Salin Artikel

Memahami Fenomena Burung Bermigrasi yang Melintasi Samudra dan Benua

Fenomena alam ini terjadi sebagai siklus penuh rahasia, bagaimana para burung ini menentukan waktu keberangkatan, memahami rute perjalanan, menyiapkan kemampuan fisik hingga menghadapi rintangan di depan, menentukan waktu kembali untuk berbiak.

Kehadiran kawanan burung ini, bisa juga terlihat hanya seekor, dapat diamati di kawasan lahan basah (wetland) seperti danau, sungai, sawah, pantai atau rawa-rawa. Di hutan, perkotaan atau permukiman juga ada, namun yang lebih mudah diamati adalah kehadiran burung-burung air.

“Burung air bermigrasi ini termasuk burung pantai, anatidae, jenjang, dan burung laut dan beberapa kelompok lainnya,” kata Ragil Satriyo Gumilang koordinator pelaksana Asian Waterbird Census (AWC) Indonesia, Rabu (5/10/2022).

Ragil menyebut keluarga anatidae ini seperti bebek, mentok, angsa, sementara jenis burung laut seperti titihan, pecuk, camar, penggunting-laut, dan auk.

Yus Rusila Noor dari Wetlands International Indonesia menjelaskan, migrasi merupakan kegiatan berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain.

Dalam dunia binatang, migrasi biasanya diartikan sebagai perpindahan, baik secara horizontal maupun vertikal, yang dilakukan pulang-pergi secara teratur dimaksudkan untuk menghindari kondisi yang tidak memungkinkan mereka untuk melanjutkan kehidupannya.

Menurutnya migrasi sangat nampak terlihat dalam dunia burung. Setiap tahun, jutaan ekor burung melakukan migrasi dari lokasi tempat mereka berbiak menuju lokasi lain yang secara ekologis dapat menyediakan kebutuhan untuk makan dan melanjutkan hidupnya.

“Umumnya terjadi akibat kondisi cuaca ekstrem yang menimpa lokasi tempat berbiak. Selama musim dingin, tempat mereka berbiak akan dipenuhi dengan salju, sehingga harus mencari tempat yang lebih hangat dan menyediakan sumber makanan yang berlimpah,” kata Yus Rusila Noor.

Iwan Hunowu, Sulawesi Program Manager Wildlife Coservation Society (WCS) menyebut alasan burung-burung ini berpindah karena 2 faktor, ketersediaan pakan (makanan) dan perubahan suhu.

Ia menjelaskan migrasi burung ini merupakan perjalanan musiman yang dilakukan setiap tahun oleh banyak jenis burung, jaraknya bisa mencapai ribuan kilometer. Umumnya dilakukan di musim gugur (autum) dan semi (spring). Di musim gugur, perjalanan dilakukan dari tempat berbiak di bumi bagian utara ke daerah panas di bumi bagian selatan, dan sebaliknya.

Burung-burung ini melakukan perjalanan panjang karena faktor ketersediaan pakan dan perubahan suhu.

Menjelang musim dingin di bumi belahan utara ketersediaan pakan mulai berkurang, tanaman menggugurkan daun-daunan sebagai adaptasi memasuki perubahan musim.

Sebelum itu, para burung telah menggemukkan badan dengan banyak mengonsumsi makanan, berat badan mereka bertambah sebagai bekal perjalanan jauhnya.

Perubahan suhu yang mulai turun ini menjadi awal perjalanan migrasi mereka ke daerah yang bersuhu hangat, ke arah bumi bagian selatan yang berlimpah makanan.

Perubahan suhu ini juga menjadi faktor yang memaksa mereka harus mencari lokasi lain yang menjamin kelangsungan hidupnya, jika masih bertahan di tempat berbiaknya suhu dingin akan membekukan mereka tanpa makanan, kemungkinan kematian akan menjemputnya.

Menjelang musim dingin tiba secara bertahap para burung ini mulai melakukan pengembaraannya mencari ruang hidup yang nyaman dengan terbang ke arah selatan. Dari pulau ke pulau, melintasi bukit, permukiman, gunung, laut, dan samudra.

Ini dilakukan semua jenis burung, mulai yang kecil seperti burung robin yang biasanya melakukan migrasi pada malam hari, atau pada burung besar seperti Ibis Rokoroko (Plegadis falcinellus) dan burung pemangsa biasanya bermigrasi di siang hari.

“Jalur lintasan burung camar artik yang memiliki tempat berbiak di belahan bumi utara saat migrasi menempuh jarak perjalanan yang panjang hingga ke bumi bagian selatan, sekitar 40 ribu km sekali jalan ke selatan, pulang ke tempat berbiak juga menempuh jarak yang sama,” kata Iwan Hunowu.

Bagi Yus Rusila Noor migrasi di dunia burung adalah merupakan fenomena alam yang luar biasa. Makhluk bersayap yang ukuran rata-ratanya sekepalan orang dewasa tersebut sanggup melakukan terbang jarak jauh hingga ribuan atau bahkan belasan ribu kilometer pulang-pergi.

“Burung Kedidi merah Calidris canutus yang berukuran dari ujung paruh sampai ke ujung ekor sekitar 24 cm, sanggup melakukan perjalanan sepanjang 16 ribu kilometer setahun dua kali. Mereka berbiak di Siberia dan selama musim dingin melakukan migrasi hingga ke ujung selatan Afrika,” jelas Yus Rusila Noor.

Ia menyebut ada puluhan jenis lainnya yang berbiak di Siberia dan kemudian memilih jalur migrasi melewati Asia Timur, Asia Tenggara termasuk Indonesia hingga ke pulau-pulau di wilayah Pasifik.

Burung-burung ini telah dibekali dengan struktur morfologi, fisiologi dan kemampuan terbang serta menentukan arah yang hingga saat ini masih merupakan bagian penelitian dari para ahli.

Di sepanjang perjalanannya burung-burung bermigrasi tersebut singgah di lokasi tertentu untuk beristirahat dan mencari makanan sebelum melanjutkan perjalanan panjangnya. Lokasi tempat mencari makan burung bermigrasi ini merupakan bagian yang sangat vital dan berharga dalam perjalanan hidup mereka.

“Itulah sebabnya, diperlukan kerjasama internasional untuk secara bersama-sama melindungi habitat tempat burung bermigrasi singgah,” tutur Yus Rusila Noor.

Persinggahan burung yang mudah diamati adalah di daerah yang tidak banyak tutupan semak atau pohon, seperti di pantai, tepi sungai, sawah, danau atau rawa-rawa.

Mudahnya pengamatan burung air inilah yang memberi banyak informasi tentang pergerakan dan perilaku mereka, ini beda dengan jenis burung passerine.

Pengamatan pergerakan migrasi juga terjadi pada jenis burung pemangsa (raptor), bahkan fenomena ini bisa disaksikan di kawasan hunian dengan mudah. Raptor yang bermigrasi bisa disaksikan per individu maupun kelompok besar yang mengangkasa di langit.

Rute terbang yang dilalui setiap tahunnya ini dinamakan jalur terbang (flyway). Terdapat 9 jalur terbang utama burung bermigrasi di dunia, yaitu jalur terbang Atlantik timur (East Atlantic Flyway), Laut Hitam-Mediterania (Black Sea/Mediteranean Flyway), Asia Barat-Afrika Timur (West Asian-East African Flyway), Asia Tengah (Central Asian Flyway), Asia Timur-Australasia (East Asian-Asutralasian Flyway), Pasifik Barat (West Pacific Flyway), Pasifik-Amerika (Pacific Americas Flyway), Mississippi-Amerika (Mississippi Americas Flyway) dan Atlantik-Amerika (Atlantic Americas Flyway).

Untuk wilayah Indonesia masuk dalam rute Asia Timur-Australasia (EAAF), yang membentang dari timur jauh negara Rusia dan Alaska, ke selatan melalui asia timur dan asia tenggara, hingga Australia dan Selandia Baru,” ujar Ragil Satriyo Gumilang.

Ragil menguraikan di jalur terbang Asia Timur-Australasia ini merupakan ruang bagi 210 spesies burung air bermigrasi yang lintasannya terdapat di 22 negara.

Jalur terbang ini merupakan habitat bagi lebih dari 50 juta burung air yang bermigrasi dari lebih dari 250 populasi yang berbeda. Di kawasan ini juga termasuk 36 spesies yang terancam punah secara global dan 19 spesies yang hampir terancam punah.

Bentuk tubuh yang terspesialisasi pada kelompok burung air bermigrasi, seperti burung pantai, sangat dibutuhkan untuk efisiensi dalam mengantisipasi ketersediaan makanan di habitatnya. Kelompok ini biasanya makan dalam suatu kerumunan besar di daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut.

Dalam kondisi normal mereka hanya dapat mencari dan menemukan makanannya pada saat air laut sedang surut. Dengan keterbatasan waktu dan banyaknya "saingan" itulah maka mereka harus menggunakan anggota tubuhnya dengan sangat efisien.

Selama perjalanan migrasi yang menempuh ribuan kilometer ini burung air mengandalkan lahan basah yang sangat produktif untuk beristirahat dan mencari makan, menyimpan energi yang cukup untuk “bahan bakar” fase terbang berikut.

Dalam proses migrasi ini burung mengalami hambatan seperti adanya badai angin kencang, hujan dan terik panas, perburuan, predator alam, hingga perubahan habitat. Tidak seluruhnya mampu mengatasi hal ini, terutama menghadapi perubahan habitat dan perburuan.

Misalnya sebuah rawa yang menyediakan air dan pakan tempat persinggahan burung tiba-tiba sudah diuruk dan berubah menjadi permukiman atau perkantoran, maka burung-burung tersebut kehilangan tempat beristirahat dan mencari makan. Ancaman ini yang terus mengintai dalam perjalanan Panjang mereka.

“Oleh karena itu, dibutuhkan kerjasama internasional di seluruh wilayah migrasi untuk melestarikan dan melindungi burung air yang bermigrasi dan habitat tempat mereka bergantung,” ujar Ragil Satriyo Gumilang.

Ragil menjelaskan dalam jaringan kerja lokasi jalur terbang (Flyway Site Network) di jalur terbang Asia Timur-Australasia terdapat lebih dari 700 lokasi lahan basah, sejauh ini diketahui memenuhi salah satu kriteria sebagai lokasi penting bagi burung bermigrasi, dan 151 di antaranya, telah dimasukan kedalam jaringan kerja lokasi jalur terbang.

Menurutnya kerja sama para pihak di jalur terbang Asia Timur-Australasia (EAAF Partnership) merupakan kemitraan pelestarian burung air bermigrasi yang penting dan strategis.

Kemitraan ini dibentuk di Bogor pada 2006, dan saat ini beranggotakan setidaknya 22 negara, organisasi antar pemerintah, organisasi non-pemerintah dan swasta sebagai Mitra.

“Kemitraan EAAF dibentuk sebagai inisiatif yang bersifat informal dan sukarela dengan tujuan untuk melindungi burung air bermigrasi, habitatnya serta mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada kehadiran lahan basah,” tutur Ragil.

Untuk menjalankan fungsinya, kemitraan ini didukung oleh kelompok kerja seperti kelompok shorebirds, anatidae, cranes, seabirds, avian influenza, black-faced spoonbill dan Capacity Education and Public Awareness (CEPA) serta satuan tugas yang bergerak berdasarkan wilayah dan jenis burung air bermigrasi tertentu.

Fenomena migrasi burung ini merupakan peristiwa alam yang menarik, sehingga banyak yang menanti saat kedatangan para burung ke lokasi favorit, terutama burung air dan pemangsa. Di Gorontalo, pengamatan burung air bermigrasi ini dilakukan di Danau Limboto, sebuah kawasan lahan basah yang kaya substrat.

Danau Limboto merupakan danau endapan, sepanjang tahun menerima kiriman sedimen dari 23 sungai dan anak sungai. Dalam sedimen inilah yang menjadi habitat hewan-hewan kecil yang menjadi makanan para burung pendatang.

Kegiatan menyambut kedatangan burung perancah di danau pertama kali dilakukan oleh sejumlah penggiat lingkungan sejak tahun 2014. Mungkin ini kegiatan yang pertama untuk wilayah Sulawesi.

Seorang fotografer satwa liar Gorontalo Idham Ali berhasil mendokumentasikan gajahan kecil Gajahan Kecil atau Little Curlew (Numenius minutus) di Danau Limboto pada Oktober 2014. Burung berparuh Panjang ini diduga tengah melakukan perjalanan balik dari Australia ke tempat berbiaknya di Rusia.

“Setahun kemudian pada Agustus 2015 juga terdokumentasikan kelompok Kedidi Golgol atau Curlew Sandpiper (Calidris ferruginea) yang tengah mencari makan, saat itu danau Limboto tengah suruh. Salah satu burung mengenakan bendera di salah satu kakinya,” ujar Iwan Hunowu.

Dari hasil korespondensi dengan para ahli, sesuai warna bendera yang dikenakan burung kedidi golgol ini diketahui burung ini pernah diangkap oleh para ornitolog Australasian Wader Studies Group untuk dipasang bendera.

Bendera burung ini berwarna oranye terpasang pada tibia (kaki atas) yang ditandani di Victoria Australia. Dari hasil pengamatan di Danau Limboto diketahui penampakan kembali usai ditandai berjarak sekitar 4794 km, dengan arah 327 derajat dari lokasi penandaan awal.

Pemasangan bendera (juga cincin) pada burung setidaknya menunjukkan pola migrasi, dari lokasi tertentu ke daerah lain. Para pengamat dan ahli bisa slaing melaporkan jika menemukan burung-burung yang telah ditandai.

Perangkat yang lebih maju seperti penggunaan chip elektronik juga telah disematkan pada burung, dengan perangkat elektronik ini bisa diketahui secara pasti pergerakan dan keberadaan burung. Perangkat ini bisa menggunakan gelombang radio atau bahkan bisa dipantau melalui satelit.

https://regional.kompas.com/read/2022/10/05/093454578/memahami-fenomena-burung-bermigrasi-yang-melintasi-samudra-dan-benua

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke