NUNUKAN, KOMPAS.com – Sebuah usungan tradisional berbentuk tandu terlihat dipikul beramai ramai oleh masyarakat perbatasan RI – Malaysia, di dataran tinggi Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, Kamis (14/7/2022).
Terlihat isi tandu dibungkus rapat dengan kain, yang ternyata menutupi sesosok jenazah dari Amos Udan (70), salah seorang warga Wa’Yagung Krayan.
Masyarakat setempat terus bergantian memikul jenazah, berjalan kaki menembus hutan, sampai malam hari.
Salah seorang tokoh masyarakat Krayan Timur, Kornelius mengaku prihatin dan gerah atas kondisi yang terus saja terjadi dan tidak pernah ada perubahan, sejak Indonesia merdeka ini.
‘’Kasus jenazah warga Krayan digotong beramai ramai, menembus hutan dengan jalanan kerbau penuh lumpur terus terjadi. Sampai kapan masalah ini terbiar? Di mana hati nurani kita melihat peristiwa yang selalu saja terulang begini,’’ujarnya, Jumat (15/7/2022).
Kali ini, jenazah Amos Udan yang merupakan salah satu warga yang dituakan di Krayan Timur.
Beberapa waktu lalu ada juga jenazah dari Desa Bungayan, David Musa dengan kondisi yang sama persis.
Digotong dengan tandu
Kasus orang sakit di Krayan digotong dengan tandu bukan perkara baru.
Kornelius mengatakan, para warga yang sakit parah selalu dibawa keluar desa dengan usungan.
Bahkan ketika mereka kembali sebagai jenazah, jasad mereka kembali pulang dengan menaiki usungan.
‘’Sampai kapan ini terjadi? bukannya ada anggaran untuk perbaikan pembangunan jalan? Beberapa tempat terlihat jalanan dibuka dan ada bekas traktor. Jadi kesenjangan pembangunan di Krayan masih terjadi,’’jelasnya.
Kornelius berharap ada kontrol dan kepedulian atas kondisi warga perbatasan RI – Malaysia yang terus saja dalam keterisoliran.
‘’Yang ingin saya katakan, kalau ada pembangunan, kalau ada anggaran digelontorkan ke wilayah Wa’Yagung khususnya, tolong kawal. Jangan sampai peristiwa ini terus saja terbiar tanpa adanya perhatian,’’kata Kornelius.
Menjaga harapan lepas dari keterisoliran
Terpisah, Camat Krayan Timur Liantoni mengakui jika akses desa di pedalaman hutan Krayan, seperti Wa’yagung dan Bungayan masih sangat sulit dilewati.
Jalanan di wilayah tersebut dikenal sebagai jalanan kerbau, karena sangat berlumpur dan menjadi kubangan kerbau warga setempat.
‘’Aktivitas warga menggunakan kerbau. Mereka ambil barang atau belanja dengan kerbau. Termasuk mengangkut orang sakit juga kadang kadang menggunakan jasa kerbau, selain digotong dengan usungan tentunya,’’kata Liantoni.
Kesulitan warga perbatasan memang sangat kompleks. Tak hanya akses jalan yang tidak ada, kebutuhan pokok juga sulit didapat.
Dalam kasus jenazah Amos yang digotong beramai ramai, katanya, almarhum diterbangkan dari Kabupaten Malinau menuju Bandara Long Bawan Krayan.
RSUD Malinau memiliki jarak dan akses lebih mudah dijangkau dari Krayan ketimbang RSUD Nunukan.
‘’Warga tersebut meninggal di RSUD Malinau akibat sakit komplikasi yang dideritanya. Keluarga mencarter pesawat untuk membawanya pulang ke Krayan dan biayanya tentu saja tidak murah,’’katanya.
Untuk carter pesawat perintis membawa jenazah dari Malinau ke Bandara Long Bawan, Krayan, warga harus merogoh Rp 14 juta.
Dari Bandara Krayan, jenazah Amos harus kembali dinaikkan dalam mobil menuju Long Umung, dengan biaya termurah mendekati satu juta rupiah jika jalanan kering.
Jika hujan, maka ongkos mobil menjadi dua kali lipat, karena jalanan penuh lumpur. Hanya mobil double kabin yang biasanya digunakan masyarakat di Krayan.
Sampai di Long Umung, warga Desa Wa’yagung atau Bungayan, akan menjemput jenazah dengan tandu dan mengusungnya bergantian melewati hutan yang biasanya ditempuh dalam satu hari perjalanan.
Liantoni menjelaskan, proses pembuatan akses jalan ke dua desa dalam hutan di Krayan, telah berlangsung mulai 2017.
‘’Hanya saja memang tidak pernah selesai karena kendala jembatan gantung di atas sungai yang memiliki lebar sekitar seratusan meter. Tahun ini, ada juga rencana pembangunan jalan. Kita hanya bisa berharap, pembangunan bisa dilakukan dan keterisoliran masyarakat terurai perlahan,’’kata dia.
https://regional.kompas.com/read/2022/07/15/142220578/puluhan-tahun-tak-miliki-jalan-layak-warga-perbatasan-ri-gotong-jenazah