Salin Artikel

Gontor, Polisi dan Murahnya Harga Nyawa Manusia

Dalam berita itu disebutkan bahwa awalnya seorang santri gontor inisial AM disebut tewas karena kelelahan saat mengikuti Perkemahan Kamis Jumat (Perkajum).

Jenazah dikirim ke kampung halaman orangtuanya di Palembang lewat perwakilan pesantren.

Tak lama kemudian, orangtua AM mendapat kabar bahwa sebenarnya anaknya meninggal bukan karena kelelahan.

Setelah melihat kondisi mayat anaknya, ia menduga anaknya meninggal karena kekerasan. Ibu AM ingin mayat anaknya diotopsi. Ia menghubungi forensik dan siap anaknya diotopsi.

Karena didesak, pihak Gontor akhirnya mengakui bahwa AM meninggal karena kekerasan. Rencana otopsi dibatalkan. Dan polisi bergerak cepat.

Pihak pesantren Gontor melalui juru bicara Noor Syahid menyampaikan permintaan maaf, menyesalkan adanya kasus itu, dan menyatakan tidak memberi toleransi segala bentuk kekerasan.

Dari beberapa potongan cerita, apa bedanya kasus kematian brigadir J dengan AM? Keduanya adalah korban pembunuhan yang awalnya motifnya disembunyikan oleh instansi tempat korban terbunuh.

Usaha menyembunyikan motif ini bisa dua kemungkinan, satu untuk menyelamatkan pelaku dari hukuman dan kedua menjaga citra lembaga.

Hal yang dapat pastikan adalah bagi kedua lembaga ini, bagi pesantren Gontor dan Polri, harga nyawa begitu murah.

Sebab citra sebuah lembaga berada jauh di atas harga satu nyawa. Dalilnya adalah demi citra suatu institusi, kebohongan dirasa layak untuk dilakukan.

Kedua institusi ini sama-sama menyesalkan terjadinya kasus pembunuhan setelah berita pembunuhan itu bocor ke publik dan ramai diberitakan.

Menyesal karena terpaksa, dan bertanggungjawab karena diancaman menunjukkan tidak adanya rasa kemanusiaan, tidak adanya simpati pada hilangnya nyawa manusia. Bahkan menunjukkan tidak adanya harga satu nyawa manusia.

Bila satu nyawa manusia sudah tidak ada harga, maka semua nyawa manusia juga sama.

Sebagai bangsa yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, setiap orang mestilah percaya bahwa Tuhan sangat memuliakan manusia.

Dalam hadis Nabi Muhammad SAW disebutkan seandainya ka’bah dihancur atau dilempari dengan batu hingga hancur, perbuatan itupun lebih hina dari membunuh satu nyawa seorang yang beriman kepada Tuhan.

Dalam hadis lain diceritakan pula bahwa ketika Nabi Muhammad SAW melakukan tawaf. Bila diartikan secara sederhana, kira-kira begini. “Sambil melihat ka’bah beliau berucap, 'Hai ka’bah, betapa agung dirimu. Betapa mulianya dirimu. Betapa harum wangimu. Tapi aku bersumpah Demi Allah, bahwa kehormatan seorang yang beriman kepada Tuhan, jauh lebih tinggi darimu'".

Ini menunjukkan betapa tinggi dan mulianya nyawa manusia. Tetapi akhir-akhir ini di Indonesia, sangat disayangkan sekali nyawa manusia tidak begitu berharga.

Lihatlah pembunuhan di kepolisian, mutilasi TNI di Papua, dan pembunuhan di pesantren. Polisi adalah penegak hukum dan pengayom masyarakat. TNI adalah penjaga keamanan negeri. Dan pesantren adalah penjaga iman dan pesatren terbaik di Indonesia.

Kenyataannya, dari ketiganya tak ada institusi yang menjunjung tinggi harkat kemanusiaan. Tak ada yang menghargai dengan sangat tinggi satu nyawa manusia.

https://regional.kompas.com/read/2022/09/06/12433981/gontor-polisi-dan-murahnya-harga-nyawa-manusia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke