Salin Artikel

Tanahnya Dirampas Mafia Tanah, Petani Transmigran Demo ke Kantor Gubernur Jambi

Massa menuntut pemerintah segera menyelesaikan 56 kasus konflik agraria dan membasmi permainan mafia tanah di Jambi.

Untuk diketahui, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Hadi Tjahjanto dalam Diskusi Publik Indonesia Consumer Club, Senin (15/8/2022) mengatakan laporan terbanyak terkait mafia tanah yang diterima berasal dari tiga provinsi, yakni Riau, Sumatera Utara, dan Jambi.

Massa tidak akan membubarkan diri sebelum adanya rapat umum secara terbuka bersama dengan perwakilan Pemprov Jambi, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dinas Kehutanan, Kantor ATR/BPN.

"Kita minta digelar rapat umum secara terbuka. Agar solusi penyelesaian konflik agraria bisa transparan," kata Direktur Eksekutif Walhi Jambi, Abdullah di sela-sela aksi, Senin (26/9/2022).

Kehadiran massa ini tidak hanya menuntut penyelesaikan konflik tetapi menghilangkan tindak kejahatan mafia tanah di Jambi.

Walhi Jambi mencatat konflik agraria di Jambi sebanyak 56 kasus yang bermasalah dengan perusahaan swasta dan BUMN bahkan individu yang memiliki kekuasaan tak terbatas.

Pada momen Hari Tani Nasional (HTN) 2022, Walhi Jambi terus mendorong kepada pemerintah untuk segera menyelesaikan konflik lahan antara warga dengan sejumlah pihak.

"Kami maunya penyelesaian dari konflik lahan ini, masyarakat mendapatkan hak tanah atau paling tidak mendapatkan hak kelola atas tanah tersebut," kata Abdullah.


Ia mencontohkan penyerobotan tanah di Desa Mekar Sari dan Tebing Tinggi Kecamatan Marosebo Ulu, Kabupaten Batanghari, Jambi.

Menurut Abdullah ada lahan yang diperuntukkan bagi petani transmigrasi dari Jawa Tengah seluas 308 hektar di kuasai oknum mafia tanah.

"Kejadian sudah 10 tahun. Tapi negara kalah dengan pengusaha lokal yang menguasai lahan bersertifikat milik petani transmigrasi," kata Abdullah.

Petani transmigrasi dari Jawa Tengah hidup memilukan di tanah rantauan, mengantongi sertifikat tanah tapi lahannya dikuasai mafia tanah.

Oknum dari mafia tanah ini, terus berupaya mengadang perjuangan petani transmigran untuk mendapatkan tanahnya, dengan ancaman dibacok, ditembak, dan rumah dibakar.

Setelah dikirim dari Jawa oleh pemerintah di Desa Mekar Sari dan Tebing Tinggi Kabupaten Batanghari, Jambi pada 2005, ratusan petani transmigrasi mendapatkan sertifikat penguasaan lahan seluas 308 hektar dan 34 hektar pada 2010.

Namun pada 2012 lahan mereka direbut mafia tanah, pengusaha lokal yang kemudian ditanami sawit.

Sampai sekarang mereka masih mengantongi sertifikat tanpa adanya lahan.

Persoalan ini sudah disampaikan ke Kementrian ATR-BPN, Kemendes, Mabes Polri bahkan KSP. Namun petani transmigran belum juga mendapatkan hak atas tanahnya.

"Kami baru bisa bergerak, setelah anak buah mafia tanah, preman besar yakni Judi mati ditembak polisi pada 2021 lalu. Sebelum itu kami hidup ketahutan dan selalu menerima ancaman," kata Jais mantan Kepala Desa Mekar Sari saat konferensi pers pada Hari Tani Nasional (HTN) 2022 di Walhi Jambi, Sabtu (24/9/2022).

Ia mengatakan selama bertahun-tahun petani transmigrasi hidup di bawah bayang-bayang ketakutan, lantaran mendapatakan ancaman dibacok dan ditembak.

"Kalau dipukul dan ditendang itu sudah sering kami terima. Kalau dibacok dan ditembak itu belum. Rumah yang dibakar itu ada tiga rumah warga," kata Jais dengan suara parau.

Bahkan anak buah dari mafia tanah, sering menyantroni rumah warga dan meminta jatah keamanan Rp 2 sampai Rp 5 juta kepada aparat desa setiap bulan.

Kawanan mafia tanah ini sangat kuat dan berkuasa. Jais saat menjadi kepala desa, sempat ditodong pistol oleh kawanan mafia tanah.

"Waktu itu, saya selaku kepala desa mendampingi petani transmigrasi yang diusir oleh anak buah sang mafia tanah. Saya ditodong pistol suruh mundur tak boleh ikut campur," kata Jais.


Kronologi

Jais bersama 100 orang dari Jawa Tengah, Kabupaten Sukoharjo diberangkatkan ke Desa Tebing Tinggi, Kabupaten Batanghari pada 2005 karena mengikuti program transmigrasi dari pemerintah.

Ratusan orang ini meninggalkan kampung halaman berharap bisa mengubah nasib untuk hidup lebih baik.

Harapan itu, kata Jais terealisasi pada 2010, setiap orang mendapatkan sertifikat seluas 308 hektar untuk 144 KK.

Petaka datang pada 2012 lalu, pengusaha lokal yang menjalankan bisnis pembalakan liar membuat sporadik atas hutan yang dia buka.

Separuh lahan atau 108 hektar yang diberikan pemerintah sempat dikelola warga untuk lahan persawahan. Bahkan telah mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat berupa saluran irigasi dan cetak sawah dengan dana Rp 1,8 miliar.

"Lahan persawahan ini pun direbut mafia tanah dan ditanami sawit. Kalau petani garap, maka tanamannya diracun dan ditebangi serta mendapat ancaman dibacok dan ditembak," kata Jais.

Dalam berjuang mereka diintimidasi oleh preman yang disewa mafia tanah bahkan mendapatkan ancaman ingin ditembak dengan senjata rakitan.

Dampak penguasaan tanah oleh mafia tanah, kata Jais, warga harus kerja serabutan mulai dari buruh panen, tukang, dan berdagang.

"Kami jadi susah untuk hidup. Kami kerja serabutan untuk biaya hidup dan tetap menjaga agar anak-anak tetap sekolah. Ini kami alami sampai sekarang, belasan tahun," kata Jais.

Untuk mendapatkan haknya, petani transmigrasi ini, didamping Walhi Jambi sudah melapor penguasaan lahan oleh mafia tanah kepada Kementrian ATR-BPR, Kemendes, Mabes Polri dan KSP untuk menyelesaikan konflik. Namun sampai sekarang belum ada penyelesaian.

"Mereka janji mau ditindaklanjuti dan didalami. Tapi sampai sekarang belum juga diselesaikan," kata Jais.

Hal senada disampaikan Siswanto, Ketua Kelompok Tani di kawasan Tebing Tinggi, Kabupaten Batanghari, Jambi. Dia mengatakan ada 40 KK yang dirampas oleh mafia tanah dengan luasan 34 hektar.

"Kami sudah ke ATR-BPN tapi kini belum selesai. Semua belum jelas," kata Siswanto.

Laporan kami kepada Kementrian ATR-BPN sudah disampaikan pada Maret lalu. Namun sampai sekarang, kami masih menunggu upaya pemerintah untuk menyelesaikan masalah lahan yang diduduki mafia tanah.

Kerugian yang disebabkan penguasaan lahan yang dilalukan mafia tanah, yang sudah kami hitung bersama Walhi Jambi mencapai angka Rp 74 miliar.

https://regional.kompas.com/read/2022/09/26/151518978/tanahnya-dirampas-mafia-tanah-petani-transmigran-demo-ke-kantor-gubernur

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke