Salin Artikel

Sejarah Pondok Pesantren Modern Gontor, Kisah Berawal dari Desa Kecil Bernama Tegalsari

Awalnya pihak pondok menyebut AM meninggal karena kelelahan usai kegiatan kemah.

Namun belakangan disebut jika AM tewas diduga karena dianiaya rekannya. Tak hanya AM. Ada dua korban lainnya yang saat ini dirawat di RS.

Pihak pesantren pun mengambil langkah tegas dengan mengeluarkan para pelaku penganiayaan dan secara resmi melaporkan kasus tersebut ke polisi.

Berawal dari desa kecil bernama Tegalsari

Pondok Modern Darussalam Gontor biasa disingkat menjadi Pondok Modern Gontor atau cukup disebut Pondok Gontor.

Dikutip dari tulisan  Sejarah Berdirinya Pondok Modern Darussalam Gontor (1926-1936)  disebutkan Pondok Gontor didirikan pada Senin, 12 Rabiul Awal 1325/ 20 September 1926.

Pondok tersebut didirikan tiga bersaudara yakni KH Ahmad Sahal (1901-1977), KH Zainuddin Fanani (1905-1967) dan KH Imam Zarkasyi (1910-1985).

Disebutkan Pondok Gontor adalah kelanjutan dari Pesantren Tegalsari yang berada di sebuah desa terpencil yang bernama Tegalsari.

Desa tersebut terletak 10 km sebelah selatan pusat Kerajaan Wengker yang berada di kawasan Ponorogo.

Pesantren Tegalsari melahirrkan para kyai, ulama, pemimpin yang ikut berkiprah membangun bangsa dan negara.

Pesantren Tegalsari didirikan Kyai Ageng Muhammad Besari (Bashori) pada abad ke-18 Masehi atau sekitar tahun 1742.

Sang Kyai tinggal di Desa Tegalsari yang diapit dengan dua sungai besar dan memimpin sebuah pondok pesantren yang sangat tersohor.

Pondok Tegalsari memiliki ribuan santri yang berasal dari seluruh Tanah Jawa dan sekitarnya.

Desa sekitar pun mendapatkan berkah dari keberadaan pondok tersebut, salah satunyanya adalah Desa Jabung (Nglawu) dan Desa Josari.

Secara diam-diam Paku Buana II atau Sunan Kumbul pergi dari kerajaan menuju ke timur Gunung Lwu. Di tengah perjalanan yang panjang, Paku Buana II menemukan Pesantren Tegalsari.

Dalam keadaan prihatin, ia pun berserah diri kepada Kyai Hasan Besari. Di pesantren itu juga Paku Buana II bermunajat pada Allah di bawah bimbingan Sang Kyai.

Di saat bersamaan, api pemberontakan pun reda dan Paku Buana kembali ke kerajaan menduduki tahtanya.

Sebagai balasan kebaikan, ia mejadikan Tegalsari menjadi daerah merdeka dan bebar dari kewajiban kepada kerajaan. Derah yang bebas dari kerajaan ini disebut perdikan atau perdekan.

Selain hadiah tanah perdikan, Sang Raja menawarkan jabatan Bupati di Ponorogo kepada Kyai Ageng Besari. Namun Sang Kyai menolak jabatan dan hanya menerima hadiah tanah perdikan.

Setelah menjadi tanah perdikan, Tegalsari semakin dikenal penduduknya juga bertambah banyak. Para santri mulai berdatangan dari berbagai daerah untuk belajar.

Sebuah masjid kemudian dibangun dan di sekitarnya dibangun pondok-pondok kecil untuk tempat tinggal sementara.

Di bawah asuhan Kyai Ageng Muhammad Besari, pengajaran kitab-kitab berbahasa Arab sudah dilakukan.

Alumni Pesantren Tegalsari antara lain pujangga jawa yang bernama Raden Ngabehi Ronggowarsito dan tokoh pergerakan nasional, HOS Cokroaminoto.

Setelah Kyai Ageng Beshari wafat, pesantren dipimpin putra ketujuh yang bernama Kyai Hasan Yahya. Lalu digantikan Kyai Bagus Hasan Besari II dan dilanjutkan oleh Kyai Hasan Anom.

Pesantren Tegalsari berkembang hingga pertengahan abad ke-19 atau generasi keempat keluarga Kyai Besari.

Kala itu terdapat santri yang alim dan pandai bernama Sulaiman Jamaluddin yang berasal dari Cirebon. Ia kemudian menjadi menantu Kyai Chalifah.

Karena kealimannya, ia diberi tempat di tengah hutan belantara yang berjarak 3 km sebelah timur Pondok Pesantren Tegalsari atau 11 km ke arah tenggara dari Kota Ponorogo.

Dibantu 40 santri, ia mendirikan pondok pesantren seperti di Tegalsari.

Usai shalat Jumat. Sulaiman Jamaluddin dan istri ditemani 40 santri menuju lokasi yang ditunjukkan oleh mertuanya.' Di sanalah Kyai muda itu mendirikan pondok pesantren yang kini diberi nama Gontor.

Kala itu kawasan Gontor menjadi tempat persembunyian para perampok, penjahat, penyamun dan pemabuk. Karena itu lah kawasan itu dijuluki sebagai "tempat kotor" atau dalam bahasa Jawa disebut enggon kotor.

Menurut riwayat, nama Desa Gontor berasal dari ungkapan tersebut.

Awalnya pelajaran yang diberikana hanyalah masalah keagamaan karena tujuannya untuk mengembalikan kesadaran masyarakat sekitar.

Termasuk saat dipimpin puteranya yang bernama Kyai Archam Anom Besari. Santrinya pun berasal dari berbagai daerah di Jawa termasuk dari Tanah Pasundan.

Setelah Kyai Archam wafat, pesantren tersebut dilanjutkan oleh generasi ketiga yakni Kyai Santoso Anom Besari. Sayangnya kegiatan pondok mulai surut.

Kyai Santoso pun meninggal dunia. Tak ada saudaranya yang melanjutkan kegiatan pondok.

Sang istri bersama tujuh anaknya pun bertekad untuk memajukan kembali pesantren yang dibangun nenek moyang dari suaminya.

Mereka tinggal di rumah sederhana dan terus mengerakkan kegiatan di masjid tua warisan keluarga Kyai Santoso.

Putera pertama Kyai Santoso, R Rahmat Sukarto kemudian menjadi Kepala Desa Gontor. Sementara tiga adiknya dimasukkan ke pesantren untuk memperdalam agama.

Mereka dididik agar bisa meneruskan perjuangan keluarga dan mengembalikan kembali Pondok Pesantren Gontor yang mati suri.

Ketiga putera Kyai Santoso adalah Ahmad Sahal (putera kelima), Zainuddin Fannani (uutera keenam) dan Imam Zarkasyi (putera ketujuh).

Belum selesai masa belajar, mereka mendapatkan cobaan yakni sang ibu meninggal dunia.

Setelah selesai menimba ilmu dari berbagai pesantren, akhirnya mereka bertiga kembali ke kampung kelahirannya untuk menghidupkan kembali pesantren milik kelyarga sang ayah.

Pada tahun 1926, mereka membuka Tarbiyatul Athfal yakni program pendidikan anak untuk masyarakat Gontor.

Sarana pendidikan sangat sederhana. Mereka belajar di alam terbuka dengan beralaskan tikar daun kelapa dipimpin Pak Sahal (panggilan populer untuk KH Ahmad Sahal).

Saat malam hari, mereka belajar diterangi lampu batok. Tak hanya anak-anak, orang dewasa pun ikut belajar di tempat itu.

Pada di tahun ketujuh, siswa TA mencapai 500 putra dan putri. Mereka masih belajar di rumah-rumah penduduk dan sebagian di alam terbuka.

Di tahun kesepuluh, dibentuklah Anshar Gontor yakni orang-orang yang bertugas mencari dana di seluruh Jawa untuk membangun ruang kelas. Para santri juga dilibatkan dalam pembuatan batu merah.

TA pun berkembang dan didirikanlah TA lain di desa-desa sekitar Gontor. Dan pada tahun 1932, dibuatlah jenjang pendidikan di atas TA yang diberi nama Sullamul Muta'allimin .

Pada tingkatan ini para santri diajari secara lebih dalam dan luas pelajaran  fikih, hadis, tafsir dan terjemah al-Qur’an. Santri juga diajari cara berpidato, cara membahas suatu
persoalan serta diberi sedikit bekal untuk menjadi guru berupa ilmu jiwa dan ilmu
pendidikan.

Di samping itu mereka juga diajari ketrampilan, kesenian, olahraga, gerakan kepanduan, dan lain-lain.

Kehadiran TA dan SM membawa angin segar bagi minat belajar masyarakat.

Pada usia 10 tahun, Pondok Gontor membuat acara syukuyran dengan pembukaan pendidikan baru tingkat menengah pertama dan menengah atas yang dinamakan Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyyah (KMI) atau Sekolah Guru Islam

Pendidikan itu dibukan pada tanggal 19 Desember 1936, yang menandai kebangkitan sistem pendidikan modern di lingkungan pondok pesantren.

https://regional.kompas.com/read/2022/09/07/055500378/sejarah-pondok-pesantren-modern-gontor-kisah-berawal-dari-desa-kecil

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke