berencana berlayar sepanjang pantai barat Sumatra terlebih dulu, kemudian melalui Selat Sunda, menyusuri pantai utara Jawa, dan langsung ke Surabaya.

Sehingga diputuskan untuk menyerang kapal De Zeven Provinciën tepat sebelum mereka memasuki Selat Sunda.

Konfrontasi terhadap pemberontakan di Kapal De Zeven Provinciën terjadi pada hari Jumat, 10 Februari 1933 yang dilakukan dari udara.

Pesawat Dornier D 11 kemudian menjatuhkan bom 50 kg dari ketinggian 1.200 meter yang mengenai titik di dekat anjungan De Zeven Provinciën dan langsung meledak.

Dampak Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi

Akibat serangan Pesawat-Dornier D 11, De Zeven Provinciën mengalami kerusakan pada beberapa bagian meski tidak cukup berat.

Namun korban jiwa dalam penyerangan tersebut cukup banyak akibat ledakan bom yang menghantam bagian geladak.

Sebanyak 19 orang tewas yang terdiri dari 3 orang Eropa dan 16 pribumi, termasuk di antaranya Paradja dan beberapa pemuka pemberontak.

Selain itu 11 orang luka berat yang terdiri dari 3 orang Eropa dan 8 orang pribumi, di mana empat orang di antaranya kemudian tewas.

Ada juga tujuh orang yang luka ringan, yaitu 2 orang Eropa dan lima orang pribumi.

Kapal De Zeven Provinciën kemudian menyerah dan berlayar menuju pulau Onrust, di mana para pemberontak ditahan di dalam bekas gedung karantina.

Adapun korban tewas dari awak Indonesia dimakamkan di Pulau Kerkhof; awak Eropa di Pulau Purmerend.

Selanjutnya, pada tahun 1933 para pemberontak dihadapkan dengan pengadilan militer.

Para awak Indonesia dijatuhi hukuman penjara antara 6 tahun sampai dengan 18 tahun, sementara awak Eropa, awalnya dijatuhi hukuman penjara antara 4 tahun sampai dengan 16 tahun.

Dalam pengadilan banding awak Eropa kemudian mendapat pengurangan hukuman.

Sementara dikutip dari laman Universitas Malahayati, Dampak dari Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi antara lain:

1. Gubernur Jenderal De Jonge mendapat dari berbagai pihak karena kebijakan yang diambil, termasuk dari kelompok orang Eropa yang ada di Hindia Belanda.

2. Kaum Nasionalis menjadi kambing hitam terhadap terjadinya peristiwa pemberontakan tersebut, karena pemerintah Hindia Belanda menjadi lebih ketat lagi dalam, mengawasi kegiatan kaum nasionalis.

3.Campur tangan pemerintah terhadap semua partai politik yang ada di Hindia Belanda semakin dalam.

4. Sejumlah media massa dibredel, pimpinan redaksinya ditahan, dan pergerakan nasional diberangus.

Sumber:
 malahayati.ac.id  
 penerbit.brin.go.id  

https://regional.kompas.com/read/2023/02/05/143944778/sejarah-hari-peristiwa-kapal-tujuh-provinsi-penyebab-kronologi-dan-dampak

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke