Salin Artikel

Cerita Nelayan Cilacap Hadapi Masa Paceklik, Terpaksa Gali Lubang Tutup Lubang untuk Menyambung Hidup

Ia lebih banyak duduk-duduk di sekitar tempat pelelangan ikan (TPI) yang sepi tak ada aktivitas.

Sejauh mata memandang, di seberang TPI hanya terlihat ratusan perahu bersandar berjajar rapi di atas pasir pantai.

Sesekali Sudiono juga berbagi cerita dengan nelayan lainnya di gubuk tepi pantai yang dikelilingi pepohonan rindang.

Sudiono mengaku, beberapa kali mencoba peruntungan melaut. Namun hasil yang didapat jauh dari harapan.

"Senin kemarin (4/4/2022) berangkat, kosong, enggak dapat apa-apa," keluh Sudiono saat ditemui di TPI Teluk Penyu, Rabu (6/4/2022).

Uang yang diambil dari tabungan sebanyak Rp 150.000 untuk biaya operasional melaut pun tak kembali.

"Daripada enggak dapat ikan, mending uang yang ada buat makan sehari-hari," kata Sudiono setengah menyesal.

Sekali melaut, Sudiono, harus mengeluarkan modal paling tidak Rp 150.000. Uang tersebut digunakan untuk membeli bensin dan perbekalan selama melaut.

Kondisi serupa dialami Sadi (41), nelayan lainnya di Teluk Penyu. Sejak beberapa bulan ini ia jarang melaut.

Sadi dan Sudiono terpaksa harus gali lubang dan tutup lubang untuk sekadar menyambung hidup.

"Biasa gali lubang tutup lubang, hutang sana hutang sini," ucap Sadi yang disambut tawa Sudiono.

Bisnis jual beli ikan yang digeluti istri Sadi juga sama lesunya. Pasalnya hasil laut yang didapat nelayan sangat terbatas.

"Orang sini rata-rata ke laut semua, enggak ada yang punya usaha di darat," kata pria berkulit sawo matang ini.

Ketua Kelompok Nelayan Pandanarang, Tukimin mengatakan, nelayan setempat menyebut kondisi ini sebagai masa paceklik.

Tak hanya Sadi dan Sudiono, masa sulit ini juga dihadapi seluruh anggota Kelompok Nelayan Pandanarang yang berjumlah 1.049 orang.

Pria yang akrab disapa Goming ini mengungkapkan, sejak bulan September 2021 hasil laut yang didapat para nelayan sangat terbatas.

"Lagi paceklik, dari September mulai enggak ada apa-apa. Padahal biasanya September sampai Desember itu sedang bagus-bagusnya," kata Goming.

Kondisi alam, menurut Goming, menjadi faktor utama penyebab paceklik.

"Hujan terus-terusan, banjir juga. Kalaupun di sini enggak hujan, tapi sungai-sungai besar banjir, sampah masuk laut semua," kata Goming.

Saat ini angin barat daya juga menjadi momok yang ditakuti nelayan. Kondisi di tengah lautan menjadi tak terduga.

"Sekarang kalau berangkat (melaut) paling dapatnya ikan Belo, bisa dapat 50 kilogram, tapi harganya cuma Rp 2.000 per kilogram," ujar Goming.

Ikan bawal putih yang biasanya menjadi favorit perburuan para nelayan karena harganya tinggi, kini seperti hilang di lautan.

"Kalau sedang bagus sekali berangkat dari pukul 03.00 WIB atau 04.00 sampai siang bisa dapat Rp 500.000. Kalau sekarang untuk operasional saja enggak nutup" kata Goming.

Goming menceritakan, sejatinya penghasilan nelayan setempat berkurang tidak hanya pada masa paceklik saja. Sejak beberapa tahun terakhir, hasil tangkapan mulai berkurang.

"Bagus-bagusnya itu terakhir tahun 2015 atau 2016, setelah itu...," ujar Goming.

Namun di tengah kesulitan yang dihadapi, para nelayan masih menyimpan asa.

Saat datang musim kemarau, kondisi laut diharapkan lebih bersahabat dengan nelayan. "Mudah-mudahan nanti mulai Juni cuaca membaik," harap Goming.

https://regional.kompas.com/read/2022/04/08/075020678/cerita-nelayan-cilacap-hadapi-masa-paceklik-terpaksa-gali-lubang-tutup

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke