Salin Artikel

Kisah Joki Cilik di Bima, Menantang Maut demi Nama Besar Pemilik Kuda

BIMA, KOMPAS.com - Pacuan kuda di Kabupaten dan Kota Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), kini menjadi sorotan banyak pihak.

Mereka yang menentang beralasan karena ada praktik eksploitasi. Sebab, joki kuda yang dipacu adalah anak di bawah usia 10 tahun.

Pada sisi lain, pacuan kuda dengan joki cilik ini mendapat dukungan karena alasan tradisi leluhur.

Di tengah pro dan kontra penggunaan joki cilik itu, ada cerita menarik dari dua mantan joki di Bima.

Adalah Rian, kakak kandung dari Muhammad Alfian (6), seorang joki yang tewas akibat terjatuh dari punggung kuda saat latihan di arena pacuan di Desa Panda, Kecamatan Palibelo, Kabupaten Bima.

Rian mengungkapkan, semenjak menjadi joki pada usia 9 tahun, sudah banyak prestasi yang ditorehkan untuk pemilik kuda. Bahkan, tidak hanya di NTB, Rian juga pernah meraih juara 1 dalam pacuan kuda di Kupang.

Upah sukarela

Hasil yang diperoleh sebagai joki tidak menentu, sebab besaran upah yang diterima tergantung kerelaan dari pemilik kuda.

Paling rendah biasanya yang diterima Rp 50.000 untuk sekali tunggangan. Selain itu, ada juga beberapa pemilik kuda yang memakai sistem kontrak selama turnamen berlangsung. Besaran nilai kontraknya yakni Rp 3 juta dengan banyak kuda pacu yang harus ditunggangi 3 sampai 5 ekor.

"Upahnya ada yang bayar sekali tunggang, ada juga memakai sistem kontrak. Dalam sehari itu bisa 10 kuda kita tunggangi, cuma beda-beda kelas," ujarnya.

"Sebaiknya hentikan saja joki cilik ini, kasihan sudah semakin kecil juga sekarang jokinya. Bahkan, di bawah Alfian ada juga yang sudah joki saat ini," ungkapnya.

Sementara itu, Umbu Indra (26), mantan joki yang kini diupah untuk melatih kuda pacuan milik Rahmat Adi Putra, mengatakan, setiap kali turnamen pihaknya mengontrak joki cilik.

Seperti waktu gelaran pacuan kuda di Penyaring, Kabupaten Sumbawa, beberapa waktu lalu. Ia mengontrak joki untuk dua kali tunggangan Rp 600.000. Karena kuda tersebut berhasil merebut bendera juara, joki bernama Fikra itu lantas diberi bonus tambahan Rp 2,5 juta.

"Saya kontrak tapi karena dia juara saya kasih lebih uangnya Rp 2,5 juta. Waktu juara itu kami cuma dapat uang Rp 7 juta, itu belum dipotong biaya untuk jokinya," kata Indra.

Menurut dia, uang hasil juara dari setiap pacuan sebenarnya tidak sepadan dengan biaya perawatan yang dikeluarkan untuk kuda pacu.

Dalam sebulan, pemilik kuda biasanya mengeluarkan biaya minimal Rp 6 juta untuk membeli pakan dan obat-obatan kuda dari Pulau Jawa.

"Saya digaji Rp 2 juta, selain hadiah kuda. Uang hadiah untuk kita, mau berapa saja hadiahnya, pengusaha hanya dapat nama saja, yang penting mereka senang, namanya orang banyak uang ndak peduli uang hadiah," ungkapnya.

Indra mengaku, tidak setuju jika joki cilik dalam pacuan kuda dihapus mengingat ini bagian dari tradisi masyarakat Bima. Kalaupun dipaksa dan menggunakan joki dewasa, menurutnya berat joki tidak ideal dengan tinggi kuda yang ada di Bima.

"Kalau kita pakai joki besar otomatis joki ini tidak bisa kita pacu. Kalau untuk dirubah berat karena ini sudah dari dulu," kata Indra.

https://regional.kompas.com/read/2022/08/03/162714178/kisah-joki-cilik-di-bima-menantang-maut-demi-nama-besar-pemilik-kuda

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke