Salin Artikel

Kisah Pemulung Puluhan Tahun Mengais Rezeki dari Sampah, Kadang Hanya Cukup Beli Beras 1 Kg

PEKANBARU, KOMPAS.com - Teriknya matahari menjelang tengah hari tidak menyurutkan semangat Sinaami Bulele memilah sampah untuk dikumpulkan.

Wanita berusia 50 tahun ini, satu dari ratusan pemulung yang setiap hari mengais sampah demi rupiah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kelurahan Muara Fajar Timur, Kecamatan Rumbai Barat, Kota Pekanbaru, Provinsi Riau.

Selasa (12/11/2022), sekitar pukul 11.00 WIB, Kompas.com melihat cukup padatnya pemulung mengais sampah. Mereka datang dari seluruh penjuru Kota Pekanbaru. 

Dua alat eskapator terlihat membongkar tumpukan sampah, lalu pemulung memilih sampah yang bisa dijual lagi untuk mendapatkan uang.

Di tengah gunungan sampah itu, para pemulung memiliki lapak masing-masing. Mereka membuat tempat berteduh menggunakan tenda plastik maupun payung.

Termasuk Sinaami Bulele, yang tengah sibuk mencari sampah untuk dikumpulkan.

Jari jemarinya begitu lincah memilah sampah. Berbekal sarung tangan dan karung tempat sampah yang sudah dipilah.

Bau menyengat sudah menjadi makanan sehari-hari.

Sampah yang dikumpulkan Sinaami, seperti kantong plastik, kaleng besi, kara-kara, hingga barang bekas lainnya.

Sinaami saat itu tidak sendiri. Ia memulung bersama anak gadis terkecilnya yang berusia 10 tahun.

Dalam sehari Sinaami mampu mengumpulkan sampah 10-15 kilogram untuk dijual. Hasil dari memungut sampah sangatlah kecil.

"Kalau sampah plastik itu cuma Rp 300 per kilogram. Tokenya yang datang beli ke sini. Kalau penghasilan dalam sehari tak menentu, kadang ada Rp 50.000 kadang Rp 30.000," aku Sinaami saat berbincang dengan Kompas.com.

Dia mengaku sekitar 10 tahun bekerja sebagai pemulung di TPA Muara Fajar. Selama itu, ia tak pernah mengeluh meski pengasilannya pas-pasan.

Dari hasil memungut sampah itu ia bisa menghidupi enam orang anaknya, sedangkan suaminya sudah tiada.

Sinaami harus bekerja keras memulung demi menyambung hidup. Apalagi, seorang anaknya yang berusia 21 tahun kerap sakit kejang-kejang.

"Anak saya satu orang sedang sakit kejang-kejang, sekarang dijaga sama anak saya yang lain. Sudah tiga tahun dia sakit, tak ada uang untuk mengobatinya. Buat makan saja kadang susah. Sementara uang yang didapat, kadang hanya cukup beli beras sekilo. Belum lagi bayar kontrakan rumah Rp 300.000 per bulan," tutur Sinaami.

Tidak hanya Sinaami, pekerjaan yang sama dilakoni Adimas (40). Wanita ini mengaku sudah 20 tahun bekerja sebagai pemulung di TPA Muara Fajar.

Adimas bercerita, setiap hari jam delapan pagi, ia sudah berangkat dari rumah untuk mengais sampah.

Ia mengumpulkan sampah yang bisa dijual kembali. Hasilnya untuk menyambung hidupnya bersama suami dan lima anaknya.

"Anak saya lima orang, empat masih sekolah. Satu orang sudah berkeluarga. Suami saya kerja tukang angkat sampah yang datang ke sini," sebut Adimas saat diwawancarai Kompas.com, Selasa.

Adimas mengaku tak ada pekerjaan lain yang bisa dikerjakannya selain memulung. Karena itu, pekerjaan ini ia lakoni setiap hari, tak peduli panas maupun hujan. 

Dalam sehari, Adimas mengaku mendapat uang paling banyak Rp 50.000 dari sampah yang sudah dipilah.

"Kadang dapat Rp 20.000, bahkan paling sedikit Rp 15.000," ujar Adimas.

Adimas menyebut, di TPA Muara Fajar ini ada sekitar 500 orang yang menggantungkan hidupnya dari mencari sampah.

Karena itu ia berpesan kepada masyarakat yang ada di Kota Pekanbaru agar tidak membuang sampah sembarangan.

"Buanglah sampah pada tempatnya biar dibawa ke sini (TPA). Karena di sini sampah berguna bagi kami. Rata-rata warga di sini dari TPA inilah menggantung hidupnya," ucap Adimas.

Dirikan MCK

Pengurus Daerah Bhayangkari Riau mendirikan tempat mandi, cuci, dan kakus (MCK) buat para pemulung di TPA Muara Fajar.

Sebab, selama ini belum ada MCK di lokasi tersebut.

Selain mendirikan MCK, istri-istri anggota kepolisian itu juga menyalurkan 100 paket sembako kepada pemulung.

Ketua Bhayangkari Riau, Nindya M Iqbal  mengatakan, bantuan itu disalurkan dalam rangka peringatan Hari Kesatuan Gerak Bhayangkari Ke-70.

"Dalam rangka Hari Kesatuan Gerak Bhayangkari Ke-70 ini, diwujudkan dalam bentuk Bhayangkari peduli," ujar Nindya saat diwawancarai Kompas.com, Selasa.

Ia menuturkan, bantuan ini sebagai bentuk kasih sayang Bhayangkari kepada pemulung yang setiap hari bergelut dengan sampah untuk menyambung hidup.

Istri Kapolda Riau Irjen Muhammad Iqbal ini menuturkan, bantuan pembangunan MCK dan bantuan sembako tidaklah seberapa. Namun, dibutuhkan dan bermanfaat bagi pemulung.

"Apa yang kami berikan tidak seberapa, tapi ini adalah tanda sayang," kata Nindya.

Dia menganggap para pemulung itu seperti pahlawan. Karena, kalau tidak ada pemulung siapa yang akan mengurus sampah.

"Sampah itu setiap hari ada. Sampah itu dianggap sesuatu yang kotor. Tidak mungkin kita sendiri yang mengurus. Tanpa mereka (pemulung) ini, sampah tidak akan terkelola dengan baik. Jadi kami menganggap beliau-beliau ini adalah pahlawan. Orang lain belum tentu mau berada di tempat seperti ini," tutur Nindya.

Sampah mencapai 6 ton

Sementara itu, Camat Rumbai Barat, Indah Vidya Astuti mengatakan, ada ratusan pemulung yang setiap hari mengais sampah di TPA Muara Fajar.

"Sampah-sampah yang dikumpulkan ada yang didaur ulang, lalu dijual lagi untuk mendapatkan uang," sebut Indah saat diwawancarai Kompas.com, Selasa.

Dalam sehari, sampah yang masuk ke TPA Muara Fajar mencapai 4 sampai 6 ton. Sampah yang baru datang itu langsung dipilah para pemulung.

"Jadi, banyak warga yang menggantungkan hidupnya di sini. Sangat luar biasa perjuangan mereka untuk mendapatkan uang. Kita saja mungkin geli melihat sampah, tapi mereka justru setiap hari bergelimang sampah," ujar Indah.

https://regional.kompas.com/read/2022/10/12/112355378/kisah-pemulung-puluhan-tahun-mengais-rezeki-dari-sampah-kadang-hanya-cukup

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke