Salin Artikel

Malam Satu Suro: Sejarah dan Tradisi di Yogyakarta Juga Solo

KOMPAS.com - Masyarakat Jawa menyebut tahun baru Islam dengan satu suro.

Tahun baru Islam atau 1 Muharram 1444 H akan jatuh pada tanggal 30 Juli 2022.

Muharram juga berarti bulan yang diutamakan dan dimuliakan. 

Di sejumlah wilayah, malam satu suro diperingati dengan laku atau lampah prihatin dan batin.

Sejarah Malam Satu Suro

Pertama kali, kalender Jawa diterbitkan oleh Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo sekitar 1940 tahun yang lalu yang mengacu ada pengggalan Hijriyah (Islam).

Saat itu, Sultan Agung menginginkan adanya persatuan rakyat untuk menggempur Belanda di Batavia, termasuk menyatukan Pulau Jawa.

Ia ingin agar rakyatnya tidak terbelah apalagi disebabkan oleh agama. Sultan Agung ingin menyatukan kelompok abangan serta santri.

Sehingga setiap hari Jumat legi, pemerintah setempat melaporkan sambil melakukan pengajian oleh para penghulu kabupaten. Pada kesempatan itu juga dilakukan haul ke makam Ngampel dan Giri.

Akhirnya, 1 Muhararam atau satu suro yang dimulai pada hari Jumat legi itu turut dikeramatkan. Bahkan, ada pandangan bahwa jika hari itu tidak dimanfaatkan untuk kegiatan mengaji, ziarah, dan haul akan membawa sial.

Biasanya, satu suro diperingati pada malam hari setelah shalat Magrib, pada hari sebelum tanggal satu biasanya disebut malam suro.

Hal tersebut karena pergantian hari Jawa dimulai ketika matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam.

Kebo menjadi salah satu daya tarik masyarakat yang menyaksikan perayaan malam satu suro yang konon dianggap keramat.

Dalam masyarakat Jawa, satu suro memiliki banyak pandangan sebagai hari yang dianggap keramat, terlebih jika jatuh pada Jumat legi.

Tradisi Malam Satu Suro

Malam satu suro lekat dengan budaya Jawa, biasanya ada tradisi iring-iringan masyarakat atau kirab

Tradisi Malam Satu Suro di Solo

Perayaan satu suro di Solo, ada hewan khas yang disebut kebo (kerbau) bule.

Kebo bule yang menjadi daya tarik masyarakat dalam perayaan malam satu suro ini dianggap keramat oleh masyarakat setempat.

Dalam Babad Solo karya Raden Mas (RM) Said dijelaskan leluhur kebo bule adalah hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II, sejak istana masih di Kartasura.

Sedangakan menurut seorang pujangga kenamaan Keraton Kasunanan Surakarta, Yosodipuro, leluhur kerbau memiliki warna putih yang khas, yaitu putih agak kemerah-merahan.

Ia mengatakan bahwa kerbau merupakan hadiah dari Kyai Hasan Beshari Tegalsari Ponorogo kepada Paku Buwono II.

Kerbau menjadi cucuk lampah (pengawal) dari pusaka keraton yang bernama Kyai Slamet ketika beliau pulang mengungsi dari Pondok Tegalsari saat terjadi pemberotakan pecinan membakar Istana Kartasura.

Tradisi Malam Satu Suro di Yogyakarta

Tradisi malam satu suro di Yogyakarta identik dengan membawa keris dan benda pusaka sebagai iring-iringan kirab.

Para abdi dalem keraton akan membawa gunung tumpeng sebagai hasil kekayaana alam serta benda pusaka dalam tradisi malam satu suro.

Perayaan tradisi ini menitikberatkan pada ketentraman batin dan keselamatan maka ritual ini selalu diiringi dengan pembacaan doa dari semua masyrakat yang hadir merayakan. Tujuannya untuk mendapatkan berkah dan menjauhkan bahaya.

Masyarakat memanfaatkan kesempatan ini untuk mendekatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Tradisinya bermacam-macam, seperti tapa bisu atau tidak mengeluarkan kata-kata sebagai upaya untuk mawas diri apa yang sudah dilakukan selama setahun penuh dan menghadapi tahun baru di esok pagi.

Sumber:

petabudaya.belajar.kemdikbud.go.id dan uin-malang.ac.id

https://regional.kompas.com/read/2022/07/13/061500678/malam-satu-suro-sejarah-dan-tradisi-di-yogyakarta-juga-solo

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke