Salin Artikel

Gawai Adat Dayak: Melihat Manusia sebagai Makhluk Berdimensi Vertikal dan Horizontal

Mereka menjadi tersinggung dan marah karena pulau tempat mereka tinggal dan hidup dikatakan sebagai tempat jin buang anak. Hanya monyet yang mau tinggal di sana.

Ketika mendengar pernyataan tersebut, saya langsung teringat dengan salah satu tokoh dalam Kitab Suci seperti yang dikisahkan dalam Injil Yohanes 1:43-51. Natanael namanya.

Dikisahkan suatu kali Filipus bertemu dengannya dan berkata: "Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam Kitab Taurat dan oleh para nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret."

Mendengar perkataan Filipus, Natanael langsung mengajukan sebuah pertanyaan sinikal: "Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?"

Mendengar pertanyaan Natanael itu, Filipus hanya berkata: "Mari dan lihatlah!"

Nazaret itu hanyalah sebuah kota kecil. Tidak terkenal. Tidak heran kemudian Natanael menjadi sinis ketika mendengar Mesias yang akan datang, yang telah disebut Musa dalam Kitab Taurat dan telah dinubuatkan para nabi, berasal dari Nazaret.

Sekelompok orang di Jakarta itu nampaknya berada seposisi dengan Natanael. Mengetahui bahwa ibu kota yang baru akan dipindahkan ke Kalimantan - sebuah pulau yang dalam benak mereka hanya hutan belantara dan hanya monyet yang mau tinggal di sana - mereka pun memandang rendah dan hina.

Bila hendak dirumuskan seturut pertanyaan Natanael, mereka mau bertanya: "Mungkinkah sesuatu yang baik itu datang dari Kalimantan?"

Untuk menjawabanya saya hanya mau mengulang apa yang dikatakan Filipus kepada Natanel: "Mari dan lihatlah!"

Dan lewat tulisan ini, saya mau mengundang siapa saja yang berkehendak baik untuk melihat bahwa manusia Dayak itu tidak seburuk seperti yang dipikirkan.

Serta untuk melihat bahwa ada banyak hal baik di pulau Kalimantan. Sebuah pulau yang dihuni oleh 7 rumpun suku Dayak (Ngaju, Apo Kayan, Iban, Klemantan, Murut, Punan dan Ot Danum) dan 405 sub-suku.

Gawai adat Dayak

Bertepatan dengan sudah tibanya musim gawai Dayak (tradisi syukuran setelah panen) dan bertepatan dengan dibukanya Pekan Gawai Dayak ke-XXXVI pada 19 Mei 2022 di Rumah Radank Pontianak, saya akan menjadikan tradisi syukuran ini sebagai titik berangkat.

Disebut juga sebagai pesta tutup tahun atau pesta syukur setelah panen, gawai adat Dayak merupakan puncak dari seluruh proses perladangan dalam suku Dayak.

Pesta adat yang sakral dan penting ini menjadi momen bagi para peladang untuk mengucap syukur kepada Yang Ilahi (Jubata Yang Agung) atas hasil ladang serta atas berkat dan perlindungan-Nya selama bekerja di ladang.

Sebagai sebuah bentuk ungkapan syukur, gawai adat selalu diadakan dengan penuh sukacita dalam semangat kebersamaan.

Oleh karena itu, sebuah kampung yang akan mengadakan gawai adat akan mengundang keluarga dan kerabat kenalan untuk datang bertandang.

Hadirnya sanak keluarga dan kerabat kenalan tentulah akan semakin menambah semarak suasana pesta. Membuat suasana gawai adat semakin meriah.

Kemeriahan tentu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gawai adat Dayak. Akan tetapi, ia bukanlah menjadi tujuan utamanya.

Dengan mewariskannya kepada generasi sekarang, para leluhur ingin mengingatkan bahwa tujuan fundamental dari gawai adat ialah mengucap syukur kepada Jubata dan menikmati hasil jerih payah berladang dalam semangat kebersamaan.

Manusia: makhluk berdimensi vertikal dan horizontal

Di dalam tujuan fundamental itu, sejatinya terkandung apa yang menjadi hakikat atau jati diri manusia, yakni sebagai makhluk berdimensi vertikal dan horizontal.

Humanisme transendental dari Karl Rahner, teolog asal Jerman, atau kemanusiaan yang beriman dari mendiang Bapak Jakob Oetama, merupakan istilah lain untuk menggambarkan hakikat manusia tersebut.

Dalam pandangan suku Dayak sendiri tentang manusia, hakikat manusia dikenal dengan semengat atau semongat.

Istilah-istilah tersebut sesungguhnya mau mengatakan hal yang sama, yakni bahwa manusia itu memiliki kodrat ilahi di dalam dirinya. Dengan memiliki kodrat ilahi, artinya manusia memiliki sisi transenden di dalam dirinya.

Dengan memiliki kodrat ilahi, maka secara kodrati manusia itu selalu terbuka dan terarah kepada Yang Transenden.

Berangkat dari pemahaman ini, Karl Rahner dalam upaya berteologinya menggunakan metode dan pendekatan transendental.

Melalui metode dan pendekatannya itu, Rahner mau menunjukkan bahwa berkat keterciptaannya menurut gambar dan rupa Allah, manusia memiliki dimensi transenden di dalam dirinya.

Dimensi transenden inilah yang menjadikan manusia selalu terbuka dan terarah kepada Tuhan.

Tom Jacobs dalam bukunya Paham Allah dalam Filsafat, Agama-Agama dan Teologi (2002) menerangkan bahwa dengan gagasan ini Rahner hendak menyatakan bahwa manusia selalu sudah terarahkan kepada yang lain di luar dirinya. Dia terbuka untuk manusia yang lain, juga untuk segala benda di dunia.

Namun, yang lebih penting manusia terarah kepada dasar segala yang ada, yakni Nan Mutlak. Keterarahan pada Allah merupakan dasar segala pengetahuan dan tindakan konkret.

Pemahaman suku Dayak bahwa manusia memiliki semengat itu juga sejalan dengan “kemanusiaan yang beriman”-nya Bapak Jakob Oetama. Sebuah istilah yang mau memaksudkan bahwa manusia dalam hidupnya berpusat pada yang ilahi.

Dengan berpusat pada yang ilahi, manusia dalam hidupnya senantiasa penuh kasih dan solider terhadap sesama, menghormati dan menghargai orang lain, bersikap rendah hati.

Singkatnya, dalam kelemahan manusiawinya, manusia selalu berusaha untuk memanusiakan sesamanya.

Poin-poin penting dari manusia yang memiliki semengat

Lantas poin-poin penting apa saja yang kemudian hendak digarisbawahi dari pemahaman suku Dayak tentang manusia yang memiliki kodrat ilahi (semengat) di dalam dirinya?

Semengat membuat mereka selalu terarah dan terbuka pada Yang Ilahi (Jubata Yang Agung). Keterarahan dan keterbukaan mereka pada Yang Mutlak terlihat jelas dari beragam ritual adat yang mereka tampilkan dalam hidup sehari-hari.

Dalam tradisi berladang, misalnya, sangat kaya dengan ritus-ritus adat mulai dari pemilihan lokasi sampai dengan pesta tutup tahun (gawai adat).

Ritual adat dilakukan sebagai bentuk permohonan ijin kepada Petara sekaligus memohonkan berkat agar pengerjaan ladang berjalan dengan lancar, serta agar mendapat hasil panen yang berlimpah.

Sekaligus juga sebagai rasa hormat, sembah dan puji kepada Sang Petara yang telah menganugerahkan alam sebagai tempat untuk berladang.

Semengat menggerakkan mereka untuk berbuat kebaikan terhadap ciptaan lain.

Tjilik Riwut dalam bukunya Menyelami Kekayaan Leluhur (2003), mengurai pandangannya tentang manusia. Menurutnya, manusia merupakan ciptaan yang paling mulia dan sempurna.

Sebagai ciptaan yang paling mulia dan sempurna manusia harus menjadi teladan bagi ciptaan yang lain.

Menjadi teladan dimaksudkan bahwa manusia harus selalu mengusahakan cinta kasih, perdamaian, kebenaran dan keadilan dalam hidup sehari-hari.

Semengat memampukan mereka untuk menangkap dan membaca tanda-tanda kehadiran Yang Transenden dalam peristiwa atau gejala alam.

Berkat semengat, mereka mampu membaca fenomena alam yang bisa mendatangkan berkat ataupun kutuk.

Sebuah kemampuan yang tentu saja sangat berguna terutama dalam kehidupan agraris masyarakat Dayak.

Mendapatkan hasil panen yang baik dan berlimpah tentu saja menjadi keinginan setiap warga. Akan tetapi, keinginan tersebut tidak pernah boleh mengabaikan pesan dari Yang Ilahi atau para leluhur yang hadir lewat tanda-tanda atau fenomena alam.

Lewat suara burung atau mimpi, misalnya. Pengabaian terhadap pesan tersebut hanya akan mendatangkan bencana bagi diri sendiri, keluarga dan seluruh anggota komunitas.

Semengat memampukan mereka menjalin komunikasi dan relasi yang baik dengan sesama. Dari gagasan Karl Rahner soal humanisme transendental di atas dikatakan bahwa manusia selain sudah selalu terarah kepada Tuhan, dia juga terbuka untuk manusia yang lain dan berhakikat interkomunikatif.

Yang mau ditampilkan di sini ialah hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Setiap orang itu ada, tumbuh dan berkembang bersama dan selalu dalam relasi dengan orang lain serta alam ciptaan. Inilah dimensi sosial manusia.

Oleh karena itu, adalah sebuah pengingkaran yang fatal terhadap kodrat sosial itu sendiri bila dalam hidup berkomunitas ada anggota yang tidak diperhatikan atau diabaikan.

Diletakkan dalam bingkai pemahaman akan manusia yang berhakikat interkomunikatif, kita kemudian bisa memahami mengapa gawai adat Dayak mesti dilaksanakan dalam semangat kebersamaan.

Harus mengundang sanak keluarga dan kerabat kenalan untuk turut serta menikmati hasil jerih payah dalam berladang.

Bagi masyarakat Dayak, hasil bumi yang mereka peroleh tidak pernah boleh hanya dinikmati seorang diri.

Karena itulah, setiap tamu yang datang ke rumah harus dipersilakan untuk menyantap hidangan yang telah tersedia.

Inilah bentuk ungkapan syukur atas berkat yang sudah diterima dari Petara. Sekaligus sebagai wujud doa agar Petara Yang Agung senantiasa melimpahkan hasil ladang yang baik dan berlimpah.

Kemurahan hati tuan rumah ini tak boleh ditolak oleh tetamu. Penolakan selain dilihat sebagai bentuk ketidaksopanan, juga dapat dilihat sebagai bentuk penyangkalan terhadap hidup itu sendiri.

Harap diingat, nasi merupakan berkat dari Sang Pemberi Kehidupan dan sumber kehidupan bagi manusia. Diperlukan kerja keras untuk mendapatkannya.

Menolak berkat dan sumber kehidupan itu sama saja dengan manusia tidak mensyukuri hidup yang telah dianugerahkan oleh Yang Mahakuasa.

Semengat memampukan manusia untuk merawat alam serta mengolahnya dengan penuh hormat dan beradat.

Alam memiliki jiwa tersendiri, bersifat sakral dan kerap dipersonifikasi sebagai wujud yang mengatasi kuasa manusiawi, yang kepadanya manusia harus menyesuaikan diri, memberikan hormat dan sembah.

Pandangan hidup yang demikian mendorong manusia untuk mengembangkan sikap harmoni terhadap alam. Agar tidak terjadi bencana dan malapetaka (chaos), maka keharmonisan itu harus terus dijaga.

Begitulah. Dengan menghayati hidupnya sebagai makhluk berdimensi vertikal dan horizontal, manusia Dayak dalam keseharian hidupnya selalu berupaya untuk membangun relasi yang harmonis dengan Yang Transenden, dengan sesama dan dengan alam.

Oleh karena itu, sungguh tidak etis rasanya bila menyamakan mereka dengan monyet atau segala jenis makhluk halus lainnya.

https://regional.kompas.com/read/2022/05/21/08150091/gawai-adat-dayak--melihat-manusia-sebagai-makhluk-berdimensi-vertikal-dan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke