Salin Artikel

Cerita Bripka Sutrisno Jadi Dalang Wayang Kulit, Sampaikan Pesan Cegah Meluasnya PMK di Wonogiri

Agar pesan kamtibmas dapat mudah dipahami dan diingat, Bripka Sutrisno, Bhabinkamtibas Sumberejo, Polsek Wuryantoro-Polres Wonogiri memiliki cara unik.

Pria kelahiran Klaten, 12 Januari 1981 ini menggunakan pendekatan seni dan budaya sebagai dalang wayang kulit agar masyarakat tertarik untuk mendengar pesan-pesan yang disampaikan.

Apalagi, pagelaran seni wayang kulit yang dibawakan seorang dalang menjadi salah satu tontonan favorit warga pedesaan di Wonogiri. Meski durasi pagelaran dari malam hingga pagi hari, ribuan penonton tetap setia menonton hingga pertunjukkan itu usai.

Saat berada di pentas wayang kulit, Bripka Sutrisno tak lupa menyelipkan pesan-pesan kamtibmas yang hangat menjadi pembicaraan publik, seperti disiplin menerapkan protokol kesehatan di masa pandemi dan tidak memasang knalpot brong pada kendaraan.

Terakhir, suami Anggraini Wulansari ini gencar menyosialisasikan kewaspadaan masyarakat terhadap penyakit mulut dan kuku pada hewan ternak.

“Saat pesan-pesan kamtibmas itu saya sampaikan selaku dalang pada pertunjukan wayang kulit, masyarakat mudah memahami dan mengingat. Untuk itu saat menjadi dalang, saya selalu menyelipkannya,” ujar Sutrisno kepada Kompas.com, Jumat (10/6/2022).

Untuk menyampaikan pesan-pesan kamtibmas terkait PMK, Sutrisno menampilkan sosok punakawan dalam sesi cerita pertunjukan wayang kulitnya. Saat itu punakawan berkumpul di suatu tempat.

Tak berapa lama kemudian, tokoh Bagong ini sebagai anak yang paling kecil dan memiliki pengetahuan bercerita saat ini banyak hewan ternak di Indonesia yang terserang PMK.

“Lalu gareng menanyakan ciri-ciri PMK. Kemudian, Bagong menjawab ciri-cirinya seperti belakang telinga hewan ternak panas, hidungnya meler cairan, mulut dan kakinya pecah-pecah,” cerita Sutrisno yang sudah manggung di berbagai daerah.

Tak berhenti di situ, Gareng lalu menanyakan apa yang dilakukan bila mengetahui hewan ternaknya mengalami ciri-ciri terkena PMK.

Seketika Bagong menjawab hewan ternak yang terserang PMK maka pemiliknya harus segera menghubungi petugas Dinas Peternakan terdekat untuk mendapat pengobatan. Jadi, hewan ternak yang terserang PMK dapat disembuhkan dan tidak menular ke hewan lainnya.

Pesan kamtibmas lain yakni agar warga tidak memasang knalpot brong pada kendaraan bermotor.

Selain menimbulkan suara bising bagi pengguna jalan yang lain, knalpot brong dapat membahayakan pagi pengemudinya sendiri.

Pasalnya, acapkali pengendara sepeda motor berknalpot brong melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi sehingga berpotensi mengalami kecelakaan.

Pentas virtual

Meski pandemi, tak menyurutkan Bripka Sutrisno menyampaikan pesan-pesan kamtibmas dalam pertunjukan wayang kulit. Selama pandemi berlangsung, Bripka Sutrisno beberapa kali tampil sebagai dalang dalam berbagai lakon yang ditampikan secara virtual.

“Selama pandemi, pentas wayang kulit di lapangan tidak diperbolehkan. Pertunjukan sangat terbatas sekali. Jadi untuk mengobati kerinduan masyarakat menonton wayang kulit, saya gelar pentas wayang kulit virtual yang dapat disaksikan melalui YouTube,” jelas Sutrisno.

Meski pentas wayang kulit dengan model virtual, Sutrisno sebagai selaku dalang dan Bhabinkamtibas tak lupa menyampaikan pesan-pesan kamtibmasnya.

Putra pasangan Wanto Harjono dan Sumini ini tetap menyampaikan pesan-pesan kamtibmas khususnya seperti meminta warga tak kendor menerapkan prokes karena pandemi belum berakhir.

“Ketika masyarakat rindu pertunjukan wayang kulit kita masukkin sosialisasi baik itu kamtibmas maupun apa yang trending saat ini. Seperti saat pandemi, kami gencar sosialisasi agar masyarakat disiplin menerapkan prokes,” tutur Sutrisno.

Untuk melestarikan seni dan budaya wayang kulit, bapak empat anak ini juga mengajar dalang wayang dari tingkat SD hingga SMA.

Tak hanya itu, di wilayah kerjanya, bapak dari Rio Dimas, Kirania Dwi, Raditya Titan dan Adriano Delon ini juga mengajar seni karawitan bagi SMP dan SMA yang memliki alat gamelan. Selain itu, ia juga mengajar seni karawitan di desa lantaran memliki alat gamelan sendiri.

Bila tak sedang manggung di pagelaran wayang kulit, Bripka Sutrisno sering mengenakan blangkon (topi adat jawa) saat memberikan sosialisasi kepada masyarakat. Harapannya dengan simbol budaya itu, masyarakat lebih dekat dan mudah memahami pesan kamtibmas yang dia sampaikan.

Bagi Bripka Sutrisno, mejadi dalang dalam seni pertunjukkan wayang kulit menjadi salah satu caranya untuk menjaga budaya warisan leluhur. Terlebih, wayang kulit sudah diakui Unesco sebagai budaya leluhur milik Indonesia.

“Dengan cara ini wayang bisa tetap lestari di tengah masyarakat. Dan lewat wayang pesan-pesan kamtibmas bisa kami sampaikan secara humanis kepada masyarakat,” kata Sutrisno.

Belajar dari maestro handal Ki Anom Suroto

Kecintaan Bripka Sutrisno terhadap seni wayang kulit rupanya sudah dirasakan sejak kecil. Namun ia mulai menekuni menjadi dalang wayang kulit sejak tiga tahun lalu.

Sebelum bergelut di dunia wayang kulit, Bripka Sutrisno rupanya sering menjadi pemandu acara dalam seni campur sari di suatu hajatan warga. Untuk membawakan acara campur sari, Sutrisno mengemas dengan gaya khasnya dalam bentuk pewayangan.

Dengan ciri khasnya itu, banyak warga menyarankan agar Sutrisno mendalami dunia pewayangan menjadi seorang dalang. Untuk terjun dunia di sana, Bripka Sutrisno memilih belajar langsung kepada sang maestro dalang ternama di Nusantara yakni Ki Anom Suroto.

“Dari situ banyak masyarakat yang suka. Kemudian saya ia berlajar sulukan ke adiknya Pak Anom Suroto lalu dikenalkan langsung dengan beliau (Ki Anom Suroto). Setelah diuji dengan satu sulukan oleh beliau disampaikan bahwa suara kami sama,” tutur Sutrisno.

Lantaran berbakat, Sutrisno menjadi anak angkat Ki Anom Suroto. Tak hanya itu, Ki Anom Suroto juga memberikan nama panggung bagi Sutrisno dengan tambahan Anom. Dengan demikian di dunia pewayang kulit, Sutrisno dikenal dengan sebutan Anom Sutrisno.

Menurut Sutrisno, saat memberi tambahan nama Anom, Ki Anom Suroto bercerita awal mulanya namanya hanya Suroto.

Namun saat main wayang di Surabaya di Polresta Surabaya,seorang perwira polisi memberikan nama tambahan depannya dari Suroto menjadi Anom Suroto.

“Waktu saat disiarkan disebut namanya menjadi Anom Suroto kemudian namanya tambah tenar. Kemudian bapak ( Ki Anom Suroto) berpikir nama Anom itu berasal tambahan dari polisi. Untuk itu nama itu (Anom) dikembalikan kepada anggota polisi juga,” tutur Sutrisno.

Untuk menyematkan itu, awalnya ia ragu. Pasalnya, anak kandung Ki Anom Suroto saja tidak mau menyematkan nama Anom pada nama depannya. Alasannya, anak-anak Anom Suroto ingin berdiri sendiri dan tidak ingin mendompleng nama besar bapaknya.

Agar tak terjadi salah paham, ia meminta izin kepada anak-anak Anom Suroto untuk memakai nama depan Anom sebagai dalang wayang.

Anak-anak Anom Suroto lalu menyampaikan penyematan nama depan Anom menjadi berkah bagi dirinya. “Keluarga lalu meminta untuk segera memakainnya dan menggelar syukuran atas nama tersebut,” kata Sutrisno.

Kapolres Wonogiri, AKBP Dydit Dwi Susanto memberikan apresiasi terhadap inovasi yang dilakukan Bripka Sutrisno. Menurut Dydit, inovasi yang dilakukan Bripka Sutrisno menjadikan wayang kulit sebagai media sosialisasi pesan kamtibmas sangat mengena di hati masyarakat.

"Saya berharap inovasi yang dibuat Bripka Sutrisno dapat menginspirasi anggota lain dalam melaksanakan tugas -tugasnya sebagai anggota Polri," demikian Dydit.

https://regional.kompas.com/read/2022/06/13/072641578/cerita-bripka-sutrisno-jadi-dalang-wayang-kulit-sampaikan-pesan-cegah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke