Salin Artikel

Kisah Amin Hambali, Mahasiswa Difabel Netra yang Bermimpi Jadi Penulis

Mahasiswa jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) UIN Walisongo Semarang itu bertekad untuk mewujudkan impiannya menjadi seorang penulis.

Hal tersebut Amin, sapaan akrabnya, buktikan dengan aktif berorganisasi di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) MISSI, dan mengikuti beberapa perlombaan.

Bahkan pada awal tahun 2022 ini, dirinya berhasil mendapat juara dalam nominasi cerita pendek (cerpen) paling menyentuh.

Dalam cerpen berjudul "Buah Manis" itu, Amin kisahkan seorang difabel yang berjuang melawan diskriminasi dan stigma negatif masyarakat sekitar.

Dia merangkum kisahnya dan kawan-kawan difabel netra lainnya dalam memperjuangkan hak-hak kehidupan.

"Sudah pernah buat 5-6 cerpen selama berproses di LPM. Tapi baru ini yang dilombakan, Alhamdulillah bisa dapat juara," tutur Amin kepada Kompas.com, Selasa (19/4/2022).

Harus melewati proses yang panjang untuk sampai di titik ini. Pria yang mengidolakan Singgih Hadi Mintardja (SH Mintardja) itu mengaku, sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), dia sudah sering menulis.

Hebatnya, saat ini Amin sudah memiliki sebuah draft novel yang ingin dia terbitkan suatu saat nanti.

"Tapi saya kurang bisa mengoperasikan komputer, kalau melihat layar terus juga matanya tidak kuat," jelas Amin.

Tidak tinggal diam, demi tetap berkarya, Amin memanfaatkan notes handphone miliknya untuk menuangkan ide cemerlangnya.

Sering mendapat diskriminasi

Duduk bersantai dengan memegang tongkat jalan lipat di tangannya, Amin bercerita banyak tentang lika-liku perjalanannya memperjuangkan kehidupan yang ia inginkan.

Sejak bersekolah di bangku Taman Kanak-kanak (TK), Amin kerap mendapat stigma negatif, bully-an, bahkan sering dikucilkan oleh kawan-kawan sebayanya.

Tak hanya itu, Amin juga merasa tidak didukung oleh lingkungan terdekatnya, serta sering mendapat diskriminasi.

Hal-hal itulah yang membuat Amin belum sepenuhnya dapat menerima diri menjadi seorang difabel dalam keterbatasan pengelihatan.

Hingga pada tahun 2014, dua tahun sesudah lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), Amin diarahkan kakaknya untuk pergi ke salah satu balai rehabilitasi tuna netra di Temanggung.

"Dulu bingung mau ngapain, lulus SMA tidak bisa kerja. Sempat disuruh belajar pijat untuk tuna netra. Tapi akhirnya dibawa ke balai rehabilitasi di Temanggung," jelas Amin.

Disitulah akhirnya, Amin dapat menemukan dunia yang dia inginkan. Selain bertemu dengan kawan yang sama-sama memiliki keterbatasan pengelihatan, Amin juga memulai proses penerimaan diri.

Lebih jelas Amin mengatakan, di balai tersebut dirinya pertama kali mengenal tongkat jalan bantu, aplikasi pembaca layar di handphone (talkback), huruf braille, juga komputer berbicara.

"Rasanya seperti terlahir kembali. Karena ketemu temen-temen yang ada di posisi dan punya cerita yang sama. Intinya bisa berdamai dengan segala luka," ucap Amin.

Sementara itu, Amin juga mendapat pelajaran sehari-hari seperti memasak, mencuci, dan menyetrika untuk tuna netra.

Tiga tahun setelah mendapat rehabilitasi, pada tahun 2017, Amin memutuskan untuk keluar dari balai tersebut dan bekerja di salah satu panti pijat di Semarang.

"Tapi disana tidak dapat pendapatan, jadi pindah ke Jepara. Tapi ya sama saja. Memang ini bukan kemampuan dan keinginan saya," tutur Amin.

Amin tak lantas menyerah, dari situ, dirinya berpindah ke Yayasan Sahabat Mata pada tahun 2018 hingga saat ini.

Alasannya, karena di Yayasan Sahabat Mata, Amin lebih bisa mendapat pelajaran digital seperti radio, percetakan Al-Quran braille, hingga komputer bicara.

Bahkan, dirinya bisa berkuliah di UIN Walisongo Semarang berkat bantuan dari pemilik Yayasan Sahabat Mata, Basuki.

"Dulu awalnya 3 bulan belajar komputer disana, malah ditawarin kuliah. Padahal pihak keluarga sudah tidak mendukung, tapi saya pengen tetep jadi penulis, jadi milih jurusan yang sesuai," kata Amin.

Amin menjelaskan, dirinya merupakan satu-satunya anggota Sahabat Mata yang meneruskan pendidikan di bangku perkuliahan.

Meski sering kesulitan menerima materi kuliah secara daring, Amin selalu bertekad untuk segera menuntaskan perkuliahan dan melanjutkan tingkatan kehidupan selanjutnya.

"Nanti ada dua orang nyusul di UIN Walisongo, jadi ada penerusnya. Semoga setelah saya lulus nanti, bisa mendapat pekerjaan dan kehidupan yang layak," pungkas dia.

https://regional.kompas.com/read/2022/04/19/222551078/kisah-amin-hambali-mahasiswa-difabel-netra-yang-bermimpi-jadi-penulis

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke