Salin Artikel

Pelajaran dari LRT Palembang

Setelah hampir 3-4 tahun diragukan manfaatnya dalam sistem pergerakan Kota Palembang (2019-2022), kini keberadaan LRT Palembang masuk dalam babak baru setelah muncul feeder berupa mikrolet yang dioperasionalkan secara modern dan mengutamakan kenyamanan pengguna.

Sistem pembayarannya menggunakan QRIS dan hanya akan mengangkut 8-9 penumpang dalam setiap perjalanannya.

Sebab LRT Palembang bukanlah melayani kebutuhan pergerakan. Namun, menciptakan sistem pergerakan baru (to create demand).

Di sinilah letak dari tantangan transportasi perkotaan di Indonesia secara umum. Pola pergerakan yang sangat acak dan atomization (individual) telah melahirkan ketidakteraturan pola pergerakan.

Sehingga mengubahnya menjadi massification (masal) dan teratur menjadi tantangan yang sangat kompleks.

Jika tidak dilakukan secara sistematis dan integratif, maka secara finansial, transportasi publik akan terus menelan biaya besar dalam pembangunan dan pengoperasionalannya.

Akan tetapi, jika tepat dalam membangun sistem layanannya, maka mengoperasionalkan transportasi publik akan menjadi relatif mudah dan menimbulkan keteraturan sistem pergerakan.

Secara tidak langsung juga akan menghadirkan sistem ekonomi baru bagi kota dan pemerintah kota. Sebab setiap kota memiliki jutaan perjalanan per hari. Setiap pergerakan memiliki nilai dalam rupiah.

Jika dapat diakumulasi dalam sistem pergerakan perkotaan terpadu, yang disertai dengan pembangunan stasiun ataupun terminal yang dilengkapi dengan kegiatan komersial dan layanan pemerintah, maka perputaran uang dalam sistem transportasi dan kegiatan pendukungnya akan menjadi income generate banyak pihak dan bisa menjadi sumber pajak baru bagi pemerintah.

Hal ini juga akan menjadi sumber kegiatan ekonomi baru bagi masyarakat sekitarnya. Inilah sesungguhnya yang menjadi cikal bakal munculnya konsep TOD (transport oriented development) dan LVC (land value capture).

Ketika pembangunan sarana dan prasarana berdampak pada kemunculkan kegiatan ekonomi baru dan menjadi sumber pendapatan baru bagi pemerintah, manfaat pembangunannya dilihat oleh masyarakat sebagai peluang untuk membuat usaha baru bagi mereka.

Usaha masyarakat inilah yang akan melahirkan aktivitas ekonomi baru dan sumber pendapatan baru bagi pemerintah (pajak).

Membangun LRT memang membutuhkan biaya yang sangat besar. LRT Palembang  membutuhkan biaya hingga Rp 10,9 Triliun untuk membangun rute sepanjang 24,5 Km dengan 13 stasiun.

Artinya, secara keseluruhan dibutuhkan dana hingga sekitar Rp 450 Miliar per Km. Proses pembangunannya membutuhkan waktu 3-4 tahun (2015-2018).

LRT Palembang cukup cepat proses pembangunannya karena ditujukan untuk melayani kegiatan Asian Games 2018. Setelahnya ditujukan untuk mendorong pengembangan sistem transportasi perkotaan Palembang secara berkelanjutan.

Seandainya saja tidak ada pendorong percepatan pembangunan LRT Palembang berupa even internasional seperti itu, maka prosesnya bisa saja mangkrak seperti monorel Jakarta yang dirintis medio 2004.

Di situlah pemerintah belajar bahwa pembangunan angkutan umum serupa LRT maupun MRT memang tidak akan feasible dari sisi bisnis sehingga tidak bisa mengharapkan swasta murni untuk membangunnya seperti monorel Jakarta. Di dalamnya tetap harus ada campur tangan pemerintah secara langsung.

Itulah sebabnya pembangunan angkutan umum berbentuk MRT maupun LRT, dan apalagi seperti KA cepat (HST) tidak bisa ditawarkan kepada swasta untuk membangunnya.

Penyebabnya adalah biaya pembangunannya yang sangat mahal dan pasar (pengguna) belum terbentuk.

Sebab yang ada adalah menciptakan penggunaan angkutan umum. Bukan melayani dan memfasilitasi pola pergerakan yang sudah ada.

Sehingga dari sisi investasi tidak akan menarik, apalagi jika model investasi swasta yang pendanaannya bersumber dari perbankan. Dari sisi bisnis tidak akan mungkin menarik.

Dan persoalan supply and demand dalam sistem transportasi perkotaan di Indonesia sangat kompleks apalagi jika nanti dikaitkan dengan struktur tata ruang perkotaan yang menciptakan pergerakan acak.

Hal ini yang menuntut pembangunan transportasi publik harus sistematis dan integratif. Sistematis maksudnya dibangun dengan tahapan yang tepat, proses yang benar dan jika dibangun bertahap maka tahapanya harus tepat dan jelas.

Integratif maksudnya adalah terkoneksi dari pola perjalanan individual (berjalan kaki dan menggunakan non motoried transport), ke penggunaan bus/mikrolet untuk dibawa ke main transportation berupa kereta api (LRT/MRT).

Jadi artinya, keberadaan LRT/MRT dalam sistem transportasi perkotaan adalah alat angkut utama pergerakan orang.

Sifatnya yang massal sangat tepat untuk menjadi alat transportasi utama perkotaan. Karena menjadi rute utama dan bersifat massal, maka harus ditopang oleh transportasi penghubung (feeder). Seperti yang sekarang ini diterapkan di Palembang.

Di negara lain, bahkan setiap stasiun juga menjadi terminal. Sehingga ada keterpaduan dalam pengembangan sistem transportasi perkotaannya yang bukan hanya bersifat intermoda (sejenis) bahkan juga intramoda (multi jenis).

LRT Palembang memberikan pembelajaran yang baik bagi pengelola dan pelaksana pembangunan angkutan umum perkotaan di luar Jawa. Bahwa dibutuhkan keterpaduan antarangkutan umum wilayah perkotaan.

Karena sifat pergerakan warga kota adalah atomization (individual) dan sangat acak, maka untuk memperbaikinya dibutuhkan sistem angkutan umum yang kuat dan terintegrasi.

Sistem transportation network harus dibuat dengan memperhatikan pembenahan pada struktur tata ruang kota yang menciptakan pergerakan.

Untuk itu, menyatunya rekayasa transportasi dengan rekayasa tata ruang sangat diperlukan, untuk menciptakan demand pergerakan. Dengan begitu, supply akan mendapatkan pembenarannya.

https://regional.kompas.com/read/2023/01/04/10544231/pelajaran-dari-lrt-palembang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke