Salin Artikel

Wilayah Pegunungan Papua Minim Infrastruktur, Biaya Mobilisasi Personel Kepolisian Capai Puluhan Miliar

Terbagi menjadi 29 wilayah administrasi tingkat II, kondisi geografis di Papua didominasi oleh kawasan pegunungan yang ketinggian maksimalnya mencapai 4.884 meter di atas permukaan laut (MDPL).

Kondisi tersebut menjadi sulit karena sebagian besar kawasan pegunungan Papua belum terhubung oleh moda transportasi darat, sehingga penerbangan menjadi pilihan utama.

Keadaan seperti itu, membuat tugas dari aparat keamanan, dalam hal ini kepolisian, menjadi lebih sulit.

Dengan adanya aksi kekerasan yang dilakukan beberapa Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di lima kabupaten, mobilisasi personel menjadi tidak mudah karena umumnya lokasi rawan hanya bisa dijangkau menggunakan pesawat jenis Twin Otter atau Caravan.

Tugas pengamanan dari KKB ini dipikul oleh Satgas Operasi Damai Cartenz atau yang sebelumnya dinamakan Satgas Operasi Nemangkawi.

Mereka dibentuk untuk mengatasi KKB di Kabupaten Intan Jaya, Puncak, Yahukimo, Pegunungan Bintang dan Nduga.

Harus sewa pesawat

Direskrimum Polda Papua Kombes Faizal Ramadhani yang pernah menjabat Kepala Satgas Penegakan Hukum Operasi Nemangkawi dan kini menjadi Wakil Kepala Operasi Damai Cartenz menyebutkan, mobilisasi personel untuk menangani KKB tidak mudah.

Untuk mendorong personel berikut dengan logistik dan persenjataannya, tidak bisa dilakukan menggunakan pesawat reguler karena pesawat terbesar yang bisa masuk ke ibu kota kabupaten hanyalah jenis ATR.

Namun untuk menuju ke distrik-distrik tempat KKB berulah, polisi umumnya harus menyewa/carter pesawat berbadan kecil jenis Twin Otter dengan kapasitas maksimal 12 penumpang.

"Puluhan miliar setahunnya karena carter pesawat tidak murah, kalau sewanya itu sekitar Rp 30-40 juta sekali jalan," ujar Faizal.

Kendala yang dihadapi polisi tidak berhenti di situ, banyak landasan di wilayah pegunungan Papua sulit untuk didarati sehingga tidak banyak pilot yang bersedia terbang ke lokasi yang dituju.

Pilot takut masuk daerah rawan

Dalam beberapa aksi bersenjata yang dilakukan KKB, aparat keamanan kesulitan mencapai lokasi kejadian.

Sebab, tidak ada pilot yang bersedia terbang ke daerah tersebut.

Setidaknya hal tersebut terjadi di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak pada 9 April 2021 dan di Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, pada 17 Januari 2022.

Saat kejadian di Beoga, terang Faizal, hanya ada satu pilot yang merupakan mantan anggota TNI Angkatan Udara yang akhirnya bersedia mengantar personel Satgas Nemangkawi menuju ke lokasi kejadian.

Namun saat kejadian di Distrik Kiwirok, Satgas Nemangkawi, betul-betul tidak mendapat pilot yang berani ke lokasi karena pilot yang sebelumnya mengantar personel ke Beoga telah meninggal dunia.

Alhasil, sebagian personel Satgas Nemangkawi harus menempuh jalan darat hingga berhari-hari.

"Karena pesawat tidak bisa makanya kita jalan kaki sampai tiga hari," kata Faizal.

Saat personel akhirnya tiba di Kiwirok dan mengamankan lokasi, baru setelahnya pesawat berani mendarat ke daerah tersebut.


Anggaran diklaim terbatas

Ketergantungan pada moda transportasi udara ini juga dirasakan oleh Polres Pegunungan Bintang yang ruang lingkup kerjanya mencapai 34 distrik/kecamatan.

Kabupaten yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini tersebut memiliki kondisi yang sulit karena mayoritas merupakan kawasan pegunungan dengan ketinggian mencapai 400 hingga 4.000 MDPL.

"Dari 34 distrik di Pegunungan Bintang hanya lima distrik yang bisa dijangkau dengan perjalanan darat, 29 distrik lainnnya harus menggunakan penerbangan," ujar Kapolres Pegunungan Bintang AKBP Cahyo Sukarnito.

Untuk pelaksanaann tugas rutin kepolisian, Cahyo mengaku, harus berpikir lebih untuk menempatkan personel hingga mengirimkan bahan makanan.

Diakuinya anggaran yang dimiliki Polres Pegunungan Bintang tidak akan cukup untuk menutup biaya transportasi.

"Saya meminta prioritas dan dukungan kerja sama dari maskapai, kalau kita mengharap (anggaran) Polres tentu tidak cukup," tuturnya.

Menurut dia, ada penerbangan-penerbangan reguler yang jadwalnya tidak rutin per hari yang harus ditunggu untuk mendorong logistik personel.

Ketika ada kejadian darurat, seperti aksi KKB, Cahyo mengaku harus meminta dukungan dari satuan lebih tinggi karena mereka harus menyewa pesawat.

"Kecuali dalam situasi yang eksidentil sekali harus carter pesawat dengan dukungan Polda atau Mabes Polri. Tapi tidak setiap kita minta bantuan itu dipenuhi karena melihat situasi dan kondisi keuangan Pemda atau Polda," kata dia.

Tarif sewa pesawat di Pegunungan Bintang

Distrik Oksibil yang menjadi ibu kota Kabupaten Pegunungan Bintang, merupakan pusat aktivitas di wilayah tersebut.

Untuk menuju ke Oksibil, tersedia penerbangan rutin dari Jayapura dengan menggunakan pesawat ATR yang kapasitasnya sekitar 40-60 orang.

Namun dari Oksibil, akses jalan darat hanya tersambung ke Distrik Serambakon, Ok Aom, Kalomdol, Iwur dan Bulangkop.

Karenanya untuk daerah lain, Polres Pegunungan Bintang harus bergantung kepada pesawat udara yang tarifnya tidak murah.

"Biaya sewa di Oksibil itu tergantung jarak, misal kalau ke Okbibab itu Rp 13 juta untuk satu kali jalan, itu sekitar 15 menit penerbangan dengan kapasitas penumpang 12 orang, tapi karena berada di ketinggian biasanya hanya diisi 10 orang, itu biaya yang paling murah. Dulu ke Kiwirok biayanya Rp 16 juta, lalu ke Batom Rp 34 juta," tutur Cahyo.


Cuaca menentukan penerbangan

Di wilayah pegunungan, tidak hanya faktor keamanan yang menentukan bisa tidaknya pesawat lepas landas atau mendarat, tetapi juga faktor cuaca.

Pada situasi keamanan normal, penerbangan di Kabupaten Pegunungan Bintang memiliki jam terbang yang tidak banyak karena cuaca tidak memungkinkan.

"Cuaca sangat menentukan, apalagi daerah-daerah ketinggian seperti Kiwirok, Okbibab, Okbab, itu setelah jam 10 biasanya sudah kabut, pesawat tidak bisa masuk, jadi waktu penerbangannya juga sangat terbatas," ungkap Cahyo.

Faktor cuaca tersebut yang sempat membuat penerbangan ke Pegunungan Bintang rawan karena tercatat pernah ada beberapa kecelakaan pesawat dengan jumlah korban cukup banyak.

Pada 16 Agustus 2015, pesawat Trigana Air Service jenis ATR 42 PK YRN dengan jumlah korban tewas mencapai 54 jiwa.

Lalu pada 28 Juni 2019, Heli MI-17 milik TNI Angkatan Darat menabrak Gunung Mol, Distrik Bulangkop, dan menewaskan 12 orang yang ada didalamnya.

Harga barang mahal

Ketergantungan Kabupaten Pegunungan Bintang terhadap moda transportasi udara membuat harga barang di wilayah tersebut sangat mahal.

Kapolres Pegunungan Bintang AKBP Cahyo Sukarnito menjelaskan, seluruh barang yang umumnya dikirim dari Jayapura, harus diangkut menggunakan pesawat terbang.

"Semen 1 sak di Oksibil sekarang Rp 1,2 juta, belum di distrik lainnya. Beras 1 kg itu Rp 30.000 sampai Rp 40.000," ungkap Cahyo.

Kondisi tersebut semakin sulit bagi masyarakat di distrik lain yang belum terhubung dengan moda transportasi darat.

Karenanya Cahyo berharap pemerintah bisa memprioritaskan pembangunan infrastruktur jalan di Pegunungan Bintang karena masih banyak masyarakat yang terisolasi.

Menurut dia, pembukaan akses jalan menjadi satu-satunya solusi untuk mengejar ketertinggalan pembangunan di Pegunungan Bintang.

"Kita berharap pemerintah pusat dan pemerintah daerah segera mendorong pembangunan infrastruktur di Pegunungan Bintang karena selain mempermudah rentang kendali, koordinasi, itu juga akan menekan dan menurunkan biaya logistik yang selama ini harus dikirim menggunakan pesawat," tutur Cahyo.

https://regional.kompas.com/read/2022/05/20/050500978/wilayah-pegunungan-papua-minim-infrastruktur-biaya-mobilisasi-personel

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke