Salin Artikel

Dekan Fakultas Hukum Unmul Cerita Mereka Dianggap Tak Setuju IKN: Jangan Ditafsirkan Menolak

"Ketika Anda tidak selaras dengan situasi tertentu, Anda dianggap orang yang pembangkang atau pemberontak," ungkap dia usai menjadi narasumber dalam diskusi bertajuk ASEAN, HAM, dan Kebebasan Berekspresi di Fakultas Hukum Unmul Samarinda, Kamis (16/6/2022).

Padahal, kata dia, sebagai akademisi tentu punya kewajiban sekaligus kebebasan menyoroti persoalan publik sepanjang basisnya akademik.

"Dalam case tertentu, kami dianggap tidak setuju IKN (ibu kota negara). Padahal, kami menyuarakan ini dari kebebasan berekspresi. Ada kajian kritis (IKN) yang berbasis ilmiah, berbasis akademik," tegas dia.

Sepanjang ini ada beberapa kajian oleh tim Unmul yang dia sebut tak selaras dengan apa yang disampaikan pemerintah. Misalnya, soal kondisi masyarakat sekitar IKN dan dampak lingkungan hidup dengan hadirnya IKN.

"Beberapa waktu lalu, kami bikin seminar apakah pemindahan IKN itu justru merusak lingkungan atau ramah lingkungan? Hal-hal begini jangan ditafsirkan menolak. Harus dibedakan mana kritik, mana kebencian," kata dia.

Mahendra menjelaskan, ada dua hal yang perlu diedukasi ke publik kaitannya dengan kebebasan berekspresi yakni struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal culture).

Struktur hukum, kebebasan berekspresi dijamin dalam UUD 1945 Amandemen ke-II, yaitu Pasal 28 E Ayat (2) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.

Kemudian, Ayat (3) menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.

Selanjutnya, UU Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pada Pasal 22 Ayat (3) disebutkan, “Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan, melalui media cetak maupun media cetak elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa”.

Ditambah lagi Undang- Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur penggunaan dunia digital. Hal ini karena dinamika pengguna, memunculkan tantangan makin besar dan beragam.

"Jadi perlu sekali kita bicara legal culture. Artinya pelaku media sosial harusnya menyebarkan hal baik. Walaupun memang sesuatu yang sifatnya paradoks. Enggak mudah melakukan itu. Tapi kita punya nilai agama, adat, dan nilai-nilai etika lainnya," terang dia.

Oleh karena itu, tantangan kedepan, semua pihak perlu mengambil peran baik pemerintah, masyarakat, akademisi dan lainnya agar menyebarkan berbudaya yang baik dan cerdas dalam menggunakan media sosial.

Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika Periode 2007-2022, Prof Henry Subiakto, mengatakan secara norma hukum, kebebasan berekspresi sudah dijamin secara baik. Hanya, implementasinya kurang maksimal.

Sebab, belakangan ini ada fenomena tekanan masa juga mempengaruhi penegakan hukum. Misalnya, ada kasus yang sebenarnya tak memenuhi unsur, tapi tekanan massa menjadi terjerat hukum.

"Karena itu sensifitas sosial ini yang bagaimana caranya harus dikurangi supaya hukum itu betul-betul berjalan secara fair. Kalau sekarang ini, siapa yang bisa menekan lebih kuat, dia akan mempengaruhi hukum," kata dia.

https://regional.kompas.com/read/2022/06/17/071833978/dekan-fakultas-hukum-unmul-cerita-mereka-dianggap-tak-setuju-ikn-jangan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke