Salin Artikel

Tak Bisa Aborsi, Korban Pemerkosaan di Bawah Umur Ditampung Panti Sosial

SUMBAWA, KOMPAS.com - Pagi itu, Rabu, 2 November 2022, ada kelas menjahit di Panti Sentra Paramita. Ruangan kelas yang cukup luas terkesan hening. Enam anak yang hadir sedang menggunting pola dan meramu benang tanpa suara.

Di meja paling depan, terlihat ibu guru sedang menanti anak didiknya selesai mengerjakan tugas. Murid masih sibuk menyelesaikan desain masing-masing. Ada dua model desain yang diberikan, mereka bisa memilih salah satunya.

Sekilas tidak ada yang beda situasi kelas ini dengan kelas menjahit lainnya. Namun kenyataannya, kelas menjahit di panti ini bukan kelas biasa. Keenam murid yang ikut kelas menjahit ini adalah anak yang menjadi korban pemerkosaan.

Fakta lainnya, tiga di antara mereka sedang hamil dan trauma. Sementara dua anak itu sudah menjalani proses persalinan dan anaknya diadopsi negara. Sedangkan, satu di antaranya sedang menjalani rehabilitasi pasca-mengakses layanan aborsi tidak aman.

Sentra Paramita adalah Unit Pelaksana Teknis Kementerian Sosial RI yang bentuknya Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA). Sentra Paramita membina anak yang berhadapan dengan hukum, rehabilitasi dan pemulihan trauma seperti korban kekerasan seksual, pemerkosaan, eksploitasi dan kekerasan fisik lainnya.

Sentra Paramita terletak di Jalan Tgh Saleh Hambali, Kecamatan Labu Api, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Di meja nomor dua, C (13) terlihat murung. Pandangan matanya kosong. Sesekali ia tersenyum, namun rona wajahnya lesu. Sepintas ia terlihat banyak pikiran.

"Saya menunggu proses persalinan. Setelah lahiran, saya mau sekolah lagi. Saya tidak tahu sampai kapan tinggal di sini," katanya sambil menarik napas panjang.

Kehidupan C seketika berubah saat dinyatakan positif hamil karena diperkosa. Wali kelas di sekolah membawanya ke klinik kandungan karena C tidak tahu. Usia kehamilannya ternyata sudah lebih 8 bulan saat kasus itu terungkap pada Oktober 2022.

"Saya masih ingin melanjutkan sekolah. Saya punya asa gapai cita-cita," ucap C.

Ia harus melewati hari-hari yang sulit. Tapi tidak ada pilihan lain. Proses pemeriksaan yang rumit di kepolisian sampai pendampingan psikologis, tentu bukan hal mudah untuk dilalui.

Pihak Polsek kemudian melimpahkan kasus itu ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satuan Reskrim Polres Sumbawa. Kasusnya sampai saat ini dalam proses penyidikan.

Ketika proses itu selesai, ia harus ke Pulau Lombok untuk menjalani pemulihan trauma dan rehabilitasi di Sentra Paramitha.

Kejadian yang menimpa C, juga dialami N (14), seorang pelajar SMP di salah satu kecamatan di Kabupaten Sumbawa. N diperkosa oleh orang dewasa yang juga pengurus masjid di kampungnya. Pelaku sudah punya istri dan anak.

Saat ketahuan hamil pada awal tahun 2022, N mencoba menggugurkan kandungan tapi tidak berhasil.

“Saya sudah minum bodrex dan pijat. Tapi tidak bisa mempan,” ungkap N.

Karena perut N terus membesar, ia melaporkan kejadian itu ke orangtuanya.

Orangtua lalu melaporkan kasus kekerasan seksual itu ke Polres Sumbawa. Pelaku T (40) ditangkap dan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara di Pengadilan Negeri Sumbawa.

“Trauma ini akan saya jalani seumur hidup,” kata N saat wawancara dengan Kompas.com.

Trauma akan selalu membayangi korban pemerkosaan, termasuk juga M, remaja usia 14 tahun asal Lombok Barat yang diperkosa ayah angkatnya hingga hamil.

Ibunya yang bekerja sebagai pedagang di pelabuhan membuatnya sering pulang larut malam, bahkan kerap pulang di pagi hari.

M yang masih SMP itu diperkosa sejak Juni 2021. Dia bahkan diancam dibunuh oleh pelakunya. Karena takut, M tidak berani melapor ke ibunya dan akhirnya dia hamil.

"Kami datang dari Sulawesi. Tidak ada kerabat di Lombok. Kami merantau di sini," kata M yang mengaku kalau ayah kandungnya bekerja di Bali dan dia masih punya tiga adik yang masih kecil.

Petugas puskesmas menyarankan M untuk dirujuk ke Paramitha sembari kasusnya berproses di Polres Lombok Barat.

Sekretaris LPA Fatriatulrahma mengatakan, semua korban kekerasan seksual seperti C, M dan N akan melahirkan di Paramita.

"Agar kebutuhan gizinya terpenuhi serta mendapat penangan pemulihan trauma dan rehabilitasi," kata Fatriatulrahma, Minggu, (23/10/2022).

“Sampai lahiran di sini dan anaknya diadopsi oleh negara,” kata Lalu Zohri, pendamping sosial di Panti Paramitha.

Kini M sudah tiga bulan tinggal di Paramita, sementara C dan N juga masing-masing sudah 3 minggu dan enam bulan setelah melahirkan, N sudah keluar dari panti.

M dan C, sama-sama sedang menunggu proses kelahiran bayi yang mereka kandung.

Sementara, di ruang perawatan bayi, R (17) sedang menyusui. Ia belum genap sebulan melahirkan secara caesar.

Ia masih mengingat sulit dan sakitnya melahirkan. Di ruangan operasi, R hanya ditemani ibu pendamping dan petugas kesehatan. Karena masih kepayahan, ia belum bisa bergabung untuk mengikuti kelas menjahit.

"Saya belum sembuh, setiap minggu harus periksa kesehatan. Saya baru pulang dari rumah sakit," kata R.

"Saya diperkosa ayah sejak kelas satu MA pada tahun 2020 hingga seterusnya naik kelas dua aksi bejat itu terus berulang setiap hari sampai hamil. Bahkan, kakak saya juga diperkosa sejak masih SD oleh ayah," kata R yang bercerita sambil terisak.

Ia tidak bisa lagi menahan air mata. Sampai saat ini ia masih bingung. Memanggil anak atau adik pada sang buah hati.

Aksi bejat ayahnya terjadi karena sang ibu menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI). R dan kakaknya tinggal bersama sang ayah. Selama bertahun-tahun menjadi korban, keduanya tidak bisa melaporkan kasus perkosaan itu.

Buliran air mata R jatuh begitu saja. Kasus ini sudah berproses di Polres Lombok Tengah dan sang ayah BH (57) sudah ditetapkan sebagai tersangka.

"Trauma ini akan saya jalani seumur hidup," ucap R.

Di ruangan itu, ada tiga bayi yang sedang dirawat intensif. Ada tempat bermain dan dua pengasuh yang tersenyum ramah. Mereka merawat bayi-bayi itu seperti anak sendiri.

"Ada bayi yang ditelantarkan orangtua, serta ada bayi dari korban perkosaan," kata Lalu Zohri.

Aborsi ilegal alternatif korban kekerasan

Setiap hari semua anak ini menjalani rutinitas dengan teratur. Dari bangun tidur, olahraga, makan, mengikuti kelas pendampingan, kelas pelatihan, kelas konseling dan pemulihan trauma, serta aktivitas lainnya.

Selama di sini, para korban merasa tidak sendiri. Ada teman dan ibu pendamping yang siap mendengar keluh kesahnya kapan saja.

Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) atas surat rekomendasi dari Polres Sumbawa dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sumbawa memang merujuk ke Sentra Paramitha Mataram untuk mendapatkan rehabilitasi sosial dan pelayanan psikologis penyembuhan trauma.

Selain menunggu kelahiran, panti ini juga menjadi tempat rujukan untuk korban kekerasan seksual yang keguguran.


L (16) ini misalnya. L sedang menjalani pemulihan trauma dan rehabilitasi di Sentra Paramitha NTB karena keguguran setelah aborsi tidak aman yang dilakukan keluarganya. L hamil akibat kekerasan seksual.

Awalnya remaja itu enggan berbagi. Ia terus terisak. Pencabulan yang dilakukan sang pacar membuatnya menjalani masa sulit.

Saat bentuk tubuhnya berubah, nenek L memberinya ramuan-ramuan hingga akhirnya dia pendarahan dan dirujuk ke puskesmas.

Dokter merujuk L tinggal dan menjalani pemulihan di Paramita. Sudah hampir empat bulan dia menetap di sana, namun trauma masih membayangi dirinya. L beruntung selamat dari aborsi ilegal yang membahayakan jiwanya.

"Saya tidak tahu sampai kapan di sini. Tapi selama di panti, saya merasa bahagia. Ada banyak teman di sini, kami saling menguatkan," kata L yang berasal dari salah satu kecamatan di Sumbawa.

Lembaga Komnas Perempuan menerima pengaduan kasus pemaksaan aborsi, meski tidak hanya untuk kasus pemerkosaan saja.

Berdasarkan pengaduan yang diterima Komnas Perempuan, tercatat 147 kasus pemaksaan aborsi dari 2016-2021. Pelaku pemaksaan aborsi ini beragam mulai dari orangtua, suami ataupun pacar.

Apa yang dialami C, N, M, R dan L adalah kerentanan ketika negara tidak melindungi korban kekerasan seksual secara penuh.

Sebagai korban pemerkosaan, kehamilan mereka diketahui saat ada perubahan bentuk tubuh dengan kehamilan yang melebihi bulan keempat atau melebihi 120 hari. Padahal, saat itu sudah melewati batas pengguguran kehamilan yang ditetapkan UU kesehatan, yaitu enam minggu dihitung sejak haid terakhir.

Dampaknya, penyintas harus berhenti sekolah dan melahirkan pada usia dini karena tak ada jalan mendapatkan akses aborsi aman. Tentu saja setelah usaha penguguran kandungan tidak berhasil. Hal ini semakin menambah risiko kerentanan hingga kematian ibu akibat kehamilan yang tidak diinginkan.

Selama 2021, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mencatat kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi sebanyak 959 kasus. Angka ini meningkat tajam jika dibandingkan dengan tahun 2019 dan tahun 2020 yaitu masing-masing 545 dan 845 kasus. Hingga bulan Oktober 2022, tercatat 188 kasus kekerasan seksual pada anak di NTB.

Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTB mencatat setidaknya 392 kasus kekerasan terjadi pada perempuan sejak Januari hingga 16 Desember 2021.,Sementara kasus kekerasan pada anak sebanyak 567 kasus.


Di NTB, banyak korban melakukan aborsi yang tidak aman dengan pijat dan jamu. Ketika penyintas pemerkosaan pada akhirnya memilih aborsi, mereka akan dikeluarkan dari sekolah karena hamil dan dianggab aib keluarga.

Selanjutnya, para penyintas ada yang memutuskan menjadi buruh migran akibat gagal meneruskan sekolah. Padahal, aborsi aman disebut dalam UU Kesehatan nomor 36 tahun 2009 Pasal 75 ayat 2, kecuali ada kedaruratan medis maka bisa dilakukan layanan aborsi aman.

Terkait layanan aborsi aman untuk korban pemerkosaan, dokter spesialis opgin harus mendapatkan izin dari organisasi profesi sebelum mengambil tindakan itu. Umur kehamilan juga kurang dari 14 minggu.

Layanan aborsi aman menurut UU Kesehatan biasanya dilakukan di layanan kesehatan yang ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan.

Namun belum bisa ditemukan di kawasan NTB hingga saat ini. Rumah sakit Polda NTB juga tidak menyiapkan layanan ini, kendati mereka bisa saja melakukan hal tersebut dengan permintaan penyidik.

"Kami siap layani jika ada permintaan dari penyidik terkait dugaan kasus aborsi atau keguguran melalui pemeriksaan janin atau otopsi untuk mengetahui penyebab kematian, apakah ada unsur kekerasan atau tidak," jelas Kaur Dokpol RS Bayangkara Polda NTB Iptu I Nyoman Madiasa.

Ada banyak faktor yang menyebabkan anak perempuan korban pemerkosaan sulit mendapat hak aborsi aman, di antaranya faktor hak hidup pada janin dalam kandungan.

Menurut Fatriatulrahma, bagaimanapun proses yang dilalui oleh korban, janin dalam kandungan memiliki hak untuk hidup.

Ia mengaku pernah ada beberapa kali saat pendampingan pada anak korban pemerkosaan yang ingin aborsi namun opsi yang ia berikan adalah harus melahirkan anak tersebut dan rehabilitasi di Sentra Paramitha kemudian anaknya bisa adopsi oleh negara.

"Karena ada ancaman pidana bagi korban, dan semua orang yang terlibat di dalam proses itu juga terancam pidana jika memilih jalan aborsi," kata Fatriatulrahma.

Meskipun ada UU yang mengatur tetapi ada batas waktu dengan usia kandungan.

"Batas usia kandungan itu yang membuat kita sulit, dan kita sebagai penyidik terancam pidana jika menyarankan aborsi pada korban pemerkosaan," kata Kanit PPA Polres Sumbawa, Aiptu Arifin Setioko pada Senin (24/10/2022).


Selain itu, menurut Divisi Bantuan Hukum LBH Apik NTB, Ida Md Kartana bahwa faktor budaya dan agama menyebabkan korban perkosaan tidak bisa mendapatkan hak secara komprehensif termasuk layanan aborsi aman.

"Kalau di Lombok sulit korban perkosaan mendapatkan haknya secara penuh karena ada awik-awik dalam adat sasak. Bahkan, pernah kami advokasi korban yang hendak dinikahkan dengan pelaku,” katanya.

"Begitu juga di Sumbawa ada adat yang berlaku. Sehingga aborsi pada korban pemerkosaan ini masih tabu, penuh stigma dan pelabelan pada korban," kata dia menambahkan.

Sementara, Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum (PKBH) UIN Mataram, Yan Mangandar, mengatakan, dari mulai proses pelaporan, penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan korban pemerkosaan menghadapi tantangan yang tidak mudah.

"Korban menjadi korban berkali-kali saat proses itu, agar korban mendapatkan hak secara penuh sepertinya butuh perjuangan yang panjang," kata Yan.

Kriminalisasi dan stigma korban pemerkosaan yang ingin aborsi

World Health Organization menemukan fakta bahwa terjadi sekitar 56 juta aborsi di dunia, dan 25 juta di antaranya adalah aborsi tidak aman. 98 persen dari 25 juta aborsi tidak aman tersebut terjadi di negara berkembang, termasuk di Indonesia, dan 40 persen di antaranya tidak mendapat perawatan.

Sedangkan, Badan Pusat Statistik menyatakan bahwa 4,1 persen dari kematian ibu di Indonesia disebabkan oleh keguguran atau aborsi tidak aman.

Pada sidang Dewan PBB pada 09 November 2022, Ika Ayu dari Save All Women and Girls (SAWG) merespons Universal Periodic Review (UPR) yang disampaikan pemerintah Indonesia.

Ika Ayu menyampaikan kekecewaan pada pemerintah Indonesia yang kurang siap merespons isu seksualitas, kekerasan berbasis gender, hak kesehatan reproduksi, kesehatan ibu dan anak dan asas aborsi aman yang semestinya dilakukan sebagai upaya untuk mencapai SDGs.

Dalam pantauan SAWG, kriminalisasi aborsi pada korban pemerkosaan telah terjadi pada 108 vonis kriminal di seluruh wilayah Indonesia dari tahun 2019 hingga 2021. Dari 31 vonis yang ada, perempuan atau remaja yang melakukan aborsi mengalami kriminalisasi.

Selain itu, 54 penyedia layanan dan pihak yang menjual obat-obatan pemicu aborsi dikriminalisasi. Begitu pula, 46 orang yang memberikan pendampingan informasi dan obat-obatan.

Dari 108 vonis tersebut, 51 di antaranya terkait dengan sanksi pidana dalam undang-undang kesehatan, 36 terkait dengan sanksi pidana berdasarkan Undang-undang Perlindungan Anak dan 21 vonis secara tegas mengacu dalam KUHP.

"Kami mendesak komitmen Pemerintah Indonesia untuk memberikan perhatian pada isu seksualitas alasan berbasis gender hak kesehatan reproduksi kesehatan dan anak dan akses aborsi aman dan solusinya," kata Ayu.


Ada dalam UU namun taK ada implementasi

Aborsi aman untuk korban kekerasan seksual tercantum dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Namun otoritas akses informasi beserta layanan tidak ada implementasi yang berarti.

Direktur Yayasan Inisiatif Perubahan Akses Menuju Sehat (IPAS) Indonesia, dr Marcia Soumokil mengatakan, penyintas dihadapkan pada batasan usia kehamilan yang terlampau singkat serta terbatas pada usia kehamilan 6 minggu atau 40 hari saja, dalam konteks tempat persediaan sistem dukungan dan informasi yang mumpuni bagi semua kelompok identitas tidak dapat dipastikan.

Untuk mengakses itu, butuh proses birokrasi yang panjang dan menyebabkan penundaan ke akses kesehatan seksual dan reproduksi yang dibutuhkan penyisitas dengan segera.

Selanjutnya, stigma sosial yang terkait dengan aborsi korban pemerkosaan yang diekspresikan bukan hanya oleh masyarakat secara umum juga dilakukan tenaga kesehatan dalam poin akses aborsi dari individu dengan indikasi kedaruratan medis.

“Ketika kemudian korban perkosaan tidak bisa mendapatkan haknya yang penuh, termasuk pelayanan kesehatan yang segera, maupun hak untuk menghentikan kehamilan ketika ia menginginkan untuk dihentikan maka kehamilan ini menjadi bermasalah. Karena tidak diinginkan dan tidak direncanakan," kata dr Marcia saat ditemui di Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Jepara pada 25 November 2022.

Menurutnya, aborsi bagi korban pemerkosaan sejatinya legal di Indonesia. Aturan aborsi secara tertulis diatur dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beleid tersebut telah membuat panduan tata cara pelaksanaan pelayanan kesehatan bagi korban kekerasan seksual pada perempuan dan anak termasuk aborsi aman.

Namun, UU Kesehatan belum bisa membantu para korban pemerkosaan untuk mendapatkan layanan aborsi aman. Meskipun di dalam regulasi tersebut sudah jelas disebutkan bagaimana mengakses layanan bagi korban perkosaan yaitu membentuk tim dokter, dokumen dari polisi, dan sebagainya.

Bahkan, lebih rinci tata laksananya dijabarkan dalam Permenkes Nomor 3 Tahun 2016 tentang Hak Kesehatan Reproduksi dan Seksual (HKSR) serta Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan Dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan.

“Sampai saat ini layanan tersebut belum bisa diakses di daerah,” ujar Marcia.

Mengacu pada UU Kesehatan dan peraturan pelaksananya, sambung Marcia, seharusnya pemerintah dapat menyediakan atau menunjuk layanan kesehatan penyedia layanan aborsi aman khusus untuk korban perkosaan.

Apabila korban karena berbagai hal meneruskan kehamilan, maka menjadi urgen bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan korban atas perawatan selama kehamilan, kelahiran bahkan hingga proses adopsi negara apabila diperlukan.

Satu persyaratan yang paling rumit untuk dipenuhi dari ketentuan UU Kesehatan sehingga kerap menjerat korban perkosaan menjadi terpidana adalah ketentuan Pasal 76 UU Kesehatan huruf a, bahwa aborsi hanya dapat dilakukan sebelum kehamilan berumur enam minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis.

Pada kenyataannya, banyak korban pemerkosaan tidak tahu kalau mereka sedang hamil. Lebih-lebih anak-anak di bawah umur yang masih buta kesehatan reproduksi akibat akses informasi yang terbatas dan kuatnya tabu untuk membicarakan hal itu secara terbuka.


Stigma untuk korban

Marcia mengungkapkan perlu adanya kerja sama dengan berbagai pihak untuk mewujudkan layanan aborsi aman bagi korban pemerkosaan.

“Masih banyak stigma di masyarakat terkait aborsi ini, apalagi bagi korban pemerkosaan,” ungkapnya.

Menurut Marcia, stigma itu masih karena pendidikan masyarakat tentang kesehatan seksual dan reproduksi yang tepat sesuai umurnya masih rendah.

“Sedini mungkin anak harus diajarkan pendidikan seksual untuk mengenal organ tubuhnya dan apapun yang terjadi dengan tubuhnya harus mendapatkan persetujuan,” katanya.

Selain itu, stigma dan pelabelan dari masyarakat seperti perempuan nakal, penggoda, tidak berakhlak dan lainnya memperparah saat korban melakukan aborsi baik yang aman maupun tidak aman. Begitu pula oleh APH yang belum berperspektif sehingga korban menjadi korban berkali-kali.

"Aborsi aman bagi korban pemerkosaan ini persoalan kesehatan," tegasnya.

Di kesehatan, sambung Marcia, yang namanya sehat itu holistik di antaranya fisik, mental dan sosial. Sejalan dengan dampak buruk yang harus dirasakan korban perkosaan korban perkosaan yaitu fisiknya karena mengalami kehamilan tak diinginkan.

Secara mental karena trauma akibat pemerkosaan. Secara sosial masyarakat sering menjadikan itu aib dan stigma bagi korban. Stigma itu menambah kekerasan berlapis pada korban.

"Ke depan yang diharapkan, setiap kehamilan diinginkan dan setiap anak yang lahir adalah mereka diinginkan," tegas Marcia.

Aborsi aman korban pemerkosaan dalam perspektif agama

Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfa Anshor, dalam halaqah pra musyawarah keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada Jumat (25/11/2022), menyuarakan adanya pandangan alternatif lain terkait aborsi untuk menyelamatkan perempuan korban perkosaan yang tak bisa lagi dipandang sebelah mata.

Tingginya angka kematian ibu akibat pendarahan mendorong Maria melakukan penelitian tentang praktik aborsi tidak aman pada masyarakat. Melalui penelitian itu, ia hendak membuktikan fakta bahwa agama juga memiliki keberpihakan pada perempuan saat menghadapi situasi darurat, apalagi dengan indikasi yang mengancam jiwa.

"Jangan ada lagi perempuan yang meninggal akibat pemerkosaan padahal itu bisa dicegah, dengan cara pemberian akses layanan secara komprehensif," ucap Maria.

Pada konteks tidak boleh menggugurkan kehamilan akan berbeda cerita jika ditempatkan pada kasus korban pemerkosaan, maka perspektif yang digunakan harusnya menempatkan posisi korban perkosaan tidak setara dengan pelaku perzinahan.

Menurutnya, dalam kasus pemerkosaan korban mengalami pergolakan psikis yang bisa menyebabkan depresi berat hingga berujung pada tindak bunuh diri.

Depresi tersebut akan menambah beban batin perempuan korban pemerkosaan sementara usia kehamilan akibat perkosaan terus meningkat tetapi untuk mendapatkan kelengkapan persyaratan sebagaimana ditetapkan regulasi prosesnya tidak mudah memakan waktu lebih dari 40 hari sehingga tidak boleh digugurkan.

"Saya kira dalam beragama kita tidak boleh hanya sekedar tahu hal-hal tetapi juga boleh tahu bagaimana kita bisa membuat pemahaman ulang dalam konteks kekinian yang tentu berbeda pada saat ulama menulis buku ini menjadi pemakaian pandangan terhadap berbagai hal," terangnya.

Karena itu, Maria menyebut bahwa pandangan ulama sejatinya sangat terbuka terhadap praktik aborsi dengan alasan ada kondisi kedaruratan medis apalagi bagi korban perkosaan. Menurutnya, pandangan para ulama, mulai dari yang mengharamkan, membolehkan, hingga yang mewajibkan tergantung pada argumentasi dan konteks yang melatarbelakanginya.

"Aborsi pada kehamilan akibat perkosaan sebelum berusia 120 hari adalah boleh. Dalam kondisi kehamilan usia berapa pun yang mengancam keselamatan jiwa perempuan maka aborsi wajib. Sebaliknya, jika aborsi justru mengancam keselamatan jiwa perempuan maka haram. Melindungi jiwa perempuan yang hamil akibat pemerkosaan adalah wajib," tegas Maria.

Sebagai ulama perempuan yang tergabung dalam jaringan KUPI, ia berharap setelah keluarnya fatwa keagamaan KUPI II terkait perlindungan jiwa perempuan yang hamil akibat pemerkosaan harus ada gerakan masif dalam upaya penyadaran pemikiran pada tenaga kesehatan. Hal itu karena masih banyak yang menolak memberikan layanan aborsi karena takut dosa.

"Ketika terjadi hubungan seksual karena pemerkosaan, maka jiwa, akal, dan harga diri korban terancam. Harga dirinya dilecehkan karena banyak stigma dan menyalakan korban dan segala pelabelan yang selama ini kental di masyarakat harus diakhiri," jelas Maria.

"Aborsi ini urusan kesehatan, bukan moral. Harapan saya penyelamatan jiwa korban perkosaan sangat mendesak untuk disosialisasikan agar sejalan dengan implementasi UU TPKS," pungkas Maria.

Melindungi jiwa dan menepis stigma

Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) kedua yang dilaksanakan pada 23-26 November 2022 di Semarang dan Jepara membahas perlindungan jiwa perempuan dari kehamilan akibat pemerkosaan.

Hal ini disampaikan Masruchah, Ketua Pelaksana KUPI II.

Menurutnya, isu ini bukan tiba-tiba muncul, tetapi sudah melewati pembahasan panjang.

Masruchah mengatakan, saat perempuan etnis Tionghoa menjadi korban pemerkosaan masal pada Mei 1998. Seiring waktu semakin maraknya perempuan dan anak perempuan yang menjadi korban pemerkosaan di lingkungan pesantren serta lingkungan terdekatnya.

"Kami mulai membahas, melihat, seperti apakah perlindungan jiwa korban pemerkosaan dan akses aborsi aman itu oleh teman-teman ulama perempuan, jadi strategi apa perlu dibangun untuk melindungi jiwa korban pemerkosaan," kata Masruchah, Sabtu (26/11/2022).

KUPI, sambung Masruchah, dalam hal ini lebih mengutamakan musyawarah keagamaan dalam perspektif perlindungan jiwa untuk perempuan. Tujuannya agar praktik aborsi aman bagi korban yang hamil akibat pemerkosaan bisa lebih diterima publik.

Menurutnya, sebagai jaringan dan gerakan, KUPI berupaya menyembuhkan trauma yang dialami korban pemerkosaan melalui majelis, halaqah dan advokasi serta kolaborasi dengan berbagai lingkar keagamaan.

"Kalau bicaranya soal perlindungan jiwa itu jauh lebih bisa diterima, saya pikir akan ada afirmasi terhadap itu," jelasnya.

Direktur Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Ruby Kholifah mengatakan, pemulihan jiwa korban pemerkosaan dalam jangka panjang sangat penting dalam halaqah gerakan KUPI.

"Agar menghilangkan rasa bersalah pada korban. Tantangan besar kita memulihkan trauma dan menepis stigma di tengah masyarakat sehingga Fatwa KUPI terkait perlindungan jiwa sangat penting," pungkas Ruby.

Tim perumus Fatwa Keagamaan KUPI, Marzuki Wahid, mengatakan, terkait perlindungan jiwa perempuan yang hamil akibat pemerkosaan, meneruskan atau menghentikan kehamilan adalah hak dan pilihan korban.

"Agama dalam hal ini wajib melindungi jiwa perempuan yang menjadi korban pemerkosaan," tegas Marzuki di sela acara musyawarah keagamaan, Sabtu (26/11/2022).

Menurut Marzuki, dalam hukum Fiqih aborsi atau pengguguran adalah wasilah (cara). Maka aborsi itu pada aspek hukum Islam tergantung tujuannya yaitu bisa jadi wajib, boleh maupun haram.

"Cara apapun itu adalah hak perempuan untuk menentukan pilihan, baik menghentikan ataupun meneruskan kehamilan," kata Marzuki.

Ia menjelaskan, jika perempuan sebagai korban pemerkosaan memilih meneruskan kehamilannya, jangan sampai dia susah payah dan trauma seumur hidup maka harus dijaga keselamatan jiwanya.

Sebaliknya, apabila perempuan sebagai korban memilih menghentikan kehamilan juga perlu dijaga keselamatan dan perlindungan jiwanya.

"Tidak boleh menghentikan kehamilan yang membahayakan jiwanya, apabila memilih menghentikan kehamilan untuk menjaga kehormatan jiwanya wajib dijaga. Tidak boleh bunuh diri, atau korban dibunuh. Korban tidak boleh dikucilkan dari stigma dan lainnya," pungkas Marzuki.

Pada musyawarah keagamaan KUPI mengedepankan pengalaman perempuan yang dilakukan melalui tiga metode pendekatan yaitu mubadalah (kesalingan), ma'ruf (kebaikan/kebajikan), dan keadilan hakiki perempuan.

Dalam kesempatan itu, Masyita Umar, menyampaikan Fatwa KUPI II hasil musyawarah keagamaan pada Sabtu (26/11/2022) di Bangsri, Jepara, terkait hukum melindungi jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat pemerkosaan adalah wajib di usia berapa pun kehamilannya, baik dengan cara melanjutkan atau menghentikan kehamilan, sesuai dengan pertimbangan darurat medis dan atau psikiatris.

Semua pihak mempunyai tanggungjawab untuk melindungi jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat pemerkosaan, terutama diri sendiri, orangtua, keluarga, tokoh agama, tokoh masyarakat dan adat, tenaga medis, tenaga psikiatris, serta negara.

Pelaku juga mempunyai tanggungjawab untuk melindungi jiwa korban dengan cara yang tidak semakin menambah dampak buruk (mafsadat) bagi korban.

Hukum bagi pihak-pihak yang mempunyai tanggung jawab dan kemampuan namun tidak melakukan perlindungan pada jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat pemerkosaan adalah haram.

Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara, mengeluarkan rekomendasi kebijakan yang disampaikan Rozikoh Sukardi, bahwa kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan, menyebabkan perempuan tersudut oleh kehamilan, stigma, dan diskriminasi.

Oleh karena itu, negara harus mengubah dan menyelaraskan regulasi agar berpihak pada keselamatan dan perlindungan jiwa perempuan dan mengimplementasikannya secara konsisten.

https://regional.kompas.com/read/2022/12/02/205313378/tak-bisa-aborsi-korban-pemerkosaan-di-bawah-umur-ditampung-panti-sosial

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke