Salin Artikel

Tak Kunjung Dihuni, Rumah Relokasi Korban Banjir Kota Bima Dipenuhi Semak Belukar

BIMA, KOMPAS.com - Warga Kota Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang menjadi korban banjir pada 2016 lalu, masih enggan menempati rumah di kompleks relokasi. Akibatnya, banyak rumah di perumahan relokasi itu yang terbengkalai dan dipenuhi semak belukar.

Diketahui, peristiwa banjir bandang telah merusak rumah warga di Kota Bima pada Desember 2016.

Tiga tahun pascabanjir bandang tersebut, warga yang menjadi korban mulai menata kehidupannya di kompleks relokasi. Namun, tidak sedikit yang masih bertahan di rumah dan permukiman lama. Sebab, rumah relokasi bantuan pemerintah yang dibuat dengan model 36 itu tidak dilengkapi dengan fasilitas yang memadai.

Ada beberapa perumahan untuk relokasi para korban banjir. Yakni, perumahan di Kelurahan Jatibaru dan lingkungan Oi Fo'o. Ada juga rumah relokasi yang dibangun di masing-masing lahan warga.

Untuk hunian di Kelurahan Jatibaru telah dibangun sebanyak 68 rumah, di Kelurahan Oi Fo'o sebanyak 673 rumah yang tersebar di dua titik, dan rumah relokasi yang dibangun secara mandiri di masing-masing lahan warga sebanyak 284 unit rumah.

Sehingga, total rumah yang telah dibangun oleh pemerintah secara bertahap untuk korban banjir bandang Kota Bima sebanyak 1.025 unit dengan anggaran sebesar Rp 166 miliar.

Namun, sejak selesai dibangun pada tahun 2017, perumahan yang menelan anggaran ratusan miliar itu masih tampak sepi penghuni. Sejumlah korban banjir hingga kini belum bersedia menempati rumah relokasi ini lantaran jauh dari perkotaan serta tak ada fasilitas air bersih.

Hal ini terlihat di dua perumahan yang berada di kawasan perumahan di Kelurahan Oi Fo'o, Rabu (15/6/2022). Di tempat itu ternyata masih banyak rumah yang belum ditempati.

Dua perumahan ini terletak di antara lereng perbukitan dan cukup jauh dari pusat Kota Bima, berjarak sekitar 7 kilometer.

Untuk menuju perumahan relokasi Kelurahan Oi Fo'o, dari Kelurahan Kumbe harus melewati jarak tempuh yang jauh dan akses jalan menanjak dan tikungan tajam. Selain itu, beberapa titik jalan tampak berlubang dan becek dipenuhi air.

Hanya ada beberapa rumah yang sudah dicat warna-warni dan telah ditempati. Sisanya, masih banyak rumah yang terbengkalai karena tidak dihuni.

Berdasarkan informasi, total rumah yang dibangun di kawasan ini sekitar 140 unit. Sedangkan yang dihuni masih sekitar 30 kepala keluarga. Rumah dengan tipe 36 ini terdiri dari dua kamar, satu ruang tamu, dan kamar tidur serta toilet.

Karena lama tak ada yang menghuni, rumah tersebut sudah ditumbuhi semak belukar yang menutupi sisi luar bangunan. Di lokasi itu juga ditemukan banyak ternak sapi yang berkeliaran.

Ida, warga yang tinggal di perumahan itu mengatakan, sejumlah persoalan muncul setelah rumah relokasi itu ditempati. Mulai dari jauh dari kerabat dan tempat kerja, kehilangan mata pencaharian hingga kesulitan mendapat air bersih.

Ida mengaku baru tinggal di daerah itu enam bulan terakhir. Di tempat itu, ia berjualan salome atau cilok.

"Sebenarnya enggak betah di sini, enggak ada penghasilan. Ini aja cuma jual salome, tapi sepi pembelinya," tutur Ida saat ditemui Kompas.com di tempat jualannya, Rabu (15/6/2022).

Kondisi ini berbeda dengan kehidupan Ida saat tinggal di permukiman lama. Di tempat itu, ia berjualan berbagai kebutuhan dan pendapatannya bisa memenuhi kebutuhan keluarganya setiap bulan.

"Tapi, setelah direlokasi ke sini sudah enggak ada pemasukan lagi. Ya, kadang-kadang hanya merenung saja karena enggak ada aktivitas lain," ujarnya.

Selain itu, warga di tempat relokasi itu juga kesulitan air. Jaringan PDAM yang sudah terpasang tidak berfungsi.

"Meteran air ini sudah terpasang lama, kenapa belum juga berfungsi. Kami sangat kesulitan air, tapi pemerintah malah diam saja,'' ujarnya

Kondisi ini membuat sebagian besar warga di perumahan memilih menggunakan air sumur milik warga di permukiman sekitar.

"Saat ini ada sekitar 30 kepala keluarga memilih menggunakan air sumur. Termasuk saya beserta keluarga, tapi tidak gratis. Airnya kita bayar Rp 25.000 per bulan," kata dia.

"Terpaksa dindingnya kita tambal untuk menutupi keretakan. Kalau tidak segera diperbaiki nanti takut merembet ke bagian lain, saya ingin tinggal lama di sini. Rumah ini jadi hak milik katanya, sertifikatnya nanti," tuturnya.

Kondisi yang sama terlihat di Perumahan Kadole. Letak perumahan ini berjarak sekitar dua kilometer dari perumahan Oi Fo'o.

Suasana di perumahan ini juga tampak jauh dari kesan peru­mahan pada umumnya. Perumahan itu terlihat sepi. Dari sekitar 533 unit rumah yang sudah dibangun, hanya sekitar 40 rumah yang sudah dihuni. Di tempat ini juga tidak disediakan fasilitas umum yang memadai.

Agus, warga setempat menjelaskan, perumahan tersebut dibangun sejak tahun 2017. Namun, hingga saat ini warga korban banjir dari wilayah yang terdampak hanya 40 KK yang sudah menghuni. Sementara sebagian warga lainnya hanya datang berkunjung kemudian pulang.

"Kalau dilihat keberadaannya masih banyak yang kosong, yang terisi baru 44 rumah. Sementara yang datang bolak-balik banyak sih, mereka juga rutin ke sini. Hanya datang bersih-bersih, kemudian pulang. Padahal kan enggak bisa seperti itu, yang punya harus tinggal," ujar Agus

Didin, warga lainnya, mengeluhkan soal pembangunan rumah yang tidak sesuai dan terkesan setengah hati. Fasilitas sosial seperti tempat ibadah di lokasi itu belum ada.

Sementara itu, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bima, Jainab menyatakan, pemerintah telah semaksimal mungkin membantu para korban banjir bandang, terutama dalam hal penyediaan tempat tinggal.

Bahkan, Pemkot Bima kini sudah berhasil menyediakan lebih dari seribu rumah baru di sejumlah lokasi untuk para korban banjir bandang.

Namun, Jainab mengakui bahwa saat ini masih banyak korban banjir bandang yang belum menempati rumah di tempat relokasi. Hal ini dikarenakan mereka menolak untuk direlokasi dan lebih memilih tetap tinggal di daerah asalnya dengan beragam alasan.

"Sebenarnya warga bukannya tidak mau pindah ke tempat relokasi, tapi ada berbagai alasan warga enggan menempati rumah tersebut. Yang pertama, tempat sangat jauh dari pusat ekonomi dan juga keberadaan sekolah yang jauh. Mereka juga kesulitan jaringan seluler. Karena di sana tidak ada sekolah dan fasilitas umum lainya. Sementara fasilitas penerangan dan air bersih, sudah tidak ada masalah, sudah ada pihak yang tangani," jelasnya.

Menurut dia, sejak tahun 2017 lalu, Pemerintah Kota Bima telah menyelesaikan pembangunan sebanyak 1.025 unit rumah di lokasi relokasi untuk warga yang rumahnya terdampak banjir.

Namun, pihaknya belum bisa memastikan kapan semua korban banjir yang terdata bisa menempati rumah tersebut, karena menjadi kewenangan Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman.

"Tugas BNPB itu setelah bangun, rumah itu langsung diserahkan ke pihak terkait. Nah, sekarang asetnya sudah diserahkan oleh Pak Wali ke OPD teknis yaitu Dinas Perkim. Kalau soal penempatan warga ke tempat relokasi ini sebenarnya sudah lama, bahkan datanya kita sudah rangkum sesuai dengan jumlah rumah," pungkasnya.

https://regional.kompas.com/read/2022/06/16/102723878/tak-kunjung-dihuni-rumah-relokasi-korban-banjir-kota-bima-dipenuhi-semak

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke