Salin Artikel

Kisah Juliana, Perempuan Orang Rimba Pertama yang Kuliah: Melawan Tradisi Pernikahan Dini

JAMBI,KOMPAS.com - Seorang perempuan Orang Rimba butuh perjuangan berat untuk mengenyam pendidikan sampai level perguruan tinggi.

Hadangan justru datang dari keluarga dekat dan aturan adat.

Berbeda dengan Juliana (20) yang berani melawan arus. Perempuan rimba dari kelompok Dusun Kelukup, Desa Dwi Karya Bakti, Kecamatan Pelepat, Bungo kini berkuliah di Universitas Muhammadiyah Jambi.


"Saya mau kuliah, karena sadar hutan bukan lagi masa depan," kata Juliana saat disambangi Kompas.com di kampusnya, Sabtu (16/7/2022).


Ia menceritakan sejak lahir dirinya sudah tinggal di luar hutan. Keahlian untuk bertahan hidup di hutan menjadi minim.

Keputusan keluarga untuk mualaf serentak pada 2014 lalu, juga mendorong dirinya untuk memiliki keahlian baru. 


"Saya pilih kuliah di Universitas Muhammadiyah dan ambil jurusan kehutanan," kata Juliana.

Usai menamatkan gelar sarjana, dirinya ingin bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang konservasi hutan.

Dengan bekerja di perusahaan konservasi hutan, Juliana ingin membantu Orang Rimba lain, agar dapat hidup tenang dalam hutan, tanpa takut deforestasi atau alih fungsi lahan.


Pernikahan dini

Keinginan kuliah ini, sambung Juliana, harus mulus sampai akhir. Setidaknya, dia dapat menginspirasi perempuan rimba lain, agar tidak melakukan pernikahan dini.


"Takut Bang. Adat kami keras, kalau melawan adat itu kena denda (tebus) dan maaf (perempuan) Rimba bisa mendapatkan kekerasan fisik dari keluarga," kata Juliana dengan nada berat.

Adat matrilineal Orang Rimba, seorang paman dapat menerima atau menolak lamaran seorang lelaki terhadap anak perempuan yang berada dalam pengaruhnya.

Dalam konteks ini, perempuan Rimba berada dalam kendali paman dan nenek (garis ibu) terkait urusan pernikahan.

Apabila melawan keputusan sang paman, maka Kedua orangtuanya harus membayar tebusan (denda adat) sampai dua kali lipat, sesuai mahar yang dibayarkan oleh pihak lelaki rimba.


"Rasa cinta Ayah begitu besar. Dia sanggup jual kebun, untuk membayar tebusan (denda adat) agar saya tetap kuliah dan batal menikah," kata Juliana dengan butiran kristal di sudut matanya.

Bagi perempuan rimba, untuk sampai pada titik orangtua membayar tebus perjodohan (lamaran) itu tidak mudah, tentu harus memiliki keberanian dan keberuntungan.

Juliana memiliki keduanya, berani dan beruntung.

Dia berani mengutarakan mimpinya untuk kuliah. Dia juga beruntung, karena lelaki yang melamarnya, apabila jadi menikah, akan membawanya jauh dari kedua orangtuanya.

"Takut juga. Tapi karena dorongan kuat untuk kuliah dan Pundi Sumatera (NGO pendamping Orang Rimba), akhirnya berani juga, untuk melawan tradisi," kata Juliana.

Orang Rimba

Pernikahan dini di kalangan Orang Rimba sudah mentradisi. Juliana menuturkan, kerabatnya menikah di usia 16 tahun saat duduk di kelas dua SMK.

Teman dekatnya yang lain terpaksa putus sekolah karena menikah di usia 14 tahun saat duduk di kelas 2 SMP.

Tantangan lain dari Juliana untuk kuliah adalah rayuan dari keluarga.

Dia membujuk Juliana dengan memberikan 3 hektar sawit, jika ingin berhenti kuliah.

"Tidak mau kebun sawit. Walaupun dikasih 100 hektar plus mobil, tetap saya pilih kuliah," kata anak kedua dari 4 saudara ini.

Korban bullying

Anak perempuan dari ayah bernama Samsu ini, menjadi korban bahan olok-olokan (bullying) dari kerabat dekat atau ibu-ibu di tempat Juliana berasal.

"Kamu ngapain kuliah, nanti juga balik ke hutan (dusun), balik ke dapur. Enaklah berhenti kuliah bantu orangtua kerja. Kasihan sama orangtua harus kerja keras," kata Juliana.


Perkataan dari orang-orang ini membuat remuk hati Juliana. Sehingga memunculkan hasrat untuk kembali ke kampung dan berhenti kuliah.


"Saat-saat genting itu, kakak-kakak pendamping dari Pundi Sumatera menguatkan, meminta saya jangan menyerah," kata perempuan yang sudah kuliah 4 semester ini.

Pandemi ujian berat


Perempuan berhijab ini menuturkan, saat baru masuk kuliah bertepatan dengan pandemi dan harus menjalani kuliah jarak jauh (online).

Uang kuliah memang beasiswa, kata Juliana, tetapi peralatan kuliah seperti ponsel pintar wajib ada.


"Sempat enggak bisa kuliah karena tidak punya handphone. Orangtua kuras tabungan, untuk beli," kata Juliana.

Dengan pendampingan dari lembaga pemberdayaan masyarakat adat, Pundi Sumatera, Juliana dengan cepat menguasai teknologi.

"Tantangan kuliah saat pandemi, ya susah sinyal dan mati lampu," kata perempuan yang memiliki ibu bernama Benang ini.


Rindu


Pertama kali kuliah di Jambi, Juliana selalu dilanda rindu. Bahkan neneknya, pernah nangis-nangis meminta Juliana pulang, untuk melepas rindu.

"Kalau rindu pasti. Tapi saya kuat-kuatkan. Kalau sudah tak kuat, saya telepon," kata Juliana dengan nada sendu.

Untuk pergaulan di kampus, awalnya Juliana mengaku pendiam dan sangat jarang membuka diri.

Pesan dari ayahanda, sambung Juliana, dia harus pandai menjaga diri dan berhati-hati dengan orang asing.

Dua tahun kuliah, Juliana sudah mengenal seluruh teman kampusnya. Bahkan dia punya 7 orang sahabat dekat.


Tidak hanya sahabat, dia juga memiliki media sosial seperti Facebook dan Instagram.

CEO Perkumpulan Pundi Sumatera, Dewi Yunita Widiarti menuturkan lembaga yang dia pimpin fokus pada layanan pendidikan, melalui kegiatan sekolah alam dan fasilitasi pendidikan ke sekolah formal.


Kemudian program pendampingan dan pemberdayaan yang dilakukan Pundi Sumatera pada komunitas Suku Anak Dalam (SAD) atau Orang Rimba sejak 2012.


"Tidak mudah membuat perempuan Orang Rimba kuliah, karena rata-rata usia 18 tahun sudah menikah. Lebih dari itu dianggap perawan tua," kata Dewi.


Baru-baru ini ada 3 orang yang putus sekolah karena harus menikah. Bahkan perempuan rimba ini, menangis-nangis meminta Pundi Sumatera "menggagalkan" pernikahan mereka karena ingin sekolah.


"Kami dengan pemerintah daerah, bersama-sama mau membatalkan pernikahan perempuan rimba. Tapi gagal karena berlaku hukum adat dan denda adat," kata Dewi.


Selain adanya tradisi dan hukum adat Orang Rimba yang kuat, pernikahan perempuan rimba sejak dini, dapat mengurangi beban orangtua terkait tekanan ekonomi.


Dengan adanya Juliana yang memiliki keinginan kuat untuk kuliah, maka Pundi Sumatera mendukung penuh seluruh biaya kuliahnya.

"Mulai dari uang kampus sampai duit buku, uang makan dan jajan kita tanggung. Kita kasih beasiswa full," kata Dewi.


Dewi mengatakan, Juliana memilih kehutanan karena merasa lebih mudah dan dekat dengan dirinya. Juliana memilih sendiri tanpa paksaan.


Menurut Dewi, ia sudah mendampingi Juliana sejak 2012. Pembinaan dimulai dari SD, agar senantiasa memprioritaskan pendidikan.


Dalam tradisi Orang Rimba, perempuan tidak boleh pergi jauh dari rumah. Saat pergi harus didampingi oleh bapak atau abangnya.

Juliana melawan tradisi itu dan dapat membuktikan kalau dia bisa menjaga diri di luar kelompok untuk menempuh pendidikan.

Perempuan bagi Orang Rimba adalah kehormatan keluarga. Bahkan denda adat bisa dijatuhkan apabila tanpa izin mendekati atau menyentuh perempuan rimba.


Selain Juliana, Dewi mengaku pihaknya pernah memberikan beasiswa kepada seorang lelaki Orang Rimba bernama Seri Santoso.


"Kini dia putus kuliah, karena telah lulus menjadi polisi. Kita dorong masuk Polri, karena itu memang cita-citanya," sebut Dewi.

Sementara itu, Sri Muryati, Dosen Kehutanan Universitas Muhammadiyah Jambi menuturkan kampusnya amat senang mendapatkan mahasiswi seperti Juliana.


"Kami sangat mendukung pemberdayaan pendidikan Orang Rimba. Kami bekerja sama dengan Pundi Sumatera," kata Muryati.


UM Jambi selalu memantau Juliana dalam pergaulan. Hal ini dilakukan agar dia terhindar dari  bullying.


"Awal masuk memang pendiam. Budaya Orang Rimba memang perempuan dilarang bergaul dan berkumpul dengan lelaki, selain keluarga. Tapi lama-lama terbuka," katanya.

Keterbukaan Juliana, tambah Muryati karena setiap dosen menggunakan metode kerja kelompok, agar para mahasiswa saling berbaur.


Selain itu, pihak kampus juga mengadakan kuliah lapangan dengan camping di hutan kota dan Hutan Sebapo.


"Sejauh pantauan kami, dia disayang teman-temannya dan tak pernah jadi korban bullying," katanya.


Juliana, menurut Muryati, adalah anak yang rajin. Nilai biologinya pun paling menonjol. Bahkan Juliana mewakili kampus ikut Olimpiade Biologi tingkat provinsi. 


"Dia dapat beasiswa, tidak dipungut biaya," tutup Muryati.

https://regional.kompas.com/read/2022/07/17/063000678/kisah-juliana-perempuan-orang-rimba-pertama-yang-kuliah-melawan-tradisi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke