Salin Artikel

Menguak Keluh Kesah Warga Mentawir Kaltim akibat Air Sungai Tercemar Bekas Galian Tambang

Atas dasar itulah, tim Kompas.com - Fabian Januarius Kuwado, Ardi Priyatno Utomo, dan Zakarias Demon Daton - mencoba menelusurinya, Sabtu (21/5/2022).

Dari Kota Balikpapan, kami menempuh jalur darat menuju salah satu desa yang terletak di pesisir Teluk Balikpapan, yakni Desa Mentawir, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara.

Berdasarkan informasi, di desa yang masuk ke dalam kawasan pengembangan Ibu Kota Nusantara itu terdapat lubang bekas tambang batu bara.

Setelah menyusuri kombinasi jalan aspal dan jalan rusak selama sekitar empat jam, akhirnya kami tiba di Desa Mentawir.

Orang yang kami temui pertama kali di desa itu, yakni Pak Lamale. Ia adalah mantan Ketua RT setempat selama 22 tahun.

Kepada dia, kami menanyakan perihal akses menuju lubang tambang di desa. Ia tersenyum mengawali jawabannya.

“Ya, saya sudah beberapa kali mencoba ke tambang, enggak boleh. Ada penjaganya,” ujar Lamale ketika dijumpai di rumahnya.

Bila warga setempat saja tidak diperkenankan masuk, apalagi orang luar seperti kami.

“Kecuali mungkin ada kepentingan khusus terkait tambang itu, baru diperbolehkan masuk,” lanjut pria yang tinggal di Desa Mentawir sejak tahun 1979.

Ia menambahkan, akses menuju ke lokasi tambang pun sulit dijangkau dari desanya. Akses utama area itu adalah dari Bukit Bengkirai yang berjarak tempuh berjam-jam dari Mentawir, atau pelabuhan khusus di area Teluk Balikpapan yang hanya dapat diakses dengan perahu.

Lamale bercerita, area tambang itu memang menuai banyak persoalan. Pertama soal keberadaan tambang. Menurut dia, keberadaan tambang itu saja sudah menggerus mata pencaharian warga.

Sebab, sebelum tambang dibuka, lokasi tersebut biasa digunakan warga untuk bertani dan berternak.

“Memang sih ketika perusahaan pertama itu datang untuk membuka tambang, dia bekerjasama dengan masyarakat untuk lapangan pekerjaan. Tetapi setelah habis batunya, (lubang bekas tambang) ditinggal begitu saja. Itu asal muasal lubang pertama,” ujar Lamale.

Kemudian, perusahaan kedua datang untuk mengksplorasi area itu. Eksplorasi sempat dilakukan sehingga menyebabkan lubang baru.

Tetapi, karena terjadi sengketa dengan perusahaan pertama, maka aktivitas tambang berhenti sementara hingga saat ini.

“Jadi sudah berlubang, tapi belum sempat direklamasi,” ujar Lamale.

Warga berharap perusahaan pemegang konsesi segera memenuhi kewajiban mereklamasi lubang bekas tambang batu bara itu. Sebab, selain itu merupakan kewajiban, ada dampak lain yang dirasakan warga akibat kehadiran lubang itu.

Lamale bercerita, lubang bekas tambang itu terkoneksi dengan dua anak Sungai Mentawir di mana anak sungai itu sejak dahulu menjadi sumber air bersih bagi penduduk desa.

Tetapi, sejak ada lubang bekas tambang itu, air anak sungai menjadi tercemar sehingga sejak tahun 2000-an tidak dapat dikonsumsi lagi.

Kepala Adat Suku Paser Sahnan, yang kami temui setelah Lamale, mengungkapkan hal senada.

Suatu hari, ia pernah membuat kolam budi daya ikan. Awalnya, ia mengumpulkan air dari tadah hujan. Beberapa waktu kemudian, ia mengaliri kolam dengan air anak sungai yang terkoneksi dengan lubang bekas tambang.

“Setelah itu ikannya mati semua. Ternyata airnya sudah tercemar dari sana (bekas lubang tambang),” ujar Sahnan.

Ia menambahkan, sejak sumber air bersih tercemar, warga Desa Mentawir mengonsumsi air dari tiga sumber. Untuk mandi, cuci, kakus dari Sungai Mentawir atau anak sungainya yang sudah tercemar.

Sementara untuk konsumsi air minum menggunakan air hasil penyulingan yang dihargai Rp 5.000 per galon.

Kami sempat melihat kondisi air dari anak sungai Mentawir yang ditampung di ember rumah Sahnan. Kondisinya cukup memprihatinkan. Airnya berbau tidak enak, dan berwarna keruh.

Setelah berbincang dengan dua orang tadi, kami pun mencoba mengakses lokasi lubang bekas tambang. Tetapi, karena sulit dijangkau, kami mengakses area itu dengan drone.

Inilah penampakan area tambang yang sudah ditinggalkan itu:

Lubang-lubang bekas tambang batu bara di Kalimantan terhitung banyak sekali jumlahnya. Khusus di wilayah IKN, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melaporkan, terdapat 29 ribu hektare lubang bekas tambang.

Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur Pradarma Rupang mengatakan, persoalan kerusakan lingkungan akibat tambang harus diselesaikan pertama-tama oleh perusahaan pemilik konsesi.

“Kerusakan lingkungan itu yang utamanya. Seharusnya perusahaan wajib menutup (lubang bekas tambang) dan memulihkannya,” ujar dia.

Ia mengatakan, kawasan tambang di Desa Mentawir itu sangat strategis. Sebab bersebelahan dengan hutan lindung Sungai Wain dan kawasan mangrove di Teluk Balikpapan.

Semestinya, daerah itu menjadi "surga" bagi penduduk setempat, bukan sebaliknya.

“Jadi, semestinya setelah dipulihkan, pemerintah jangan memperpanjang lagi izin-izin tambang yang justru akan membuat kerusakan lebih parah lagi,” lanjut Rupang.

Persoalan itu harus diselesaikan agar tidak menjadi "cacat" bagi pembangunan ibu kota baru.

https://regional.kompas.com/read/2022/05/22/08472041/menguak-keluh-kesah-warga-mentawir-kaltim-akibat-air-sungai-tercemar-bekas

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke