Salin Artikel

Kangen: Kisah Antara Aku, Kau dan Yogya

Bagi mereka yang pernah mukim untuk bekerja, yang pernah menuntut ilmu atau bagi yang sekadar meluangkan waktu dari jeda kepenatan kehidupan, Yogyakarta begitu istimewa.

Tidak salah jika “magis” Yogyakarta begitu memikat siapa saja untuk datang, datang lagi, dan kembali datang lagi.

Ciri khas Yogyakarta sebagai kota budaya, alam di sekitarnya yang asyik untuk kita lihat, warganya yang ramah, kulinernya yang lezat serta begitu banyak kisah yang kita temukan, menjadi daya pikat Yogyakarta yang tidak ada habisnya.

Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku
Penuh selaksa makna

Terhanyut aku akan nostalgi
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama
Suasana Jogya

Di persimpangan langkahku terhenti
Ramai kaki lima
Menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila

Musisi jalanan mulai beraksi
Seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri
Ditelan deru kotamu.

Walau kini kat tlah tiada tak kembali
Namun Kotamu hadirkan senyummu abadi
Izinkan aku untuk slalu pulang lagi

Lagu Yogyakarta milik Kla Project itu sudah menjadi ikon kota Yogyakarta. Lagu yang ditulis Katon Bagaskara itu sudah berusia 32 tahun sejak diciptakan pada tahun 1990 silam.

Setiap yang memiliki kenangan dengan Yoyakarta, pasti dengan mendengarkan alunan lagu ini seperti memutar kilas balik episode perjalanan hidup.

Melihat wajah Yogyakarta di masa sebelum pandemi, pandemi dan jelang endemi begitu kontras adanya.

Saya menggunakan pengamatan sederhana mengenai dinamika masyarakat di satu spot yang sama untuk tiga babak waktu yang berbeda.

Letaknya sekitar 5 kilometer dari pusat Kota Yogyakarta atau 2 kilometer dari Kawasan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Dengan Malioboro pun juga tidak terlalu jauh, sehingga dari Prawirotaman begitu mudah menjelajahi kekhasan kota.

Warga Yogyakarta kondang menyebut Prawirotaman sebagai kampung “bule” mengingat banyak turis asing memilih Prawirotaman sebagai pilihan tempat menginap.

Bahkan situs plesir Time Out di 2019 menobatkan Prawirotaman di urutan ke-32 dari 50 kawasan yang menyenangkan di dunia. Suasana mirip Seminyak, Bali juga dirasakan di Prawirotaman.

Kalangan turis asing menyukai menginap di Prawirotaman karena aman, menyenangkan dengan tempat hang out yang bervariasi serta tetap tidak meninggalkan suasana tradisional khas Yogyakarta.

Bangunan-bangunan tua masih tetap terawat dengan baik, apalagi jika menyeberang ke Jalan Tirtodipuran yang tetap mempertahankan bangunan-bangunan kolonial.

Untuk segmentasi usia, lingkungan Prawirotaman juga sesuai dengan wisatawan mancanegara (wisman) dan wisatawan nusantara (wisnus) segala usia.

Dari tarif penginapan, tersedia penginapan dengan rate termurah Rp 90.000 hingga Rp 900.000 per malam. Warga Prawirotaman pun sudah banyak yang fasih berbahasa Inggris.

Tidak hanya caffee, es krim gelato, aneka masakan asing pun tersaji di berbagai resto dan rumah makan yang unik.

Masakan dari Italia, Korea, Jepang, bahkan Mexico dijual di Kawasan Prawirotaman. Untuk nasi goreng kampung yang lezat, harga sepiring Rp 13.000 masih dijumpai di Prawirotaman.

Pamor Prawirotaman semakin terangkat karena sebagian pengambilan visual film Ada Apa Dengan Cinta 2 dengan tokoh Rangga (Nicholas Saputra) dan Cinta (Dian Sastrowardoyo) yang dibesut sutradara Riri Riza berlokasi di sana.

Kedai Sellie Coffee dan Hotel Greenhost Boutique di Jalan Gerilya atau Prawirotaman II menjadi ikonik film tersebut yang sempat digandrungi anak-anak muda pada 2016.

Tidak ada yang menyangka roda kehidupan sontak berubah di 2020 tepatnya di bulan Maret dan April.

Saya yang menginap di Prawirotaman pada 2018 dan 2019 masih merasakan denyut kehidupan “normal” dan begitu mudah menemukan wisman dan rombongan anak sekolah dari berbagai daerah yang datang.

Antrean pembeli es krim gelato begitu panjang sehingga calon pembeli harus sabar menunggu giliran tiba.

Mengunjungi Prawirotaman pada 2020 dan 2021 saat pandemi Covid-19 memburuk, saya begitu sedih melihat keterpurukan usaha dan kemuraman wajah-wajah pelaku pariwisata yang mengandalkan kehidupan dari kedatangan wisman dan wisnus.

Satu per satu usaha bertumbangan dan yang memilih bertahan hanyalah untuk tetap berharap ada pemasukan.

Usaha-usaha perhotelan dan penginapan sederhana ada yang tutup atau menempuh cara pengurangan karyawan agar tetap eksis.

Mengandalkan tamu yang menginap hanyalah dianggap sebagai hiburan mengingat jarangnya wisatawan yang datang.

Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) menjadi alarm kematian pelaku usaha karena membatasi ruang gerak mencari penghasilan. Sudah yang datang sedikit, jam operasional buka pun terbatas.

Sedangkan menyambangi Prawirotaman di masa sekarang ini, begitu berbeda. Ada optimisme sekaligus kebangkitan warga di semua sektor kehidupan.

Kehidupan berangsur normal dan kembali pulih walau belum 100 persen seperti sedia kala di masa sebelum pandemi datang.

Beberapa galeri batik masih tutup dan beberapa rumah makan juga belum beroperasi kembali.

Turis-turis mancanegara mulai ramai menginap di Prawirotaman, demikian juga rombongan wisata pelajar dan komunitas mulai menyesaki Prawirotaman terutama di akhir minggu.

Bus-bus pariwisata silih berganti datang dan pergi. Berbagai jenis usaha seperti perhotelan, rumah makan dan usaha-usaha yang lain mulai menerima pekerja baru. Ada senyum sekaligus tawa sembari rasa syukur dari warga Prawirotaman.

Kalau saya tanyakan ke warga di Prawirotaman, mengapa pariwisata di Prawirotaman bisa bangkit kembali seperti sediakala?

Umumnya mereka mengakui keberhasilan vaksinasi yang gencar dilakukan aparat pemerintah serta perilaku hidup sehat seperti mematuhi protokol kesehatan menjadi kunci kebangkitan ekonomi di tataran bawah.

Harus diakui, langkah pemerintah dalam mengedukasi warga mengenai pandemi Covid-19 cukup berhasil.

Pandemi yang telah berlangsung selama dua tahun tentu dirasakan dampaknya begitu hebat di masyarakat sehingga kejadian tersebut memberikan pelajaran yang berharga di kemudian hari.

Butuh strategi komunikasi (pemulihan) pariwisata

Kebangkitan pariwisata di Prawirotaman pada khususnya, Yogyakarta dan daerah-daerah lain di tanah air hanyalah tinggal menunggu waktu seiring dengan dibukanya kembali trayek-trayek penerbangan maskapai asing ke tanah air serta deklarasi resmi pemerintah untuk status endemi.

Begitu status Covid-19 dinyatakan sebagai endemi, maka masyarakat harus siap “kembali” dengan kehidupan normal tanpa melalaikan gaya hidup sehat yang telah dijalani selama dua tahun kemarin.

Hidup boleh kembali normal, tetapi tanpa mengendorkan protokol kesehatan. Masker memang boleh dilepas di tempat-tempat publik yang tidak ramai, tetapi alangkah lebih baik jika masker tetap dikenakan di lokasi-lokasi tertutup.

Dua tahun hidup dalam pandemi telah memberikan pelajaran yang begitu besar bagi kehidupan umat manusia.

Tentu kita semua tidak ingin mengulangi masa kelam dalam kehidupan era pageblug kemarin, begitu beda kematian dan kehidupan terasa tipis dan tidak terbayangkan sama sekali.

Pemerintah pusat maupun daerah harus mempunyai blue print strategi komunikasi pemulihan pariwisata mengingat kebutuhan orang untuk berwisata pascapandemi begitu tinggi.

Semua ingin keluar, semua ingin bebas setelah terkekang selama dua tahun di rumah atau malah sempat merasakan dirawat di ruang-ruang isolasi.

Prawirotaman, misalnya, tidak bisa dibiarkan begitu saja menerima kedatangan wisatawan tanpa ada sajian budaya yang reguler.

Festival musik, pentas seni lainnya atau kegiatan lainnya yang memberi daya tarik Prawirotaman harus digelar.

Harus ada poromosi kembali yang gencar dan masif bahwa Prawirotaman tetap layak menjadi destinasi wisata.

Larangan Pemerintah Arab Saudi melalui Direktorat Jenderal Paspor (Jawasat) yang meminta warganya untuk tidak mengunjungi Indonesia lantaran kondisi Covid-19 yang masih mengkhawatirkan seharusnya dijadikan momentum bahwa kita begitu lemah dan tidak bisa mengantisipasi perkembangan yang akan terjadi.

Sangat lucu mengingat kasus baru konfirmasi positif Covid-19 di Indonesia jauh lebih rendah daripada Arab Saudi di periode 22 Mei 2022. Indonesia mencatat ada 174 kasus, sementara Arab Saudi mencapai 650 kasus (Kompas.com, 24/05/2022).

Arab Saudi begitu “getol” membuka izin masuk bagi jamaah umrah asal Indonesia mengingat devisa yang dihasilkan dari Indonesia begitu tinggi.

Data Kementerian Agama menyebut ada 41.000 jamaah umrah hingga penutupan musim umroh tanggal 31 Mei 2022 lalu (Republika.com, 27 April 2022).

Upaya yang dilakukan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang demikian gencar, harus lebih digencarkan lagi untuk menjaring calon wisatawan di masa endemi untuk lebih banyak datang ke berbagai tempat pariwisata di tanah air.

Harus diakui, sektor pariwisata begitu padat tenaga kerja dan sektor ekonomi “ikutannya” begitu besar.

Me-rebranding spot-spot wisata dengan memanfaatkan momentum endemi yang segera tiba harus benar-benar dilakukan sejak sekarang.

Sekecil apapun event yang dilakukan perorangan atau institusi di sebuah lokasi wisata, ikut memantik sektor-sektor yang lain.

Saya pun sepakat dengan rekan sejawat penggiat komunikasi praksis Yogyakarta, Yudah Prakosa menghelat diskusi di sebuah warung kopi di Yogyakarta akhir bulan ini.

Memang, kangen sudah terlanjur melekat di Yogyakarta. Tidak hanya sekeadar kisah antara aku, kau dan tentu saja Yogya.

“Dalam nyanyian anak kecil di angkringan tugu Yogya, aku perhatikan wajahmu tersenyum. Sebab, engkau mendengarkan anak kecil menyanyikan lagu tentang Yogya, hujan, dan kenangan.”

https://regional.kompas.com/read/2022/05/25/06200051/kangen--kisah-antara-aku-kau-dan-yogya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke