Salin Artikel

Penyintas Tanah Bergerak di Sukabumi, 3 Tahun Tempati Huntara, Harus Berbagi Ruangan Tidur

Bangunan huntara berukuran 4 x 4 meter persegi yang ditempati ratusan penyintas berlokasi di Kampung Ciboregah desa setempat.

Lokasinya sekitar 3 kilometer dari permukiman sebelumnya.

Ratusan jiwa penyintas bencana geologi ini mulai menempati huntara yang disediakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sukabumi sejak 31 Agustus 2019.

Sebelumnya, di antara mereka sempat menghuni tenda pengungsian selama hampir empat bulan.

Sedangkan bencana yang dipicu hujan dengan intensitas tinggi mulai diketahui warga pada pertengahan April 2019.

Semakin hari retakan dan amblesan tanah terus meluas secara sporadis hingga akhirnya memorak-porandakan permukiman.

"Sudah tiga tahun di sini. Bangunannya sudah pada rusak, sudah tidak nyaman," ungkap seorang penyintas, Nina Tri Agustina (27), kepada Kompas.com ditemui di huntara, Rabu (1/9/2022).

Nina menuturkan, dia harus mengatur ruangan ukuran 4 x 4 meter persegi ini dengan seoptimalnya.

Ruangan yang dibangun berkerangka baja ringan dengan berdinding GRC dibagi menjadi tempat tidur, tempat belajar anak, menyimpan lemari, tempat menonton televisi, sekaligus dapur.

"Saya tinggal di sini bersama suami dan dua anak," tutur dia.

Dia juga mengkhawatirkan kondisi bangunannya karena seng di atap sudah bolong-bolong, bautnya copot terkena angin, dan hujan.

"Dinding juga bolong-bolong jadi binatang ada yang pernah masuk ke dalam," aku Nina.

Namun, hingga saat ini huntap yang ditunggu-tunggu belum juga terealisasi.

"Janjinya dua tahun tinggal di huntara, tapi sampai sekarang belum terbangun. Kami di sini sudah bosan, ingin segera pindah ke huntap," ujar ibu rumah tangga itu.

"Sampai saat ini belum ada kabar, cuma angan-angan saja. Datang dari sana dari sini berjanji, tapi kenyataannya tidak ada," sambung Nina dengan nada kesal.

Ingin kembali hidup normal

Senada disampaikan penyintas bencana lainnya Sumiati (34). Dia menuturkan sebelumnya pemerintah menjanjikan dua tahun menempati huntara lalu akan dipindahkan ke huntap.

Berbagai informasi rencana pembangunan huntap sering didengar, warga sudah senang.

Apalagi lahan untuk huntap sudah ada di Kampung Cimenteng. Namun sampai saat ini belum terealisasi juga.

"Semua warga (penyintas) pasti ingin segera dibangunkan huntap. Kami ingin kembali hidup normal seperti warga lainnya tinggal di rumah yang layak," tutur dia.

"Kalau di sini kan sempit, ukurannya empat kali empat meter. Kebayang kalau anggota keluarganya banyak," sambung Sumiati yang tinggal bersama suami dan dua anaknya.

Penyintas lainnya Ade Aisyah (53) mengakui bangunan huntara sudah tidak enak, tidak nyaman.

Bila hujan berisik, dinding sudah bolong-bolong akibatnya ular masuk ke dalam.

Ruangan sempit harus berbagi untuk tidur, hingga dapur. Padahal sebelum terjadi bencana menempati rumah panggung miliknya cukup luas dengan kamar tiga

"Sudah enggak betah. Katanya mau dipindahkan ke huntap, sudah ada lahannya di Cimenteng tapi sampai sekarang enggak jadi-jadi, bagaimana ini," aku Ade.

"Kami sangat berharap huntap, dijanjikan dua tahun tinggal di huntara lalu pindah ke huntap. Tapi sekarang sudah tiga tahun tapi huntapnya tidak ada," sambungnya.


Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sukabumi lokasi huntara dibangun 74 unit dalam 37 kopel, juga terdapat 4 unit tempat mandi cuci kakus (MCK) dengan masing-masing 3 kamar dan sarana air bersih.

Jumlah rumah dan penduduk terdampak bencana gerakan tanah pada April 2019 sebanyak 129 rumah dengan penduduk 161 kepala keluarga (KK) yang berjumlah 482 jiwa.

Sebelumnya terdata sebanyak 109 rumah dengan jumlah penduduk sebanyak 110 KK yang berjumlah 354 jiwa.

Dampak lainnya fasilitas umum berjumlah 3 unit, sawah 26 hektar dan jalan provinsi sepanjang 200 meter rusak.

https://regional.kompas.com/read/2022/09/02/073110578/penyintas-tanah-bergerak-di-sukabumi-3-tahun-tempati-huntara-harus-berbagi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke