Salin Artikel

Warga Ongko Asa di Kaltim Berjuang Menolak Tambang Batu Bara

SAMARINDA, KOMPAS.com – Puluhan warga berkumpul di tribun lapangan Peninyau, Kampung Ongko Asa di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur (Kaltim), Kamis (14/7/2022) malam sekira pukul 20.00 Wita.

Malam itu, ketika udara dingin menembus kulit, 32 warga duduk beralas papan sepakat menolak kehadiran perusahaan pertambangan batu bara, PT Kencana Wilsa di desa mereka. 

Dari 33 warga yang hadir, hanya satu yang tidak memberikan suara. Sisanya, setuju menolak tambang.

Pertemuan itu dilatarbelakangi surat rekomendasi izin setuju yang dikeluarkan dua hari sebelumnya oleh Kepala Kampung Ongko Asa Bagun, Ketua Badan Permusyawaratan Kampung (BPK) Imran Wen dan Kepala Adat Yupentius kepada PT Kencana Wilsa.

Surat bernomor 540/258/Rekom.Pem.OA/VII/2022 itu diserahkan oleh Bagun kepada Direktur PT Wilsa Afrian Wijayakarta, pada Rabu (12/7/2022), disaksikan Imran Wen dan Yupentius.

“Malam itu, kami sepakat menolak dan meminta kepada pemerintah kampung untuk segera menarik atau membatalkan surat rekomendasi itu dalam 2x24 jam,” ungkap Markus perwakilan warga saat dihubungi Kompas.com, Senin (18/7/2022).

Markus bilang, jika surat tersebut tidak dicabut, maka warga berhak menyatakan mosi tidak percaya kepada pemerintah kampung, BPK dan lembaga adat, dan akan melakukan upaya lain sesuai dengan kewenangan warga yang dimiliki.

Sehari setelah tuntutan warga, Bagun, Imran Wen dan Yupentius lalu mencabut surat rekomendasi itu.

Mereka juga menegaskan kampung Ongko Asa menolak tambang mengikuti kesepaktan warga.

“Memang terjadi dinamika. Kami akhirnya ikut kesepakatan warga. Tadi malam kami rapat, bacakan surat pencabutan itu dihadapan warga,” ungkap Bagun kepada Kompas.com.

Humas PT Kencana Wilsa Diyan Dirga tak mempermasalahkan atas pencabutan surat rekomendasi itu.

“Ya kalau kami menerima (pencabutan) itu, mau gimana lagi,” ungkapnya saat dihubungi Kompas.com, Selasa (19/7/2022).

Jalan panjang penolakan


Kehadiran PT Kencana Wilsa di lokasi tersebut setelah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari Pemerintah Kabupaten Kutai Barat dengan luasan konsesi 5.010 hektar, pada 2010.

Waktu itu, kewenangan mengeluarkan izin masih dipegang kabupaten dan kota, belum diserahkan ke Kementerian ESDM.

Luasan konsesi itu disebut hampir 90 persen di antaranya masuk wilayah kampung Ongko Asa. Sisanya, masuk wilayah kampung Muara Asa, Geleo Asa, Pepas Asa, Juaq asa, dan Muara Benangaq, yang semuanya terhubung dalam kawasan Gunung Layung.

Gunung ini menyimpan cadangan air bagi enam kampung itu.

Diyan membenarkan izin perusahaannya masuk wilayah enam kampung.

Peneliti Jatam Kaltim, Teresia Jari mengatakan, dari enam kampung itu, sebagian kampung menolak, sebagian lain menerima.

Tetapi, Kampung Ongko Asa warganya menolak 100 persen sejak keluar IUP.

Pada 12 Juli 2018 warga Ongko Asa menyatakan sikap penolakan terhadap PT Kencana Wilsa tertuang dalam surat nomor 01.PWK-OngkoAsa/IV/2018.

Tere menyebut, penolakan itu dilakukan demi menghindari masalah lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas pertambangan batu bara serta masalah sosial antar kampung.

“Sebab, tapal batas antarkampung juga sampai saat ini belum disepakati,” kata Tere.

Pada Agustus 2018 Pemprov Kaltim merespon penolakan warga, dengan memfasilitasi dialog antar warga dan perusahaan.

Tere juga Markus menyebutkan, dalam pertemuan tersebut, PT Kencana Wilsa berkomitmen untuk tidak menambang di wilayah kampung Ongko Asa sebagaimana dituangkan dalam surat pernyataan PT Kencana Wilsa nomor: 012/KW-Smd/Dir/IV/2018.

Dalam surat tersebut, seperti yang dikirim ke Kompas.com, PT Kencana Wilsa menyatakan tak akan menambang di wilayah kampung Ongko Asa karena tidak ekonomis. Diyan membenarkan surat pernyataan itu.

“Kami memang pernah bikin surat pernyataan tidak menambang di wilayah kampung Ongko Asa. Tapi misalnya sekarang kami diperbolehkan, ada warga yang lahannya mau dibebaskan ya kami masuk,” kata dia.

“Tapi kalau mereka tidak mau, ya tidak masalah juga, kan kami belum gerak juga,” tambah dia. 

Hutan Ibu bagi Masyarakat Dayak

Kampung Ongko Asa mayoritas dihuni masyarakat suku Dayak Tunjung. Letaknya kurang lebih 12 kilometer dari Sendawar, ibu kota Kabupaten Kutai Barat. Kampung ini masuk Kecamatan Barong Tongkok.

Markus bilang masyarakat Ongko Asa punya hutan adat tak jauh dari titik operasi PT Kencana Wilsa. Mereka takut hutan adat, juga lahan pertanian rusak karena aktivitas tambang batu bara.

“Alasan kami menolak karena mengancam sumber mata air, ladang dan hutan adat kami,” terang Markus.

Markus menjelaskan, hutan bagi masyarakat suku Dayak adalah ibu yang memberi kehidupan. Tak heran, masyarakat suku Dayak Tunjung di Ongko Asa punya ritual khusus menjaga hutan. Ritual pakan talun, namanya.

Ritual ini diadakan untuk memberi makan penjaga hutan sekaligus meminta izin jika membongkar hutan untuk keperluan pembangunan. Karena itu, ritual ini dianggap sebagai penghormatan masyarakat dayak terhadap hutannya.

Warga Ongko Asa dan kampung lainnya yang berada di kaki Gunung Layung, menganggap hutan adat sebagai ibu. Merusak saja, mereka tak sanggup. Karenanya, kehadiran tambang di situ, tentu jadi ancaman bagi warga.

“Selain ancaman sumber air, kehadiran tambang juga mengancam lahan pertanian warga, itu yang kami enggak mau,” tegas dia.

Apalagi, kampung di kaki Gunung Layung selama ini menjadi sentral produksi hasil pertanian dari sayuran, buah-buahan dan perkebunan karet. Bahkan, durian melak yang biasa dijual di kota-kota besar, berasal dari desa-desa yang ada di wilayah tersebut.

Selain itu, sungai-sungai alami di kaki Gunung Layung juga menyimpan banyak ikan. Masyarakat dengan mudah mencari ikan di sungai –sungai yang ada di kawasan tersebut.

"Kalau ada tambang bakal hancur hutan adat dan lahan pertanian kami," terang Markus.

Pecah belah


Dinamisator Jatam Kaltim Pradarma Rupang menduga ada upaya perusahaan mempengaruhi petinggi kampung dan adat untuk menyetujui ada pertambangan batu bara di lokasi tersebut tanpa sepengetahuan warga adalah bagian dari upaya pecah bela antar warga.

“Itu sangat mungkin. Ini bagian dari upaya melemahkan ditingkat warga. Warga itu punya visi ekonomi berkelanjutan. Tapi di sisi lain segela bentuk kampanye, bujuk rayu, membuat di tingkat masyarakat juga terpecah belah,” terang Rupang kepada Kompas.com.

Rupang mencontohkan kasus itu bahkan masuk dalam level rumah tangga. Misalnya, istri menolak membebaskan lahan untuk tambang, sementara perusahaan mempengaruhinya lewat suami.

“Jadi kehadiran industri tambang ini sangat meresahkan. Selain daya rusak lingkungan, juga membuat konflik sosial bahkan pertengkaran di level rumah tangga,” tegas dia.

“Belum lagi konflik antartetangga yang pro dan kontra tambang. Jadi masalahnya cukup kompleks di lapangan,” tambah Rupang. 

Diyan membantah tudingan upaya pecah belah antarwarga.

“Tidak ada upaya pecah belah. Kami tidak meminta secara diam-diam,” kata dia.

Diyan mengklaim banyak warga Ongko Asa menjual lahan kepemilikan di wilayah Ongko Asa ke PT Kencana Wilsa.  

“Nah sekarang mereka mau jual lagi di dalam wilayah Ongko Asa, ya perlu ada izin dari petinggi kampung, karena sebelumnya sudah ada pernyataan kami tidak tambang di Ongko Asa. Tapi akhirnya rekomendasi itu dicabut lagi ya enggak masalah, kami tambang di lokasi lain saja, simple aja,” pungkas dia.

https://regional.kompas.com/read/2022/07/19/163820778/warga-ongko-asa-di-kaltim-berjuang-menolak-tambang-batu-bara

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke