Salin Artikel

Nasib ABK Kapal Penangkap Ikan Berbendera Asing: Keringat Diperas, Aturan Tak Jelas (Bagian 1)

SEMARANG, KOMPAS.com - Anak buah kapal (ABK) asal Indonesia terjebak dalam perbudakan modern di atas kapal perikanan berbendera asing.

Mereka mengalami overwork atau jam kerja yang tinggi, upah mereka juga ditahan. 

Kondisi ini juga diperburuk dengan sulitnya menghubungi keluarga karena bekerja di laut lepas.

Kondisi yang dialami ABK tersebut dinilai merupakan praktik perbudakan modern yang dialami pekerja.

Untuk mengetahui problem ABK yang bekerja di kapal ikan asing ini, Kompas.com mencoba melakukan survei apa saja yang dialami para ABK ketika bekerja di tengah laut. 

Ini merupakan survei sederhana untuk mendukung peliputan bagaimana persoalan yang dialami ABK. 

Survei ini tidak menggambarkan kondisi ABK secara keseluruhan karena hanya diisi oleh 18 responden, tapi survei ini bisa menjadi gambaran awal soal kondisi ABK di Indonesia terutama ABK dari daerah yang menjadi kantong-kantong ABK seperti pesisir Pantura, Jawa Tengah.

Hasil survei Kompas.com menemukan, dari 18 responden yang mengisi survei, mereka tertarik menjadi ABK karena tergiur dengan iming-iming gaji besar dan mencari pengalaman baru. 

Sebagian besar dari mereka rata-rata mendapatkan informasi lowongan kerja melalui teman dan agen perekrutan yang banyak beroperasi di Tegal dan Pemalang.

Para ABK ini kemudian memilih bekerja di atas kapal ikan asing jenis rawai atau longline dalam rentang waktu sekitar 1 sampai 3 tahun.

Namun, di tengah mereka bekerja, dalam survei juga terpapar bahwa para ABK di tengah lautan lepas, mereka dipaksa bekerja dengan jam kerja yang berlebihan atau overwork, yaitu mencapai 16 jam, ini berarti 2 kali lipat dari aturan dalam UU Ketenakerjaan yang menyatakan bahwa pekerja harus bekerja selama 8 jam per hari. 

Dalam kondisi ini, para ABK juga jarang menghubungi keluarga atau jarang bisa berhubungan dengan keluarga salah satu faktornya karena susah sinyal saat berada di laut lepas.

Hari-hari seperti inilah yang dialami para ABK.

Dalam kondisi bekerja yang berat ini, 12 orang ABK menyatakan jika mereka tidak diberikan makan dan minum yang layak dan 9 orang ABK menyatakan tidak diberi fasilitas alat pelindung diri dan fasilitas medis.

Dari survei tersebut, 16 orang ABK menyatakan permasalahan yang paling banyak dialami ABK yakni jam kerja yang berlebihan dan 14 orang ABK mengalami penahanan upah.

Sementara, permasalahan lainnya yakni ABK menjadi korban penipuan, intimidasi, kondisi kerja dan hidup yang kejam, kekerasan fisik dan seksual, penahanan dokumen dan jeratan utang.

Dari 18 orang ABK yang mengisi survei tersebut, 17 orang tidak pernah mengetahui adanya peraturan perlindungan ABK dan tidak pernah mendapatkan bantuan apapun dari pemerintah.

Thamrin Murohman (36) adalah ABK yang termasuk satu di antara 18 responden yang menjadi korban perbudakan modern di atas kapal ikan berbendera asing. 

Thamrin memang mengetahui risiko bekerja menjadi ABK di kapal ikan asing, namun ia tidak pernah mendapatkan sosialisasi terkait aturan perlindungan bagi pekerja ABK.

Berbekal ijazah lulusan SMP, ia mendaftar ke perusahaan perekrut dan penyalur ABK dan ditempatkan di kapal ikan China Dae Sung 216. 

Laki-laki asal Brebes ini mengaku tidak diberikan bekal pelatihan oleh perusahaan perekrut dan penyalur di Tegal. 

Ia justru diminta membayar uang lebih dari Rp 5.000.000 sebagai pengganti biaya pengurusan dokumen keberangkatan dan jaminan.

Ketika sudah bekerja di atas kapal, ia dipaksa bekerja dengan jam kerja yang berlebihan. Selain itu, menurut dia, fasilitas kesehatan di atas kapal juga tidak memadahi.

Berbulan-bulan tak pernah bersandar, ia kerap mengalami keterlambatan atau penahanan gaji. 

Bahkan, saat ia mengalami kecelakaan kerja, asuransi kesehatan juga tidak diberikan dari perusahan perekrutan atau manning agency. 

Padahal jaminan kecelakaan kerja ABK tercantum dalam surat perjanjian kerja laut (PKL).

"Sering telat gajinya waktu di kapal. Perjanjian di kontrak tidak sesuai, kalau setelah finish dalam waktu satu bulan uang harus sudah diberikan. Asuransi jaminan kecelakaan kerja juga engga diberikan," kata Thamrin, kepada Kompas.com, pada Rabu (11/5/2022).

Sementara, Febry (22), ABK yang lain, tidak mengetahui risiko bekerja menjadi ABK di kapal ikan asing.

Ia memutuskan bekerja menjadi ABK karena ingin mencari pengalaman berbekal ijazah SMP. 

Saat mendaftar ke perusahaan perekrut dan penyalur ABK, ia juga diminta membayar proses pengurusan dokumen mencapai Rp 5.000.000.

Ia memang diberikan bekal pelatihan selama satu bulan. Namun, sayangnya ia tidak mengetahui adanya aturan perlindungan ABK.

Ketika bekerja di kapal ikan China Jin Xiang 18, ia justru mengalami penahanan upah, kondisi kerja dan hidup yang kejam, kekerasan fisik, intimidasi dan ancaman serta jam kerja yang berlebihan. 

Ia mengaku, tak mengetahui ke mana harus mengadu ketika mendapat permasalahan tersebut. 

Ia hanya bisa berharap gajinya yang masih tertahan oleh perusahaan bisa segera diberikan.

"Saya berangkat 21 November 2019 dan pulang 12 Januari 2022. Sempat ganti kapal tapi perusahaan kapal yang sama. Kita hanya menuntut hak kami para ABK. Saya bingung sudah 4 bulan lebih nganggur, tunggu pelunasan dari kantor enggak ada hasil. Keluarga dan orangtua saya juga butuh makan," ungkap dia.

Hasil survei ini juga mengungkap bahwa ABK yang bekerja di kapal ikan asing kerap menjadi korban praktik perbudakan dari mulai proses perekrutan, masa bekerja bahkan hingga kepulangannya.

Hasil survei juga memaparkan adanya 11 indikator kerja paksa yang kerap dialami pekerja migran menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) antara lain penyalahgunaan kerentanan, penipuan, pembatasan ruang gerak, diisolasi, kekerasan fisik dan seksual, intimidasi dan ancaman, penahanan dokumen identitas pribadi, pemotongan upah, jerat utang, pekerjaan dan tempat tinggal yang tidak layak serta jam kerja berlebih.

Berdasarkan indikator tersebut, ternyata ini juga berkolerasi dengan data Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) yang mencatat ada kenaikan laporan pengaduan kasus yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. 

Jumlah aduan kasus yang menimpa ABK Indonesia dari kabupaten kota pada 2018 hingga 2021 tercatat total sebanyak 490 kasus. 

Kasus terbanyak berasal dari ABK di Provinsi Jawa Tengah yakni sebanyak 218 kasus dengan sebaran ada di Tegal, Brebes, Pemalang, Cilacap, Pekalongan, Banyumas, Kebumen dan kabupaten lainnya.

Perusahaan perekrut dan penyalur ABK Indonesia yang diadukan sebagian besar beroperasi di kawasan Pantura, Jawa Tengah.

Sedangkan selama rentang waktu 2015-2021 berdasarkan pengaduan kasus dan pemberitaan media SBMI mencatat ada sebanyak 45 ABK Indonesia meninggal saat bekerja di kapal ikan asing.

Dari jumlah tersebut ada 46,6 persen yakni sebanyak 21 ABK di antaranya berasal dari Jawa Tengah.

Pada Mei 2021, Greenpeace Asia Tenggara dan SBMI menerbitkan laporan berjudul "Forced Labour at Sea: The Case of Indonesian Migrant Fishers".

Dalam laporan tersebut ditemukan sebanyak 20 manning agency atau agen perekrut dan penyalur ABK diduga terlibat dalam praktik ilegal perbudakan ABK Indonesia.

Lagi-lagi agen perkerut dan penyalur ilegal itu sebagian besar menjalankan bisnisnya di kawasan Pantura Jawa Tengah.

Sekjen SBMI, Bobby Anwar Maarif menyebut, aturan perlindungan ABK sudah tercantum dalam UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

"Dua tahun sejak terbitnya aturan tersebut, pemerintah seharusnya sudah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Perlindungan ABK," kata Bobby kepada Kompas.com, Kamis (19/5/2022).

Bobby mengungkapkan, karena ketidakjelasan aturan perekrutan dan penempatan para ABK rawan terjadi Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Hal ini sudah diatur dalam Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO.

"Ada tiga unsur seseorang bisa dikatakan sebagai korban TPPO yakni pertama caranya dalam bentuk penipuan atau iming-iming, pemaksaan, intimidasi, pemalsuan. Kedua proses perekrutan, pendaftaran, pemindahan hingga keberangkatan. Ketiga eksploitasi yakni 11 indikator kerja paksa," ungkap dia.

Dia menuturkan, Provinsi Jawa Tengah merupakan wilayah konsentrasi perekrutan ABK di Indonesia.

Untuk itu, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah didesak agar segera melakukan evaluasi seluruh manning agency di wilayah tersebut. 

"Ini penting dilakukan untuk mendorong perubahan dalam perbaikan tata kelola perekrutan, penempatan dan perlindungan ABK," ujar Bobby.

Ia mengatakan, jika merujuk pada Surat Edaran Mendagri Nomor 560/2999/Bangda tahun 2021 tentang Dukungan Layanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI), Gubernur dan Bupati/Wali Kota harus melaksanakan urusan wajib bidang ketenagakerjaan sebagaimana tercantum dalam UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, dan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab yang secara rinci tertuang dalam Pasal 40 dan Pasal 41 UU 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

"Atas dasar itu, sebenarnya Provinsi Jawa Tengah bisa menginisiasi menerbitkan peraturan daerah. Seperti yang sudah dilakukan di Provinsi Jawa Timur. Itu tergantung kepala daerahnya ada yang berani ada yang tidak," ungkap dia.

Selain itu, Pemprov Jateng juga harus memastikan adanya layanan pengaduan, pengawasan dan penanganan yang adil terhadap kasus eksploitasi ABK termasuk dalam pemenuhan hak para ABK setelah pulang ke Tanah Air. 

Sementara itu, Juru kampanye laut Greenpeace Indonesia, Afdillah menambahkan, perbudakan modern di atas kapal ikan asing ini merupakan kejahatan yang terorganisir sehingga perlu ditindak tegas.


"Indonesia adalah ladang yang subur rekrutmen ABK karena pengangguran tinggi dan regulasi lemah, sehingga peluang itu dimanfaat perusahaan perekrutan melakukan praktik perbudakan," kata dia.

Dia membeberkan, para ABK dieksploitasi demi meraup keuntungan sebesar-besarnya oleh pemilik kapal yang paling banyak berasal dari China dan Taiwan.

Hal itu dilakukan untuk memenuhi permintaan industri perikanan skala global yang terus meningkat di negara China, India, Indonesia, Peru dan Amerika Serikat.

"Ketika overfishing dilakukan, laut sudah miskin dengan ikan tapi permintaan dari market tinggi dan desakan pemilik kapal akan cari ikan terus menerus. Ini salah satu pangkal permasalahan kenapa terjadi perbudakan ABK di laut," ungkap dia.

Apalagi, praktik penangkapan ikan itu dilakukan secara ilegal (IUU Fishing) untuk memenuhi permintaan perusahaan makanan laut sehingga menyebabkan stok ikan di laut menurun drastis.

"Pemilik kapal melakukan praktik IUU fishing mulai dari penangkapan hewan laut yang dilindungi, menggunakan alat yang eksploitatif dan ada juga transhipment yaitu melakukan bongkar muat tangkapan di tengah laut lalu dibawa oleh kapal collecting," ujar dia.

Pihaknya mendesak pemerintah agar segera mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Perlindungan ABK dan meratifikasi Konvensi ILO 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan tersebut. 

"Selain PP, sudah ada konvensi ILO 188 yang mengatur standar kelayakan kerja ABK di atas kapal ikan asing. Namun, Indonesia sebagai negara maritim terbesar belum meratifikasi itu. Terlebih negara sebagai pemilik kapal ikan paling banyak seperti China dan Taiwan juga belum meratifikasi," pungkas dia.

-----------------

Tulisan berseri ini adalah hasil liputan Riska Farasonalia, kontributor Kompas.com di Semarang, sebagai peserta program pelatihan dan fellowship liputan mendalam praktik perbudakan pekerja migran Indonesia di kapal asing atas kerjasama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang dan Greenpeace Indonesia.

https://regional.kompas.com/read/2022/06/10/181155878/nasib-abk-kapal-penangkap-ikan-berbendera-asing-keringat-diperas-aturan-tak

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke