Salin Artikel

Kisah Perempuan Penyintas HIV, Buktikan Penyakitnya Tak Tulari Suami dan Anak, Kini Berperang Memutus Rantai Penularan

Malam itu, dia sedikit gusar mencari orang di tengah keramaian yang berlalu lalang.

Setelah rekah senyum, terbit air muka sumringah. Dia menegur lalu membimbing pasangan lelaki seks lelaki (LSL) untuk tes HIV ke dalam ruangan khusus.

Perempuan itu bernama Murni. Sebagai penyintas, dia ingin tuntas memutus mata rantai penularan HIV.

Kemudian memecah fenomena gunung es dengan menemukan sebanyak-banyaknya orang dengan HIV.

Dia pun bergabung dengan Yayasan Kanti Sehati sejak 2015 lalu. Baginya, setiap orang berhak hidup sehat dan normal, serta terbebas dari bayang-bayang stigma dan diskriminasi.

"Sehari sebelum menikah, saya bicara empat mata dengan calon suami. Berat sekali sampai menangis. Saya sempat takut ditolak, tapi saya harus jujur dan tidak boleh bohong," kata Murni kepada Kompas.com, Jumat (21/10/2022).

Calon suami Murni sempat gamang. Lama dia termenung. Namun, lantaran calon suami telah mengetahui pekerjaan Murni di Yayasan Kanti Sehati, dia pun yakin. Dengan percaya diri, lelaki itu mempersunting Murni, melenggang ke pelaminan.

Kala Murni diberikan kesempatan, maka tekadnya bulat.

Dia hendak meruntuhkan stigma bahwa orang dengan HIV yang berumah tangga akan membuat masa depan anaknya gelap dan memperpanjang mata rantai penularan.

Ibu dengan HIV otomatis menularkan ke anaknya, itu kata orang.

Realitanya, kata Murni, sejak menikah pada 2018 lalu, dia membuat program anak secara terencana dan terukur sehingga melahirkan anak yang sehat, negatif HIV.

Suaminya selama empat tahun menikah tetap aman  dan tidak tertular.

"Kini usia anakku empat tahun. Dia sehat dan lucu, insya Allah dia memiliki masa depan yang bagus dan punya peluang yang sama dengan anak lain," kata Murni dengan suara bergetar.

Murni sempat mengalami masa-masa kritis pada 2013 lalu usai mengetahui mengidap HIV.

Bobot tubuhnya turun 30 kilogram, mulutnya sudah dipenuhi jamur. Perundungan datang silih berganti.

Untuk menghindari stigma dan diskriminasi di lingkungan kerja, Murni memilih mundur dari tempatnya bekerja.

Selama setahun dia memulihkan kesehatan. Dukungan datang dari pendamping Yayasan Kanti Sehati.

Dengan dukungan itu, Murni akhirnya menyadari menerapkan pola hidup sehat serta terapi minum obat dan terus berpikir positif. Kegigihan Murni membuat dirinya melewati masa-masa sulit.

Memiliki anak

Selama hamil, Murni rutin memeriksakan diri ke puskesmas untuk tes laboratorium vira load dalam darah, anestesi, dan berusaha mengonsumsi makanan yang kaya nutrisi dan vitamin.

"Memang berat tantangan saat hamil, karena harus minum obat. Sementara hormon tubuh kadang berubah-ubah dan memicu muntah. Tapi itu (minum obat) harus dilakukan untuk menjaga anak dalam kandungan tetap sehat," kata Murni.

Kemudian saat hendak melahirkan, Murni harus tetap menjaga kondisi tubuhnya agar tetap sehat dengan rutin minum obat.

Murni melahirkan anak di rumah sakit secara bedah caesar.

Untuk itu, dia terus mendorong kepada perempuan dengan HIV, agar melahirkan dengan caesar karena lebih aman.

Ketika anaknya lahir, langsung diberi makan obat ARV khusus untuk anak, selama 6 minggu setiap 12 jam.

Untuk upaya pencegahan pertama ini, obatnya dalam bentuk bubuk. Usai usia 6 minggu, anak diberikan antibiotik kotrimoxazol berbentuk sirup selama 6 bulan.

Setelah diberikan obat kesehatan anak terus dijaga. Jangan sampai memberikan air susu ibu (ASI) secara langsung, karena sangat berisiko terjadi penularan.

Ketika memasuki usia 18 bulan, antibodi anak tidak lagi mengikuti sang ibu, menjadi waktu yang cocok untuk melakukan tes HIV.

"Saya waktu tes VCT anak itu sempat tegang. Khawatir hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. Alhamdulillah. Anak saya saat dites hasilnya negatif," kata Murni bahagia.

Kendati dirinya melahirkan anak negatif HIV, Murni tetap merasa sedih.

Sebab masih banyak perempuan-perempuan yang berada di daerah, terutama di tempat yang terisolasi dan jauh dari akses pendampingan, melahirkan dengan kondisi anak yang positif HIV.

Memutuskan jadi pendamping

Murni akhirnya memutuskan terjun menjadi pendamping untuk membantu penyintas lainnya.

Pada 2015, dia menjadi relawan di Yayasan Kanti Sehati. Kala itu, secara ekonomi cukup berat, karena sudah tidak bekerja.

Setelah melewati masa sulit, setahun berselang Murni diangkat menjadi pekerja di Yayasan Kanti Sehati.

Pekerjaan baru ini membuatnya senang karena dapat membantu orang-orang dengan HIV.

Tujuh tahun bekerja, sudah banyak dia menemukan orang-orang dengan HIV.

Murni mendorong mereka untuk menerima keadaan dan rutin terapi minum obat.

Meski sempat mengalami banyak penolakan karena citra negatif penderita HIV, Murni tetap mengajak ibu-ibu rumah tangga untuk melakukan tes HIV, terutama bagi mereka yang memiliki suami bekerja di kapal dan sopir.

Target berikutnya adalah orang-orang yang melakukan seks berisiko seperti perempuan pekerja seks, lelaki seks lelaki, dan transgender.

Selama mendampingi penyintas, Murni menemui banyak perempuan yang putus asa setelah mengetahui statusnya positif HIV.

Rata-rata perempuan ini ketakutan persoalan jodoh. Sebagian dari mereka adalah anak-anak yang tertular dari ibu dan telah beranjak dewasa.

"Kita bimbing mereka dan kita pastikan HIV tidak akan menular kepada pasangan. Asal memiliki perencanaan yang matang. Saya ini contoh hidup. Memiliki suami negatif dan punya anak. Suami tidak tertular dan anak pun dua-duanya negatif," kata Murni.

Dengan meneladani Murni, banyak perempuan-perempuan dengan HIV menemukan pasangan dan hidup bahagia.

Punya anak dan tidak menularkan kepada suami dan anak. Hal ini disebabkan mulai dari mau menikah, perempuan-perempuan dengan HIV mendapat bimbingan.

"Kalau CD4 di atas 500 kemudian vira load atau virusnya tidak lagi terdeteksi, maka saat itulah waktu yang tepat untuk melaksanakan program membuat anak. Memang harus ada effort lebih untuk tes laboratorium kondisi tubuh," kata Murni.

Meskipun sudah menikah dan tubuh dalam keadaan sehat, kata Murni, selain masa subur harus menggunakan alat kontrasepsi saat berhubungan intim.

Perempuan Agen Perubahan

Setiap orang dengan HIV berhak memiliki pasangan dan membangun bahtera rumah tangga serta memiliki momongan.

Tak terkecuali kelompok paling rentan yakni anak-anak dan perempuan.

Ketua Yayasan Kanti Sehati, David Chandra Harwindo menuturkan, dari 10 orang dengan HIV di Jambi, sembila orang melepas masa lajang dan mempersunting pujaan hati.

Artinya, sebagian besar orang yang tercerahkan mampu menerima status pasangannya.

"Hanya satu orang yang gagal menikah karena keluarga pasangannya belum teredukasi terkait HIV dengan baik. Masih meyakini HIV itu mematikan dan dapat menularkan ke orang lain dengan mudah. Padahal penularan terjadi jika ada hubungan seksual dan penggunaan jarum suntik," kata lelaki yang sehari-hari disapa Eboy.

kebanyakan kasus orang dengan HIV positif tidak menularkan kepada pasangan yang negatif. Bahkan buah hatinya pun lahir normal dengan status negatif.

Tidak hanya itu, sambung Eboy, ada pasangan dengan HIV sama-sama positif, dapat melahirkan anak yang negatif.

Kasus ini, tentunya harus diawali dengan deteksi dini dan persiapan yang matang.

"Kalau sudah terdeteksi dini, 100 persen anak yang lahir dari pasangan dengan HIV positif, anaknya akan negatif. Tapi kalau tidak diketahui, maka risiko anaknya tertular sangat besar," kata Eboy.

Untuk pasangan dengan HIV positif dan telah merencanakan program memiliki anak, memang harus dilakukan bimbingan khusus,

Seorang ibu dengan HIV positif bisa menularkan virus secara vertikal ke bayinya pada masa kehamilan atau saat persalinan. Namun, saat ini kemungkinan tersebut bisa dicegah.

Selain itu, orang dengan HIV memiliki 99,8 persen kemungkinan melahirkan anak negatif HIV jika kehamilan direncanakan dengan baik.

Itu artinya, kini hanya 0,2 persen kemungkinan bayi lahir tertular HIV dari ibu.

Kunci awalnya adalah deteksi dini. Kemudian merencanakan kehamilan dan persalinan bagi pasangan dengan HIV.

Bagi orangtua dengan HIV yang tidak melakukan perawatan apapun selama kehamilan, memiliki peluang 35-40 persen untuk menularkan virus tersebut kepada buah hatinya.

Hanya sekitar 60 persen bayi yang lahir dari ibu dengan HIV tidak tertular.

Jika ibu dengan HIV sejak awal merencanakan kehamilan, dia harus rutin meminum obat antiretroviral (ARV) setiap hari, sesuai yang diresepkan dokter.

Dengan meminum obat ARV setiap hari tanpa putus dapat menekan jumlah virus (viral load) dalam darah hingga pada jumlah yang tidak lagi terdeteksi.

Pengujian laboratorium kekebalan tubuh ibu dengan HIV, kata Eboy harus rutin dilakukan untuk memastikan CD4 berada di atas 500. Dua kondisi ini, memungkinkan ibu dengan HIV dapat menjaga kesehatannya selama kehamilan dan mencegah bayinya tertular HIV secara vertikal.

"Kalau anak sudah lahir, ibu dengan HIV harus tetap terapi ARV, anaknya diberi profilaksis dan tidak memberi ASI secara langsung," kata Eboy.

Pemahaman masyarakat harus ditingkatkan, mengingat kemungkinan penularan dari ibu ke anaknya sangat bisa dicegah dengan penanganan yang tepat sebelum dan selama kehamilan.

Selama Masa Kehamilan Hingga Melahirkan

Dengan perencanaan yang matang, pasangan dengan HIV positif memiliki peluang besar untuk melahirkan anak negatif.

Terutama mulai dari awal (proses) berhubungan intim sampai masa hamil dan kelahiran berlaku sejumlah aturan.

Fadil Rulian, Dokter Anak di RS Raden Mattaher Jambi menuturkan, setelah positif hamil, ibu dengan HIV harus tetap rutin minum obat, menjaga kesehatan, menjaga CD4 selalu di atas 500, dan viral load rendah hingga tidak terdeteksi.

Hal serupa juga dilakukan sebelum proses hubungan intim. Fadil menyarankan pasangan dengan HIV, tetap memakai kondom saat berhubungan seksual.

“Misalnya istrinya positif HIV dan suaminya negatif atau sebaliknya atau keduanya sama-sama positif maka mereka tetap pakai kondom. Saya sarankan lepas kondomnya saat masa subur saja. Kalau sedang program membuat anak,” kata Fadil.

Saat proses kehamilan, sang ibu harus rajin minum obat tanpa putus. Sesuai dengan anjuran dokter. Dengan demikian, kemungkinan besar anaknya akan lahir negatif HIV.

"Kalau sudah hamil, obat antivirus tetap harus diminum. Perlu diketahui, obat antivirus ini tidak menyebabkan bayi itu lahir cacat," tegas Fadil.

Selanjutnya, untuk proses kelahiran sambung Fadil ibu dengan HIV bisa melahirkan dengan cara normal.

Syaratnya yakni CD4 dalam keadaan bagus yakni di atas 500 dan viral load yang tidak terdeteksi.

"Kondisi tersebut memungkinkan sang ibu untuk melahirkan secara normal tanpa menularkan virus," kata Fadil.

Namun jika berada di kota besar, kemudian dapat mengakses rumah sakit dengan mudah, Fadil lebih menyarankan para ibu dengan HIV, untuk melahirkan dengan operasi caesar.

Semakin cepat orang dengan HIV mendeteksi statusnya, maka risiko penularan kepada anak-anak semakin kecil. Kondisi sekarang, harus diakui masih ada stigma dan diskriminasi terhadap anak dengan HIV.

Tentu, dengan hilangnya stigma dan diskriminasi, anak-anak dengan HIV bisa hidup normal, tinggal bersama keluarga dan bermain dengan teman-teman, tanpa perundungan.

Pada dasarnya, sambung Fadil, anak-anak dengan HIV dalam kondisi sehat, disarankan beraktivitas seperti anak lain agar pertumbuhan alaminya maksimal.

Masalah stigma dan diskriminasi yang berakhir dengan perundungan itu, sebenarnya muncul ketika status anak-anak dengan HIV, diketahui secara luas.

Untuk itu, tidak ada kewajiban bagi orangtua atau wali, untuk menginformasikan status anak-anak dengan HIV pada orang lain, termasuk ke pihak sekolah.

Anak-anak dengan HIV secara serius mengalami hambatan dan gangguan mental akibat dari perundungan.

Ia mencontohkan anak bisa menjadi introvert dan terkadang berakhir dengan depresi. Untuk itu, ketika anak sudah mencapai masa pubertas, sebaiknya diberitahu tentang status penyakit dan resikonya.

“Umur berapa sebaiknya harus diberitahu sangat bervariasi ya, disesuaikan dengan tingkat perkembangan mentalnya (mungkin pada saat pubertas)," kata Fadil menjelaskan.

Mengenai apakah anak-anak dengan HIV setelah dewasa boleh menikah, menurut Fadil sangat boleh.

Namun, tunggu mereka berada dalam kondisi siap untuk melakukan perencanaan pra dan pasca pernikahan.

“Seperti minum ARV secara rutin, status kesehatan dalam keadaan baik, pasangan ini, keduanya harus mendapatkan edukasi tentang cara berhubungan seks yang aman," kata Fadil.

Kasus Gunung Es

Stigma dan diskriminasi yang dilakukan oleh keluarga, teman sekantor, teman sekolah dan masyarakat secara luas bahkan tenaga medis, membuat kasus orang dengan HIV seperti fenomena gunung es.

Dampak stigma paling sering terjadi di tingkat keluarga dan sekolah. Bentuknya dijauhkan, dikucilkan dan dipisahkan.

Misalnya tempat makan dibeda-bedakan dan hubungan menjadi berjarak.

Padahal HIV tidak gampang menular, ada prosesnya seperti penggunaan jarum suntik dan hubungan seks tidak aman.

Kasus orang dengan HIV di Provinsi jambi, kata Eboy, tercatat mencapai angka 1.365 orang per Oktober 2022.

Dari data itu, 52 kasus dari anak-anak, 355 orang pengguna jarum suntik, 93 orang transpuan dan 180 orang lelaki seks lelaki. Lalu sisanya itu heteroseksual dan pekerja seks.

Namun angka kecil ini bukan berarti sedikit kasus. Orang dengan HIV seperti gunung es, karena kebanyakan memilih sembunyi untuk menghindari diskriminasi dan perundungan.

Untuk menemukan kasus baru sejak awal, kata Eboy Yayasan Kanti Sehati, lembaga yang bergerak di isu kesehatan dan HIV bekerja sama dengan 11 rumah sakit besar di Provinsi Jambi.

Kemudian juga bekerja sama dengan puskesmas-puskesmas agar orang dengan HIV lebih mendapatkan privasi untuk melakukan tes HIV.

Tindakan pencegahan penularan ini untuk menemukan kasus, kemudian pendampingan agar orang dengan HIV rutin minum obat, lalu menemukan kembali orang dengan HIV yang berhenti minum obat agar terus rutin mengkonsumsi terutama saat memasuki usia pernikahan.

Pasca penemuan kasus terutama anak-anak, Yayasan Kanti Sehati memberikan beasiswa 1 bulan 1 orang sebesar Rp 500.000.

Kemampuan yayasan, kata Eboy baru sebatas itu. Beasiswa itu cukup untuk biaya kebutuhan sekolah dan makan, terutama untuk anak-anak dengan HIV yang berstatus yatim piatu.

Sekarang ada lagi, bantuan dari pemerintah daerah, untuk 30 anak.

Kendala dalam mendampingi orang dengan HIV saat ini, kata Eboy akses pengobatan BPJS tidak mengakomodir orang dengan HIV, kemudian Orang dengan HIV tidak memiliki BPJS dan mereka tidak memiliki KTP serta tidak memiliki pekerjaan.

“Akibat dari stigma, orang dengan HIV terpaksa buka usaha sendiri atau bekerja di lembaga seperti kami (Yayasan Kanti Sehati) agar tetap bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bisa saja diam-diam, kalau ketahuan bisa dipecat dengan berbagai alasan,” kata Eboy.

https://regional.kompas.com/read/2022/10/25/060000778/kisah-perempuan-penyintas-hiv-buktikan-penyakitnya-tak-tulari-suami-dan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke