KOMPAS.com - Gereja Asei adalah sebuah gereja Kristen di Papua yang berdiri sejak tahun 1928.
Nama asli gereja tua ini adalah GKI Philadelfia, namun karena lokasi berdirinya berada di Pulau Asei Besar maka gereja ini lebih dikenal dengan nama Gereja Asei.
Gereja ini awalnya berlokasi di pesisir Pulau Asei Besar, namun saat ini Gereja Asei telah berpindah lokasi di atas bukit di Pulau Asei Besar, Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, Papua.
Untuk menuju lokasi Gereja Asei, pengunjung harus menggunakan perahu karena posisi Pulau Asei Besar memang berada di tengah Danau Sentani.
Dilansir dari laman Kemendikbud, keberadaan gereja tua ini menyimpan catatan sejarah mulai dari masuknya agama Kristen ke Pulau Asei hingga rekaman Perang Dunia II.
Cerita masuknya agama Kristen ke Pulau Asei
Pada 1855, Agama Kristen masuk ke wilayah Papua tepatnya di Manokwari yang dibawa oleh dua misionaris Jerman bernama W.Ottow Carl dan Johann G.Geissler.
Keduanya mewartakan Injil di pesisir utara Papua sampai teluk Youtefa, hingga ke pedalaman sampai ke belakang gunung Cycloop.
Misi penyebaran Injil kemudian dilanjutkan oleh JL van Hasselt dari Utrecht Missionary Society.
Kemudian pada 1 Juli 1928, agama Kristen mulai masuk ke Pulau Asei.
Peringatan masuknya agama Kristen ke Pulau Asei ini kemudian diabadikan dalam bentuk tugu peringatan dan dijadikan sebagai hari besar bagi jemaat Gereja Asei.
Menurut penuturan Yohanes Pouw, awalnya Gereja Asei dibangun dengan bentuk yang sangat sederhana dimana dindingnya terbuat dari bahan gaba-gaba (pelepah sagu) dan atap dari rumbia.
Sempat hancur saat Perang Dunia II
Pada masa Perang Dunia II, Pulau Asei termasuk dalam wilayah pergerakan tentara Jepang atau disebut dengan lintasan merah.
Tak pelak pertempuran antara Jepang dan Sekutu (Amerika Serikat) pda waktu itu juga berdampak pada Pulau Asei.
Pulau Asei dibombardir oleh pasukan Sekutu yang menyebabkan beberapa daerah termasuk Gereja Asei turut hancur.
Setelah Perang Dunia II berakhir, Gereja Asei dibangun kembali di atas bukit dan dipercayakan pada tukang kayu setempat bernama Wolfram Wodong.
Wolfram Wodong mendapat desain dengan pengaruh arsitektur Jerman yang terlihat dari bentuk jendela yang besar dengan motif kotak.
Gereja Asei yang baru kemudian diresmikan pada 1 Januari 1950, di mana angka tahun ini terlihat di salah satu anak tangga pada teras depan sebelah utara.
Pemugaran Gereja Asei
Bangunan Gereja Asei yang terbuat dari kayu sempat mengalami kerusakan berat dan dipugar pada 2001.
Tak hanya dipugar, Gereja Asei juga dijadikan situs gereja tua oleh Pemerintah Daerah Irian Jaya.
Arsitektur Unik Gereja Asei
Arsitekturnya Gereja Asei bergaya Neo-Vernakuler dengan bentuk persegi panjang.
Gereja Asei yang menghadap ke barat memiliki atap dari seng dengan rangka kayu yang berbentuk pelana, membujur dari barat ke timur.
Keunikan Gereja Asei ada pada kerangka atap yang disangga oleh 10 tiang kayu.
Jumlah tiang penyangga melambangkan jumlah marga yang mendiami pulau Asei yaitu Ohee, Ongge, Pepoho, Asabo, Nere, Puhiri, Pouw, Kere, Modow, dan Yapese.
Makna dari keberadaan 10 tiang tersebut adalah setiap marga berkewajiban menopang gereja Gereja Asei.
Tiang-tiang tersebut berjajar simetris di sisi kanan dan kiri bangunan dengan jumlah masing-masing 5 tiang.
Pada tiang di dekat pintu terdapat ornamen patung yang dipahatkan di bagian atas tiang. Patung sebelah kiri melambangkan Hawa dan patung di sebelah kanan melambangkan Adam, sepasang manusia pertama di bumi.
Di ruang utama di dekat dinding sebelah utara terdapat mimbar terbuat dari bata dan dan plesteran semen.
Sisi kiri dan kanan mimbar dihiasi ornamen sayap, dengan bagian depannya dihiasi ornamen yang menggambarkan Yesus dengan tangan menengadah dengan matahari bersinar di bagian kanan atasnya serta tulisan “Bumilah Alas Kakiku” di bagian bawah.
Selain bangunan utama, terdapat ruang kecil di sebelah selatan bangunan yang dahulu digunakan sebagai ruang sekolah.
Saat ini ruangan tersebut digunakan sebagai ruang kostori (tempat pendeta dan majelis jemaat).
Keunikan lainnya ada pada bagian teras dengan atap berbentuk menara setinggi 12 meter bersusun tiga yang semakin ke atas semakin mengecil.
Atap ini disebut mirip dengan atap-atap masjid di Pulau Jawa dengan bahan atap dari seng yang ditopang dengan balok-balok kayu.
Dinding menara terbuat dari kayu dengan motif kotak-kotak dengan jendela dan lubang terbuka di setiap tingkatan menara. Di bagian puncak menara terdapat piramid runcing tempat salib berdiri.
Di menara ini dulu pernah ditempatkan sebuah lonceng perunggu, namun lonceng tersebut tidak lagi difungsikan.
Bunyi lonceng kemudian digantikan dengan sebuah tabung oksigen yang diletakan di depan halaman gereja.
Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id
https://regional.kompas.com/read/2022/11/17/213610778/gereja-asei-gereja-tua-di-danau-sentani-yang-sempat-hancur-saat-perang
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & Ketentuan