Salin Artikel

Tradisi Waisak di Ngroto Sumogawe: Dari Sungkeman, Kenduren, sampai Lebaran Waisak

LERENG Gunung Merbabu di Jawa Tengah punya sejuta cerita. Salah satunya, tradisi perayaan Waisak di Dusun atau Kampung Ngroto—konon dulu bernama Seroto—, yang masuk wilayah admistrasi Desa Sumogawe, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang.

“Sekarang ada 134 warga (pemeluk agama) Buddha, sekitar 50 persen warga kampung,” kata Sabari, Ketua Vihara Widya Loka di Dusun Ngroto, saat ditemui di sela perayaan Waisak 2562/2022 M, Senin (16/5/2022).

Mengikuti puncak perayaan yang digelar di kompleks Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, tradisi di Ngroto pun tak berbeda pada detik-detik peringatan kelahiran Buddha Gautama. Namun, ada tradisi lain yang menyertai.

“Dimulai dari sebulan sebelum hari ini, ada pembukaan Sebulan Pembinaan Dharma (SPD), berupa kirab keliling kampung,” tutur Sabari.

Lalu, pada hari peringatan, Senin, prosesi perayaan diawali pada pukul 06.30 WIB. Prosesi awal perayaan ini sudah cukup unik, antara lain dengan kehadiran iringan organ tunggal pada beberapa segmen doa, pengantar prosesi dalam bahasa Jawa, dan sebagian doa yang juga dalam bahasa Jawa.

Sungkeman, kenduren, dan lebaran Waisak

Prosesi awal perayaan Waisak tersebut berakhir pada pukul 07.51 WIB dengan doa penutup “semoga hidup bahagia”. Seturut salam namo budaya, pembawa acara mempersilakan umat bersiap melakukan tradisi sungkeman.

Pasangan sesepuh desa mendapat prioritas tempat, disusul para orangtua yang masih ada. Suasana sungkeman ini laiknya di Idul Fitri dalam tradisi Jawa bagi umat Islam atau dalam prosesi pernikahan.

Haru, takzim, sekaligus hangat. Tiga hal itu yang kental terasa di tengah sungkeman satu kampung ini. Kata-kata yang diungkap dalam sungkeman ini mulai dari terima kasih hingga permintaan maaf. Peluk erat dan jabat tangan menggenapi suasana.

Dari sungkeman kepada sesepuh dan orangtua masing-masing, umat Buddha di kampung ini lalu berdiri berkeliling ruang dalam vihara, saling bersalaman, mengucapkan selamat Waisak sembari meminta permaafan masing-masing.

Berlangsung hingga sekitar pukul 08.15, sungkeman segera diikuti dengan kenduren alias kenduri. Rantang-rantang dan wadah-wadah makanan beredar.

Nasi dan aneka lauk yang dibawa masing-masing keluarga ditata di halaman vihara, boleh dinikmati siapa saja yang hadir di perayaan. Guyup. Akrab. Dekat. Tak berjarak.

Usai makanan disantap, warga pun spontan merapikan wadah-wadah yang sebelumnya berisi nasi dan lauk. Piring dan gelas kotor dirapikan.

Sebagian langsung membawanya pulang ke rumah masing-masing, sebagian yang lain bahu-membahu mencucinya di salah satu sudut halaman vihara.

Dalam hitungan menit, vihara kembali rapi. Sembari menanti detik-detik peringatan kelahiran Buddha Gautama, anak-anak dikumpulkan di dalam vihara. Anak-anak ini disebut sebagai murid sekolah Minggu.

Pada pukul 09.34 WIB, dua samanera tiba di vihara. Samanera adalah calon bikhhu. Bikhhu merupakan sebutan untuk pemuka agama Budha dari aliran Theravada, sementara biksu lebih lazim untuk aliran Mahayana.

Lantunan bacaan dan doa-doa pun kembali mengudara. Pembukanya, kisah agama Budha sejak zaman Kerajaan Majapahit dibacakan dalam bahasa Jawa. Selanjutnya, bacaan dan doa dalam bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan Sanskerta, bergantian.

Prosesi pun berlanjut hingga peringatan detik-detik kelahiran Buddha Gautama, pada pukul 11.13 WIB. Pesan Waisak dan meditasi mendahului peringatan detik-detik peringatan ini.

Kepada Kompas.com, Romo Pandito Sutrisno menjelaskan juga bahwa seusai prosesi di vihara ini umat Buddha di Dusun Ngroto berkeliling ke rumah sesama mereka.

Dalam ajaran Buddha, romo pandito adalah salah satu tingkatan bagi umat yang menjalani pendidikan dan lulus, tetapi tidak berarti harus selalu menuju jenjang menjadi bikhhu atau biksu.

"Lalu, di petang hari, setelah aktivitas warga selesai, warga selain umat Buddha berkeliling ke tempat kami yang merayakan Waisak. Iya, sering disebut Lebaran Waisak," tutur dia.

Jamak salah kaprah dianggap masuk wilayah Kota Salatiga, Getasan—termasuk Sumogawe—antara lain dikenal sebagai sentra susu sapi. Berada di lereng utara Gunung Merbabu, ada 14 vihara di Kecamatan Getasan.

Selamat Waisak 2562.

Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI

https://regional.kompas.com/read/2022/05/16/121042478/tradisi-waisak-di-ngroto-sumogawe-dari-sungkeman-kenduren-sampai-lebaran

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke