Salin Artikel

Kala Hidup Sopir Mobil Rental di Babel Ikut Tergantung dengan Tambang Timah

Lajang yang bekerja sebagai sopir mobil rental di Kota Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung, itu baru saja mengantarkan tamu ke luar daerah.

Hari itu adalah jadwal istirahatnya. Esok pagi, dia akan kembali berada di depan kemudi. Menyusuri jalan raya hingga jalanan bebatuan sesuai tujuan para tamu yang menyewa mobil.

"Timah kalau harganya naik, perekonomian jadi hidup. Otomatis banyak yang datang dan keperluan sewa mobil," ujar Denis kepada Kompas.com, Kamis (28/7/2022).

Denis mengungkapkan, penyewa mobil memang tidak selalu dari kalangan penambang timah, tapi juga berasal dari sektor usaha lainnya.

Ini terjadi karena aktivitas pertambangan menjadi penggerak terbesar perekonomian Bangka Belitung.

Denis merupakan potret pekerja lepas di sektor usaha jasa. Dia khusus bertugas sebagai driver saat ada orderan masuk.

Mobil biasanya berasal dari showroom rental atau diambilkan dari orang pribadi.

"Kalau ada yang sewa ke rental, biasanya mereka menghubungi saya sebagai driver," ujar Denis.

Saat ini, kata Denis, permintaan mobil rental cukup tinggi. Bahkan banyak yang sudah menyewa mingguan hingga bulanan.

Agenda G20 yang bakal berlangsung di Belitung, kata Denis, juga akan membuat usaha rental kebanjiran orderan.

"Banyak Innova Reborn mau dikirim dari sini ke Belitung. Bukan tidak mungkin kami juga ikut ke sana," ujar dia.

Selain bertahan di tengah pandemi, tambang timah juga menyasar langsung kehidupan masyarakat bawah.

"Saat ini Rp 100.000 per kilogram untuk pasir timah. Sebelumnya bahkan sampai Rp 175.000 per kilogram. Akhirnya banyak yang menambang dan mereka punya uang," ucap Denis.

Dalam sebulan Denis bisa mendapatkan rata-rata 15 pesanan untuk menjadi driver. Jumlah itu sudah menyamai gaji minimum provinsi Rp 3.000.000.

Sebagai driver, Denis juga harus mengatur waktu istirahat agar selalu bugar ketika mengemudi.

Pedagang pecel lele di daerah Koba, Bangka Tengah, Junaidi juga mengungkapkan bahwa penambangan timah sangat memengaruhi penghasilan mereka.

"Dulu saat timah masih jaya, di sini ada PT Kobatin. Kami bisa buka sampai pagi. Sekarang sudah sepi," ujar Junaidi.

Penurunan omset penjualan pun terjadi hingga 70 persen. PT Kobatin resmi ditutup dengan alasan merugi.

Pada awal 2010, produksi timah mengalami penurunan. Ini dikarenakan cadangan yang menipis dan kerusakan pada alat.

Pada 2009, PT Kobatin melaporkan produksi tidak mencapai target. Dari perencanaan 7.000 ton timah batangan, hanya terealisasi 6.000 ton.

Dalam waktu bersamaan biaya produksi terus meningkat. Kemudian pada 2013 kontrak karya perusahaan habis.

Sebelumnya PT Kobatin sempat berganti investor dari Australia hingga Malaysia.

Menurut Junaidi, aktivitas warga di daerah Koba juga tidak seramai dulu lagi. Saat malam hari terasa sepi dan pada pukul 20.00 WIB sudah banyak yang tutup toko.

"Memang yang meramaikan dulu Kobatin. Sekarang tidak ada lagi," ujar Junaidi.

Mantan Wakil Bupati Bangka Tengah yang juga mantan Manajer PT Kobatin, Patrianusa Sjahrun membenarkan aktivitas perusahaan berdampak langsung pada kehidupan masyarakat.

Setelah PT Kobatin tutup, kehidupan ekonomi masyarakat seakan kurang gairah. PT Kobatin merupakan perusahaan timah swasta terbesar di Bangka Belitung.

"Ini tantangan bagi kepala daerah untuk bersama pemerintah pusat agar lahan IUP bisa dikelola lagi," ujar Patrianusa.

"Dulu primadona perekonomian daerah, sekarang tidak jelas," ujar Patrianusa.

Dia berharap bekas kantor dan smelter Koba Tin segera dikosongkan dan digunakan lebih produktif.

"Jangan terikat kepentingan tertentu," harap Patrianusa.

https://regional.kompas.com/read/2022/07/29/220344578/kala-hidup-sopir-mobil-rental-di-babel-ikut-tergantung-dengan-tambang-timah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke