Salin Artikel

Malin Kundang, Cerita Rakyat Sumatera Barat Tentang Nasib Anak Durhaka

KOMPAS.com - Malin Kundang adalah sebuah cerita rakyat dari Sumatera Barat yang telah terkenal ke penjuru nusantara.

Cerita tersebut berkaitan dengan budaya merantau masyarakat Minang yang merupakan suku asli di Sumatera Barat.

Cerita ini merupakan pengingat bagi para perantau agar tidak melupakan tanah kelahirannya yang diibaratkan dengan sosok seorang ibu.

Perantau yang melupakan kampung halaman dianggap seperti melupakan sosok ibu sehingga dianggap sebagai anak durhaka yang seolah-olah dirinya melupakan dari mana asal-usulnya.

Malin Kundang si Anak Durhaka

Alkisah di sebuah kampung di tepi Pantai Air Manis di Padang, Sumatera Barat hiduplah seorang janda dengan anak lelakinya.

Sang janda bernama Mande Rubayah dan sang anak laki-laki bernama Malin Kundang.

Meski mereka hidup dalam kemiskinan, Mande Rubayah selalu bekerja keras untuk membahagiakan Malin Kundang anak semata wayangnya.

Malin Kundang pun tumbuh menjadi seorang anak lelaki yang manja, namun juga penurut dan rajin bekerja.

Walaupun keduanya telah bekerja keras, namun kehidupan ibu dan anak tersebut tidak kunjung berubah.

Semakin tua, Mande Rubayah terlihat semakin kepayahan ketika bekerja yang membuat Malin Kundang iba.

Suatu hari, Malin Kundang pun memberanikan diri meminta izin kepada ibunya untuk pergi merantau.

Saat itu Malin Kundang melihat sebuah kapal besar yang tengah merapat dan melihat peluang untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik.

Semula Mande Rubayah tidak mengizinkan Malin Kundang pergi, terlebih sang anak adalah satu-satunya keluarga yang ia punya.

Namun melihat keinginan Malin Kundang yang kuat serta niatnya untuk memperbaiki nasib keluarga membuat Mande Rubayah pun luluh.

Ia pun melepas kepergian Malin Kundang yang pergi menumpang  kapal tersebut untuk pergi merantau ke kota besar.

Malin Kundang menepati perkataannya dengan selalu bekerja keras tanpa mengenal lelah selama di perantauan.

Di kota besar, Malin Kundang terus bekerja hingga akhirnya ia pun sukses menjadi seorang saudagar kaya.

Ia pun bertemu dan jatuh cinta dengan seorang gadis cantik yang merupakan putri seorang bangsawan. Tak berapa lama, mereka pun menikah.

Kekayaan dan kebahagiaan yang ia miliki di perantauan membuat Malin Kundang benar-benar lupa dengan sang ibu yang menunggu di kampung halaman.

Sementara di desa, Mande Rubayah selalu menunggu datangnya kabar dari anak semata wayangnya di perantauan.

Tiap ada kapal bersandar, Mande Rubayah akan bertanya kepada nahkoda dan awak kapal tentang kabar Malin Kundang.

Sayangnya tak seorangpun mendengar kabar dari Malin Kundang di perantauan, sehingga sang ibu hanya bisa berdoa setiap hari agar sang anak selalu selamat dan cepat kembali.

Waktu berlalu, Mande Rubayah semakin tua dan terlihat sudah berjalan terbungkuk-bungkuk selalu mencari kabar tentang anak semata wayangnya.

Suatu hari seorang pelaut membawa kabar gembira untuk Mande Rubayah bahwa Malin Kundang tengah berlayar menuju kampung halamannya dengan sebuah kapal yang besar dan megah.

Mande Rubayah yang mendengar kabar itu begitu gembira dan bersiap menyambut kedatangan sang anak dengan dipenuhi dengan kerinduan.

Benar saja, suatu hari sebuah kapal besar dan megah merapat di pantai dekat kampung tersebut, sehingga menarik perhatian para sesepuh dan warga desa.

Mande Rubayah yang juga berada di sana pun melihat Malin Kundang turun dari kapal tersebut bersama istrinya yang cantik.

Sebelum para sesepuh dan warga desa menyambut, Mande Rubayah menghambur memeluk Malin Kundang karena rindu.

Sementara Malin Kundang belum sempat berkata-kata, istrinya justru menanyakan siapa wanita tua yang kotor, bau, dan menjijikan itu.

“Perempuan jelek inikah ibumu? Bukankah dulu kau katakan bahwa ibumu adalah seorang bangsawan yang sederajat denganku? Mengapa dahulu kau berbohong?” tuduh sang istri.

Menurut sang istri, jika Malin Kundang anak saudagar dari desa tersebut maka tak mungkin wanita tua yang miskin itu adalah ibunya.

Malin Kundang yang malu kepada sang istri segera melepaskan pelukan Mande Rubayah dan menghempaskan tubuh renta itu hingga sang ibu terjatuh.

“Saya mengenalmu wanita tua miskin tak tahu diri. Jangan sembarangan mengaku sebagai ibuku!" ujar Malin Kundang.

Mande Rubayah tidak percaya akan sikap Malin Kundang yang kasar itu masih berusaha menanyakan maksud perilaku sang anak.

“Apa maksudmu, Malin? Ini ibu, Malin. Ibu yang melahirkan dan membesarkanmu,” kata sang ibu sambil menangis.

Namun hati Malin Kundang ternyata tetap keras dan berpura-pura tak mengakui sang ibu karena tak ingin kehilangan muka di depan istrinya.

“Tak mungkin ibuku seperti engkau! Ibuku bukan orang miskin yang bau dan kotor!” kata Malin Kundang.

Malin Kundang pun akhirnya memutuskan mengajak istrinya kembali ke kapal dan pergi dari tempat itu.

Hati Mande Rubayah begitu sakit mendengar kata-kata Malin Kundang, anak semata wayang yang selalu ia tunggu dan rindukan.

Orang-orang desa yang melihat hal itu pun terpana melihat perlakuan anak kepada ibunya itu dan memutuskan untuk kembali ke rumah masing-masing.

Sementara Mande Rubayah yang sakit hati pun berdoa kepada Tuhan sambil terisak-isak.

Jika benar bahwa sosok yang tadi dipeluknya memang bukan sang anak maka ia merasa ikhlas.

Namun jika benar sosok tadi adalah Malin Kundang anaknya, maka Mande Rubayah berdoa agar Tuhan menghukum dengan mengutuknya menjadi batu.

Setelah Mande Rubayah selesai berdoa, sketika datang angin kencang dan badai yang menghempas kapal Malin Kundang dan membuatnya hancur seketika.

Tubuh malin kundang dan serpihan kapalnya hanyut ke tepi pantai dan seketika berubah menjadi batu.

Sumber:
www.indonesia-osaka.org
jateng.tribunnews.com

https://regional.kompas.com/read/2022/07/04/175015378/malin-kundang-cerita-rakyat-sumatera-barat-tentang-nasib-anak-durhaka

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke