Salin Artikel

Pengungsi Papua: Kita Mau Tinggal di Sini Sampai Kapan, Mama?

Keluh kesah ini disuarakan di tengah perayaan HUT RI ke-77 dan jelang satu tahun pasca-ribuan pengungsi meninggalkan rumah-rumah mereka setelah terjadi konflik bersenjata antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) dan TNI/Polri.

Pihak Organisasi Papua Merdeka masih berkeras untuk melakukan perang terbuka terhadap TNI/Polri.

Sementara pemerintah Indonesia sejauh ini, masih mengerahkan aparat untuk memerangi TPNPB-OPM, serta melakukan pendekatan "kesejahteraan“ bagi warga Papua.

Lamberti Faan, 36 tahun, mengaku makin sering menghadapi masa sulit untuk memberi makan kedua anaknya yang masih balita di lokasi pengungsian yang berada di Kampung Mowes, Kabupaten Maybrat, Papua Barat.

"Sama sekali tidak ada beras. Dan, anak saya yang paling kecil datang ambil piring, mama mau makan nasi. Tapi saya tidak tahu, saya harus...,” suara Lamberti terjeda diikuti isak tangis.

“Kita harus, di piring-piring kotor itu ada ampas-ampas nasi, dorang ambil untuk itu [makan]… Saya orang tua yang paling tidak berguna sudah,” ungkap Lamberti dengan suara bergetar.

Di lokasi pengungsiannya, tepatnya di Distrik Ayawasi, Lamberti Faan tinggal bersama enam keluarga lainnya yang umumnya masih punya anak kecil.

Mereka merupakan bagian dari ribuan orang yang mengungsi pasca serangan kelompok bersenjata OPM ke Pos persiapan Koramil (Posramil) Kisor Distrik Aifat Selatan, Kabupaten Maybrat, Papua Barat, September tahun lalu.

Dalam serangan ini empat anggota TNI tewas.

“Tinggalnya sudah begini, tidak ada pekerjaan untuk bisa menjamin kebutuhan anak-anak sekolah. Makan, belum lagi kalau sakit dan sebagainya,” kata Lamberti.

Minggu-minggu pertama di lokasi pengungsian, Lamberti mengatakan mendapat bantuan dari pemerintah setempat.

Tapi setelah itu, ia harus mengandalkan bantuan dari saudara atau teman berupa uang atau beras.

“Ada beras tidak, sedikit saja, yang penting saya bisa masak untuk anak kecil,” kata Lamberti saat menirukan ia meminta beras dari saudaranya.

“Menunggu bantuan, belas kasihan orang sampai kapan harus begini?” lanjutnya.

Di lokasi pengungsian, Lamberti dan suaminya membuka kebun kecil yang ditanami sayur-sayuran mulai dari kacang panjang, buncis dan bayam.

Sayur-sayuran ini digunakan untuk dikonsumsi bersama dengan pengungsi lainnya. Tapi ini tidak cukup, katanya.

“Ma, kita pulang kah? Kita punya rumah sudah... Kita mau tinggal di sini sampai kapan, Mama?”

"Saya bingung menjelaskannya. Karena yang kecil ini kan tidak mengerti. [Tapi saya bilang] Di kampung orang tidak ada, jadi kalau orang-orang pulang, nanti kita pulang sama-sama,“ kata Lamberti menirukan penjelasan kepada anaknya.

Lamberti juga merindukan rumah panggung kayunya di Distrik Aifat Timur Tengah.

"Pagi-pagi gitu, kopi sama-sama. Cerita dengan anak-anak,” katanya mengenang hal paling menyenangkan di kampungnya.

Pengungsi lain dari Kabupaten Maybrat yang terdampak konflik bersenjata antara OPM dan TNI adalah Adelia—bukan nama sebenarnya, 36 tahun.

Ia lebih beruntung dari Lamberti, karena punya rumah kedua di Kota Sorong.

Tapi tetap saja, kata dia, hidup di kampungnya lebih baik. "Sayur di kebun tinggal ambil. Di kota kan semua harus beli,” katanya.

Rumah yang ditinggali Adelia juga menampung keluarga-keluarga lainnya yang mengungsi.

Kebutuhan hidup sehari-hari mengandalkan uang pensiunan salah satu keluarga, termasuk dari suami Adelia yang saat ini berstatus sebagai guru.

“Sebenarnya tidak cukup, tapi dicukup-cukupi, karena keadaan toh. Habis kita ke sini dengan mama yang sakit,” kata Adelia.

“Rindu parah mau pulang, mau lihat kampung, lihat rumah. [Tapi] masyarakat juga takut, kalau pulang ke sana takut ada juga, kejadian baru atau bagaimana. Tiba-tiba ada mungkin aparat masuk lagi, ulang, masyarakat sudah trauma yang lari-lari, jadi mendingan tinggal di tempat pengungsi,“ lanjut Adelia.

Namun, pada awal-awal peristiwa ini terjadi, Koalisi Kemanusiaan Maybrat memperkirakan jumlah pengungsi mencapai lebih dari 2.000 yang berasal dari 18 kampung.

Para pengungsi tersebar ke kampung-kampung tetangga, termasuk di Kabupaten Sorong dan Kota Sorong.

Seiring berjalan waktu, sebagian pengungsi sudah kembali ke rumah masing-masing. Pemkab Maybrat sempat mengeluarkan surat pemberitahuan yang menyatakan, “Stabilitas keamanan di Kabupaten Maybrat telah dikendalikan pihak TNI dan Kepolisian.”

Selain itu, TNI juga telah melakukan penjemputan terhadap ratusan pengungsi untuk kembali ke rumah masing-masing.

“[Distrik] Aifat Selatan itu rata-rata sudah kembali, dari Kisor dan sekitarnya. Aifat Timur Raya itu belum,” kata pimpinan Koalisi Kemanusiaan Maybrat, Bernard Baru.

Menurutnya, para pengungsi saat ini menginginkan adanya pernyataan bersama antara TNI/Polri dan kelompok bersenjata OPM untuk menjamin keamanan pengungsi ketika mereka kembali ke rumah masing-masing.

“Dari pihak gereja mediasi, supaya ini ada hitam di atas putih, tidak ada serangan,” kata Bernard Baru.

Pemuka agama dari Sekretariat, Keadilan dan Perdamaian Keutuhan Cipta Ordo Santo Agustinus juga mengatakan para pengungsi belum bisa kembali ke rumahnya karena kondisi bangunan, kebun dan ternaknya rusak.

Kata dia, pemerintah perlu turun tangan untuk mengatasi hal ini, termasuk memberi bantuan pangan dalam periode tertentu.

“Kalau pemerintah bilang kembali, berarti penanganannya harus betul-betul terencana, terukur,” kata Bernard Baru.

Berdasarkan laporan koalisi yang tak bisa dikonfirmasi BBC, setidaknya terdapat tiga anak pengungsi yang meninggal karena gizi buruk dalam beberapa bulan terakhir.

“Kalau seandainya tidak ada cepat penanganan bantuan dan sebagainya, ada beberapa kemungkinan lebih besar. Lebih fatal lagi kayak kelaparan, gizi buruk, konflik di Sorong ke kriminal dan sebagainya,” kata Bernard Baru.

Dalam pidato kenegaraan, Presiden Joko Widodo tak menyinggung secara rinci mengenai persoalan di Papua, akan tetapi menekankan "Pemenuhan hak sipil dan praktik demokrasi, hak politik perempuan dan kelompok marjinal, harus terus kita jamin.“

Presiden juga menyebutkan, "Keamanan, ketertiban sosial, dan stabilitas politik adalah kunci. Rasa aman dan rasa keadilan harus dijamin oleh negara, khususnya oleh aparat hukum dan lembaga peradilan.“

Namun bagi pengungsi Lamberti Faan, perayaan ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-77 kali ini, "Tidak ada perhatian khusus negara ini untuk kami, masyarakat sipil.“

"Kami ini manusia juga, kami warga negara Indonesia yang harus diperhatikan,“ kata Lamberti.

'Perang jalan terus‘

Namun, konflik bersenjata di Papua terus berlanjut.

Sejumlah media mewartakan baku tembak jelang HUT RI ke-77 di Intan Jaya, Papua, Selasa (16/8/2022).

Menurut laporan kepolisian terjadi kontak senjata antara kelompok bersenjata OPM—yang disebut pemerintah Indonesia sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata—dengan aparat keamanan.

Kontak senjata ini diikuti dengan pembakaran bangunan dan rumah penduduk.

"Yang terbakar itu satu gedung barak Dinas Pemuda dan Olahraga. Untuk pembakaran honai, kita sedang data," kata Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah (Polda) Papua, Kombes Faizal Ramadhani.

Juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-OPM, Sebby Sambom mengatakan pihaknya "susah untuk tawar menawar“. "Kalau gencatan senjata tak mungkin, karena ini kan konflik bersenjata untuk menuntut hak kemerdekaan politik,“ katanya.

"Pemerintah Indonesia harus membuka diri, presiden Jakarta harus buka dialog, karena perang akan jalan terus,“ tambah Sebby.

BBC telah menghubungi pelbagai pihak mulai dari Istana, Gubernur Papua Barat, dan TNI. Namun, sampai berita ini diturunkan, belum ada yang merespons.

Sementara itu, sebelumnya Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan pemerintah Indonesia akan melakukan pendekatan “kesejahteraan”.

Pengerahan TNI/Polri tidak dimaksudkan untuk tujuan operasi militer atau pendekatan kekerasan terhadap masyarakat, kecuali terhadap kelompok kriminal bersenjata pro-kemerdekaan Papua.

Para pengungsi di Bumi Cendrawasih, bukan hanya dari Kabupaten Maybrat, Papua Barat. Setidaknya ribuan pengungsi dari Intan Jaya, dan Kabupaten Nduga juga masih menatap masa depan yang belum jelas atas konflik bersenjata yang terus berlanjut.

“Kami punya anak-anak harus sekolah, seperti warga negara Indonesia yang lain. Harus mendapat pendidikan yang baik, pelayanan kesehatan, dan ekonomi,“ kata Lamberti.

https://regional.kompas.com/read/2022/08/20/061600578/pengungsi-papua--kita-mau-tinggal-di-sini-sampai-kapan-mama-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke