Salin Artikel

Paguyuban Sedap Malam Menghapus Stigma Negatif Transpuan

Di tengah riuh, suara gamelan terdengar kencang disusul gerakan rancak puluhan penari membawakan tari “Kala Purba”. Tua muda, anak-anak, remaja, pria, wanita, bahkan transpuan ikut serta.

Tarian serempak alias flashmob itu pun menarik perhatian pengunjung. Apalagi, ada penari transpuan yang tampil dengan warna baju berbeda. Gerakan mereka pun lincah, gagah, namun juga sangat kemayu.

“Padahal latihannya cuma satu kali lho, sama anak-anak sanggar itu,” kata Dwi Setyo Utomo alias Dwi Nawangwulan, salah seorang transpuan yang tampil menari.

Untuk flashmob kali ini, Dwi tampil sederhana, hanya dengan t shirt ungu dan celana panjang. Padahal, biasanya kalau pentas, Dwi tampil full make up.

“Kali ini enggak make up, besok saya pentas ketoprak, didandani seperti biasanya,” ujarnya.

Dwi adalah anggota Paguyuban Sedap Malam. Paguyuban kesenian dari Sukorejo, Desa Kroyo, Kecamatan Karangmalang, Sragen ini beranggotakan 64 orang, 15 di antaranya transpuan atau waria.

Paguyuban ini didirikan oleh Sri Riyanto atau yang akrab disapa Damen. Pria 44 tahun ini mendirikan komunitas kesenian sejak 2006. Saat itu, anggota dari transpuan baru 6 orang, seluruhnya adalah asisten rias pengantin yang dikenal Damen dari acara-acara hajatan.

“Saya dari SMP sudah sering pentas. Lulus SMK sering jadi cucuk lampah saat pernikahan. Saat itu saya kenal dengan mereka, para asisten rias manten. Saya batin, nari koyo ngono sing guyu akeh men, “ kata pria lulusan SMKN 8 Solo ini.

Karena tidak mengenal pendidikan tari, para transpuan itu bergerak sekenanya, tapi tetap lucu dan menghibur.

Damen pun berinisiatif mengajak mereka membentuk kelompok kesenian. Kebetulan, saat itu di Sragen dua kelompok kesenian yang ada tidak bisa akur.

Damen pun bergerak sendiri. Dia mengumpulkan 6 transpuan itu, mengajari mereka menari, membuat paket guyonan, berlatih koreografi, dan sebagainya. Jatuh bangun dialami Damen dan kelompoknya.

Apalagi, dia sadar, kelompok kesenian yang baru ia bentuk ini butuh suntikan dana agar bisa jalan.

“Zaman itu masih susah. Motor enggak punya, ke mana-mana boncengan atau naik bus,” katanya.

Damen tak patah semangat. Dia pun mengumpulkan para perias pengantin di Sragen.
Di depan para perias pengantin, Damen minta bantuan. Dia pun menawarkan sistem arisan, setiap bulan Rp 50.000. Uang itu digunakan untuk kas dan membiayai kegiatan Sedap Malam.

“Sampai sekarang arisannya masih jalan dan uang kasnya ada. Paling-paling dipakai piknik,” kata Damen.

Anggota Sedap Malam sekarang terdiri dari 15 transpuan dan 49 perias.

Ayah 3 anak itu masih ingat, pementasan pertama di Jakarta tahun 2007. Sedap Malam diundang membawakan pentas ketoprak berjudul Ande-ande Lumut di Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Saat itu, Damen membawa 6 orang anggotanya pentas membawa nama Sragen.

Sebelum tampil, banyak pihak yang tidak senang dan merendahkan komunitas ini. Ada yang memandang sebelah mata pada grup kesenian berumur seumur jagung itu, apalagi anggotanya waria.

“Ada yang bilang apa ya patut waria di Taman Mini. Aku perang sik. Aku ya duwe hak,” ujar Damen berapi-api.

Pementasan di TMII bisa dibilang sukses dan membawa nama Sedap Malam serta Sragen.
Bahkan, berkat pementasan itu, Sedap Malam diundang ke mana-mana. Menariknya, komunitas kesenian ini justru sering diundang oleh pondok pesantren.

Saah satu pondok pesantren yang paling sering mengundang Sedap Malam adalah Pondok Pesantren Nurul Huda Gondang, Plosorejo, Sragen.

Hampir setiap haul pesantren, Sedap Malam tampil untuk menghibur warga, santri, bahkan pimpinan daerah setempat.

Namun, bukan pentas tari atau ketoprak, Sedap Malam justru diminta bermain bola, tentu saja bermain sepak bola hiburan sehingga tak ubahnya pertunjukan.

Misalnya, seperti pada haul ke-34 ponpes tanggal 4 September 2019 yang lalu.

Dengan legging warna cerah, rok tutu, dan t shirt, Sedap Malam yang bertanding melawan unsur musyawarah pimpinan kecamatan (muspika) sukses mengocok perut penonton.

Untuk memenangkan pertandingan, mereka melakukan segala cara, mulai dari naik sepeda, didorong dengan gerobak, hingga memindahkan tiang gawang. Tingkah laku personel Sedap Malam membuat penonton terpingkal-pingkal.

Pemimpin Ponpes Nurul Huda Syarif Hidayatullah yang akrab disapa Abah mengatakan, ia tak pernah membeda-bedakan sesama manusia, tak pernah menyisihkan mereka, dan menganggap rendah transpuan.

Pesantren malah menggandeng Komunitas Sedap Malam setiap kali haul. Setelah tampil, mereka biasanya berkumpul dan mengobrol dengan Abah.

Menurut Lurah Pesantren Syaikhoni, dalam obrolan santai dengan Abah, secara tidak langsung Abah memposisikan diri sebagai orangtua. Jadi apabila anggota Sedap Malam butuh cerita apa saja, mulai dari kegelisahan atau apa pun, mereka bisa mencari Abah.

Pesantren, kata Abah, tidak pernah memaksakan transpuan harus berubah, kembali ke kodratnya, misalnya.

“Kami menerima semua golongan, tidak menghakimi,” katanya.

Bukan hanya Sedap Malam, setiap haul, pesantren mengundang beragam kesenian, mulai dari tradisional dan modern serta didatangi banyak kalangan. Lengger Banyumas, Gandrung Banyuwangi, dangdut, jaipongan, hanyalah sedikit dari penampil saat haul.

Lalu, pernahkan pesantren dihujat karena mengundang transpuan?

Syaikhoni menyebut, ucapan miring selalu ada tetapi pihak pesantren tidak pernah terpengaruh dengan omongan-omongan itu.

“Jangankan hal yang agak negatif, hal yang positif saja dibicarakan kok,” seloroh Syaikhoni lagi.

Pesantren yang berdiri 37 tahun yang lalu ini memang mengedepankan akhlak. Menurut Abah, manusia itu yang terpenting adalah berbuat baik, tidak merugikan orang lain, tidak merepotkan orang lain, dan tidak menyalahkan orang lain.


Bagi Damen, Sedap Malam tak ubahnya rumah untuk dia dan segenap anggotanya. Personel Sedap Malam sudah seperti keluarga, satu sakit semua ikut merasa sakit.

Bahkan, kata Damen, saat salah satu anggotanya sakit dan lalu meninggal dunia, hampir semua yang mengurus adalah anggota Sedap Malam.

Begitu juga jika ada anggota yang mau merenovasi rumah, misalnya, sumbangan itu datang dari anggota lain, misalnya berupa semen, pasir, seikhlas dan semampunya mereka.

Bagaimana pun, sebelum besar seperti sekarang, Damen mengedepankan akhlak dan perilaku.

Butuh waktu bagi dia untuk mengajari bagaimana berperilaku yang baik. Apalagi, kata Damen, transpuan cenderung lebih susah diajari.

“Nek aku hajar ya tak hajar tenan,” ucap Damen.

Kerasnya upaya Damen ini juga membuat tak semua anggota betah. Ada juga yang keluar karena tak tahan dengan kerja keras serta aturan-aturan yang diterapkan. Ada yang bergabung karena menganggap bahwa Sedap Malam sudah pasti menghasilkan uang, sehingga ingin langsung tampil tanpa mau bekerja keras.

Itu sebabnya, anggota Sedap Malam dianjurkan untuk tidak melakukan hal-hal negatif.

“Selalu diingatkan agar tidak berbuat macam-macam karena kan sekarang juga bawa nama komunitas. Tapi, kami tidak bisa melarang orang pacaran ya, itu hak mereka,” kata Dwi lagi.

Sedap Malam, bagi Dwi, bagaikan rumah. Dia sempat mengalami masa kurang menyenangkan, saat diminta menyelesaikan SMK. Dwi merasa, hati dan jiwanya bukan di SMK, yang biasanya memang sebagian besar siswanya lelaki.

Dwi justru tertarik dengan rias pengantin, bidang yang sejak dulu ditekuni sang ibu.

Dia pun ikut kursus dan memperkaya diri dengan ilmu hingga jadi perias terkenal, selain menerima job menari bersama Sedap Malam. Salon Nawangwulan miliknya tak pernah sepi job.Di bulan Juli saja, sudah 20-an pelanggan yang antre.

“Meskipun sibuk, sebisa mungkin Sedap Malam aku utamakan karena kan aku bisa besar juga dari Sedap Malam. Kalau misalnya sehari ada 2 job rias, nah, misalnya masih sempat aku nyusul, tapi misalnya enggak ya terpaksa aku enggak ikut. Aku ikut nanti yang berikutnya,” kata Dwi lagi.

Damen sendiri mengaku berlaku adil terhadap pembagian “job”. Untuk anggota yang dianggap sudah mapan, Damen hanya sesekali saja mengajak. Dan, hal itu juga ia sampaikan secara terus terang ke semua anggota.

Diterima semua pihak

Dwi mengaku, awalnya memang ada yang mencibir. Meski tidak terang-terangan, namun, dari tatapan dan pandangan mata menyiratkan rasa tidak suka pada komunitas ini.

Namun, mereka jalan terus. Bahkan, Damen dan komunitas ini sekarang sudah memiliki sanggar tari yang sebagian besar anggotanya anak-anak.

Sedap Malam juga rutin mengunggah pentas atau karya berkesenian mereka lewat YouTube channel.

Sedap Malam juga beberapa kali diundang dalam berbagai program pemerintah, misalnya, saat Peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) 2022 di Gunung Kemukus, Sragen yang bertema Cegah Stunting.

Saat pemerintah gencar mewajibkan vaksin Covid-19, anggota Sedap Malam juga terlibat.

Mereka yang sempat ketakutan justru malah jadi penghibur bagi anggota masyarakat yang akan vaksin.

“Saya kaget, waktu datang kok banyak wartawan. Anak-anak sekalian saja malah jadi menghibur di situ,” kata Damen lagi.

Uniknya, kata Dwi, mereka justru tidak pernah secara khusus berlatih. Jadi, karena sudah sering tampil, cukup bertemu satu dua kali membahas akan tampil seperti apa dan itu sudah cukup.

“Kalau sering latihan malah lupa, capek badannya, padahal juga pada punya kegiatan lain,” ucap Dwi yang kini cukup banyak memiliki penggemar itu.

Pilot project

Sementara itu, menurut akademisi dan aktivis perempuan Dewi Candraningrum, banyak faktor yang memengaruhi sehingga transpuan di desa di Sragen diterima. Dewi membaginya menjadi faktor eksternal dan faktor internal.

Faktor eksternal,kata Dewi, mungkin ada kebijakan yang tidak mempersekusi kelompok rentan. Selain itu, kelompok kanan atau radikal berbasis agama tertentu tidak menjadikan transpuan sebagai focal point dari perjuangannya.

Dewi juga menilai, ada tradisi yang menghargai kawan-kawan transpuan di Sragen.

“Sebelum ada LGBT, sebelum ada transpuan, di dalam tradisi di Indonesia ada entitas itu,” jelas Dewi.

Menurut dia, Sedap Malam bisa dijadikan blue print atau pilot project di daerah lain.

Dewi juga menilai, Sedap Malam sukses diterima karena strategi kultural mereka. Dari nama, mereka menggunakan nama Sedap Malam, yang sama sekali tidak menyinggung LGBT, misalnya. Politik penamaan ini penting.

Kedua, mereka melakukan strategi-strategi kebudayaan yang tidak menonjolkan identitas mereka. Sedap Malam, kata Dewi, melakukan cross boundaries atau melintas batas, misalnya terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan sosial, agama, dan lainnya.

Faktor internal yang lain, secara personal, kepemimpinan di Sedap Malam tidak arogan, memahami konteks lingkungan dengan baik, mampui beradaptasi, dan memiliki social security yang kuat.

Media juga memegang peranan penting. Menurut Dewi, Sedap Malam dicitrakan dan ditampilkan dengan cara yang tidak menghakimi.

Dia menambahkan, Sedap Malam bisa jadi pilot project di daerah lain. Namun, perlu bekerja keras mengolah konteks lokal karena konteks lokal berbeda, butuh penanganan berbeda, adaptasi berbeda, dan strategi gerakan berbeda.

Lalu, mengapa di Sragen yang wilayah pedesaan komunitas transpuan ini justru diterima dengan baik?

Dewi mengira, di daerah itu justru belum masuk homofobia.

“Homofobia itu kan kita impor dari barat jadi literasi kebencian terhadap homo kita dapat dari barat. Tidak home grown. Sebelum ada istilah LGBT, kita justru mengenal warok gemblak, lengger, bissu, dan lain-lain. Kita sangat inklusif sebenarnya,” ujar Dewi.
***
Liputan ini menjadi bagian dari program training dan hibah Story Grant: Mengembangkan Ruang Aman Keberagaman di Media oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) yang terlaksana atas dukungan International Media Support (IMS)

https://regional.kompas.com/read/2022/08/19/053000478/paguyuban-sedap-malam-menghapus-stigma-negatif-transpuan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke