Salin Artikel

Berkunjung ke Kampoeng Reklamasi Air Jangkang, Galian Bekas Tambang Disulap Jadi Lahan Konservasi

PANGKALPINANG, KOMPAS.com - Satu dari tiga penghasil timah di Indonesia adalah Provinsi Bangka Belitung. Bahkan, provinsi ini merupakan penghasil timah terbesar di Tanah Air.

Menilik masa lalu, penambangan timah di Provinsi Bangka Belitung sudah dilakukan sejak abad ke-17.

Berawal dari penambangan tradisional hingga modern seperti saat ini. Dari penambangan di darat maupun laut.

Lahan bekas penambangan biasanya meninggalkan kolom-kolom. Tentu saja, penambangan ini ada masanya tidak dapat ditambang lagi.

Lantas, bagaimana sisa-sisa penambangan tersebut? Dimanfaatkan untuk apa?

Pekan lalu, Kompas.com berkesempatan menilik langsung salah satu bekas penambangan yang saat ini diubah menjadi Kampung Reklamasi di Pangkalpinang oleh PT Timah Tbk (TINS).

Menempuh perjalanan udara kurang lebih satu jam dari Bandara Soekarno Hatta menuju Bandara Depati Amir, Pangkalpinang. Kemudian dilanjutkan perjalanan darat kurang lebih satu jam, kita akan sampai di Kampoeng Reklamasi Air Jangkang yang ada di Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung.

Saat menginjakkan kaki di Kampoeng Reklamasi Air Jangkang, Anda tak akan menemukan pembangunan perumahan atau tembok beton.

Namun sebuah rumah panggung khas Melayu dari kayu, dengan latar danau kehijauan di belakangnya.

Lahan yang luasnya sekitar 36,6 hektare itu dikelola anak perusahaan TINS yang bernama PT Timah Agro Manunggal (TAM) menjadi destinasi wisata dengan mengusung konsep edu ecotourism.

Manajer Pengelola Kampoeng Reklamasi Air Jangkang Anugrah mengatakan, kawasan bekas tambang ini dialihfungsungsikan menjadi beberapa spot, mulai dari agro wisata, perkebunan, pertanian, peternakan, wisata air, hingga tempat penampungan sementara bagi satwa yang dilindungi untuk nantinya dilepasliarkan.

"Sebelumnya, lahan ini kritis, minus unsur hara, suhu terbatas, putih tidak ada tanaman yang tumbuh, tapi sekarang sudah hijau," ungkap Anugrah, Rabu (22/6/2022) di lokasi Kampoeng Air Jangkang.

Dia mengatakan, danau hijau yang ada di belakang rumah panggung itu dulunya merupakan salah satu bekas lubang tambang timah.

Karena bekas penambangan timah, tentu saja kandungan air yang ada di dalam lubang tersebut asam.

Namun, pihaknya melakukan rekayasa untuk membuat kadar air yang sesuai untuk ditinggali ikan.

TAM juga melakukan edukasi kepada masyarakat tentang budidaya bioflok untuk ikan lele dan patin, hidroponik, kemudian cara reklamasi.

"Ada sekitar 30 ribu bibit tanaman di sini. Kami melakukan penanaman sayuran, pohon pepaya, pohon Cemara, pohon endemik, pohon durian, ketapang, dan lainnya," ungkap Anugrah.

Tak hanya dijadikan kawasan perkebunan atau danau, lahan bekas tambang ini juga dijadikan tempat Pusat Penyelamatan Satwa (PPS).

Pusat Penyelamatan Satwa Alobi

PPS di Air Jangkang ini bernama Alobi. Itu adalah kawasan untuk melakukan konservasi dan rehabilitasi satwa seluas 4 hektar.

Saat Kompas.com berkunjung ke tempat PPS Alobi di Air Jangkang, tampak petugas PPS Alobi sedang melempar unggas ke kandang buaya. Sigap, beberapa kepala buaya muncul siap menerkam mangsa.

Bukan cuma satu atau dua ekor. Setidaknya ada 33 ekor buaya muara yang dirawat di dalam kandang tersebut.

"Ini adalah buaya yang ditemukan masyarakat. Agar tidak menimbulkan konflik dengan masyarakat, kita tampung, kita rawat (buaya di sini)," ungkap Endi Yusuf, manager PPS Alobi.

Sebelum memasuki kandang buaya, sebenarnya ada beberapa kandang primata seperti monyet, siamang, owa jawa, dan kukang.

"Total 103 individu di sini. Ada primata, aves, mamalia, unggas, dan lainnya," ungkap Endi.

Endi menjelaskan, PPS Alobi bertugas menyelamatkan satwa liar yang dilindungi Undang-undang. Satwa liar yang berhasil diselamatkan itu nantinya akan tinggal di PPS Alobi selama beberapa waktu hingga akhirnya dilepasliarkan ke habitat asli.

"Aturannya, selama tujuh bulan pemeliharaan di sini lalu kita rilis (lepasliarkan). Enggak boleh kita simpan selamanya di sini," ujar Endi.

"Kecuali misalnya kayak Siamang yang asalnya dari Palembang ini. Kita butuh persiapan segala macam untuk bisa dilepaskan di Palembang. Ada juga kakatua yang harus dilepas di Maluku. Sehingga mereka bisa setahun atau dua tahun di sini (sampai siap dilepaskan di habitat asli)."

Endi menjelaskan, pelepasliaran satwa liar harus sesuai habitat aslinya dan asalnya.

Adapun satwa-satwa yang diselamatkan adalah satwa dilindungi yang banyak dipelihara masyarakat, satwa serahan dari masyarakat, atau satwa yang berkonflik dengan masyarakat.

Namun nantinya, ratusan satwa dilindungi itu akan dilepaskan ke alam.

Target reklamasi tahun ini 402 hektar bekas tambang

Kepala Komunikasi Eksternal TINS Rizali mengatakan, bekas tambang yang dijadikan kawasan konservasi sudah tidak dioperasikan sejak 2005. Artinya, aktivitas penambangan di daerah itu sudah benar-benar dihentikan.

Nah, wilayah bekas tambang yang sudah tidak terpakai dialihfungsikan menjadi kawasan yang bermanfaat untuk masyarakat. Ini sebuah kewajiban bagi perusahaan tambang.

"Memang kawasan tambang yang sudah tidak terpakai disarankan untuk dikelola menjadi vegetasi. Namun dalam peraturan Kementerian ESDM juga dikatakan, area bekas tambang bisa dikelola menjadi bentuk lainnya yang bermanfaat untuk masyarakat. Salah satunya seperti Kampoeng Reklamasi Air Jangkang," ungkap Rizali di lokasi.

Selama 2021, TINS mereklamasi 400,83 hektare dari target 400 hektar.

Dan pada 2022, pihaknya menargetkan melakukan reklamasi 402 hektar bekas tambang. Di mana pada quartal pertama ini, sudah terealisasi 165,2 hektare berupa vegetasi.

Untuk menjalankan program reklamai tersebut, pada 2022 TINS menggelontorkan anggaran Rp 37 miliar dalam bentuk garansi. Jumlah tersebut lebih besar dibanding 2021, yakni Rp 21,74 miliar.

"Dalam prosesnya, nanti akan ada tiga sampai empat kali penilaian. Untuk (Kampoeng Reklamasi) Air Jangkang ini, sudah dinyatakan 100 persen berhasil oleh Kementerian ESDM," ungkap Rizali.

https://regional.kompas.com/read/2022/07/02/164236078/berkunjung-ke-kampoeng-reklamasi-air-jangkang-galian-bekas-tambang-disulap

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke