Salin Artikel

Kisah Perjuangan Masyarakat Adat Simantipal, Rela Bongkar Permukiman demi Jadi Bagian Indonesia

Wilayah dengan luas 5.700 hektare ini, dulunya dihuni oleh 13 desa yang kini bergabung dengan kelompok Desa Labang dan Kelompok Desa Panas, yang tersebar di perbukitan wilayah perbatasan negara tersebut.

Camat Lumbis Pansiangan, Lumbis S Sos mengatakan, warga 13 desa tersebut memilih pindah dan membongkar permukiman mereka demi mempertahankan nasionalisme.

"Sekitar 43 tahun lalu, 13 desa di eks OBP itu memiliki tempat tinggal, punya ladang, tempat berburu, menanam gaharu dan mengambil madu di sana. tapi begitu diklaim Malaysia, mereka tidak boleh melakukan apapun dan memilih pindah ke wilayah perbatasan sekaligus menjaga tanah mereka," ujarnya, Selasa (27/9/2022).

Kemauan mereka menjaga daerahnya, kata Lumbis, selain menjaga warisan leluhur, warga adat tidak pernah menganggap wilayah yang diklaim dan menjadi obyek sengketa antar negara serumpun tersebut, adalah milik Malaysia.

Hal itu dibuktikan dengan cara warga adat yang sangat tradisional. Masyarakat adat dari Desa terdekat Malaysia, antara lain, Desa Sumantipal, Ngawol, Desa Tantalujuk, dan Desa Labang, mendekatkan diri secara adat dan budaya dengan seringnya pertemuan dan interaksi sosial.

Kedekatan mereka dengan desa-desa perbatasan Malaysia, masing-masing Desa Bantul, Desa Lumpagas, Desa Saliman, dan Desa Inakad, menimbulkan simpati, dan membentuk hubungan emosional lebih dalam.

Para warga pedesaan Malaysia bahkan sejak dulu sudah mengakui jika wilayah sepanjang sungai Simantipal, merupakan milik Indonesia.

"Pengakuan Simantipal adalah bagian NKRI lebih dulu dilakukan warga adat Malaysia. Jauh sebelum ada penegasan wilayah melalui perundingan di Kuala Lumpur ke-43," jelasnya.

Dengan dipastikannya Simantipal ke pangkuan Ibu Pertiwi, warga adat setempat meminta pemerintah pusat segera melakukan aksi percepatan pembangunan.

Mereka meminta pemerintah pusat mencontoh Malaysia ketika mendapat Sipadan Ligitan.

Pembangunan dilakukan secara masif, sebagai sebuah kebanggaan dan mempertunjukkan harga diri mereka di tapal batas.

Malaysia berusaha memperindah bangunan di perbatasan untuk membanggakan diri dan bersaing. Sekaligus menunjukkan wibawa bangsanya.

"Jadi jangan hanya mau wilayahnya luas, tapi keberhasilan mempertahankan NKRI hanya formalitas dan akhirnya dibiarkan. Segera lakukan pembangunan dan program yang mensejahterakan masyarakat adat yang memiliki peran penting dalam menjaga NKRI," lanjut Lumbis.

Lumbis menambahkan, bukan tidak mungkin, warga 13 desa adat yang tadinya berasal dari wilayah eks OBP, akan kembali ke lokasi awal di mana mereka berada.

Wilayah tersebut, merupakan peninggalan dan amanah nenek moyang mereka yang harus dijaga. Sehingga, status Simantipal yang kini sah sebagai milik Indonesia, menjadi kabar gembira untuk mereka.

"BNPP dan Kemendagri sudah membentuk Pokja untuk percepatan pembangunan wilayah eks OBP. Mereka sudah melakukan inventarisasi dan menyerap aspirasi masyarakat. Semoga segera ada aksi dan percepatan pembangunan di Simantipal," harap Lumbis.

Kawasan eks OBP Sumantipal adalah salah satu kawasan di Kecamatan Lumbis Pansiangan yang kurang lebih 40 tahun menjadi sengketa antara Indonesia–Malaysia.

Kedua negara memiliki perbedaan pandangan dan tafsiran terhadap perjanjian antara Belanda dan Inggris, yang secara Uti Possidetis Juris menjadi dasar Indonesia dan Malaysia menentukan batas negara.

Atas hubungan negara serumpun dan semangat ingin menyelesaikan permasalahan di perbatasan, maka diadakanlah pertemuan JIM Ke-43 Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Malaysia yang menandatangani MOU nomor 22, dengan lampiran peta Nomor 32.

Isinya, adalah pengakuan bahwa wilayah dengan luas 5.700 hektar tersebut secara yuridis (hukum), telah sah menjadi bagian dari NKRI.

https://regional.kompas.com/read/2022/09/27/180440678/kisah-perjuangan-masyarakat-adat-simantipal-rela-bongkar-permukiman-demi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke