Salin Artikel

Cerita Nelayan Kendal, Hidup Pas-pasan, Bahkan untuk Makan Kurang

Sebagian besar perahu itu sudah ditinggal oleh pemiliknya untuk istirahat di rumah. Sebab para nelayan tersebut baru pulang dari melaut, dan akan kembali berangkat mencari ikan pada sore hari.

Kompas.com kemudian mendekati seorang lelaki tua, yang duduk di teras rumah terletak di pinggir kali.

Lebar rumah itu sekitar 4 meter, dan tinggi lantai rumah dengan jalan, sekitar 50 sentimeter. Mata lelaki berkulit legam itu, menatap tajam beberapa perahu yang bersandar di depannya.

“Siang, Pak. Boleh saya ikut duduk,” tanya Kompas.com. Lelaki itu mengangguk sambil tersenyum, dan berkata ”Silakan, Mas.”

Kompas.com pun kemudian duduk berdampingan, lalu saling memperkenalkan diri. Lelaki itu, bernama Achmad (65), beranak 3 dan bercucu 1.

“Cucu itu dari anak pertama hasil dari perkawinan istri pertama. Dari istri kedua ini, anak saya 2, yang besar sudah duduk di bangku SMK, yang kecil kelas III SD,” kata Achmad.

Achmad, mengaku sejak menikah dengan istri ke-2, ia berprofesi sebagai nelayan. Sebelumnya, bekerja serabutan.

“Saya menikah dengan istri ke-2 sudah sekitar 19 tahun lalu. Sejak itu, saya jadi nelayan, karena hidup di kampung nelayan dan punya mertua nelayan,” ujar Achmad sambil tersenyum.

Achmad menceritakan, dirinya tidak mempunyai perahu sendiri untuk melaut. Ia ikut orang (juragan) yang mempunyai kapal jaring. Ada 16 orang selain dirinya, yang ikut kapal jaring tersebut.

“Kemarin kami sempat melaut, tapi setelah sampai tengah pulang. Sebab jangkar kapal tidak kuat untuk menahan kapal supaya tidak jalan. Arusnya kencang,” aku Achmad.

Achmad menceritakan, selama menjadi nelayan hidupnya pas-pasan, bahkan bisa dikatakan kurang untuk makan sehari-hari. Beruntung, ia mempunyai istri yang gigih, mau membantu mencari uang dengan cara berjualan ikan keliling.

“Pendapatan saya sebagai nelayan yang ikut orang lain, tidak menentu. Kadang membawa pulang Rp 50.000, kadang Rp 200.000, kadang tidak dapat penghasilan karena batal melaut,” kata Achmad.

Achmad menjelaskan, dirinya bersama rombongan biasa berangkat mencari ikan pada sore hari, dan pulangnya pagi hari.

“Kebanyakan nelayan sini menggunakan perahu mesin tempel. Mereka berangkat subuh, dan pulangnya siang. Seperti itu,” ujar Achmad, sambil menunjuk nelayan yang baru pulang melaut.

Spontan, Kompas.com melihat perahu yang ditunjuk oleh Achmad. Terlihat seorang lelaki dengan wajah tertutup "topi ninja" mengemudikan perahu.

Terdengar dari suara mesinnya yang semakin mengecil, ia memperlambat laju perahunya karena mau bersandar.

Benar, perahu itu langsung menepi, kemudian lelaki itu memegang tali, dan tangan satunya menjangkau tonggak bambu di pinggir sungai. Perahu berhenti, kemudian pemilik perahu tersebut mengikatkan tali yang dipegang.

Beberapa saat kemudian, setelah perahu bersandar, Kompas.com, pamit kepada Achmad, dan berjalan ke arah perahu tersebut.

Harus lewat jembatan yang terbuat dari bambu, untuk bisa ke perahu yang baru bersandar itu. Setelah sampai, Kompas.com menyapa kepada lelaki yang berada di perahu. “Assalamualaikum, Pak. Banyak tangkapan ikannya ?”

Yang disapa menengadah menatap Kompas.com, kemudian menjawab, “Alhamdulillah.”

Setelah itu, kami berkenalan. Nelayan yang baru pulang tersebut mengaku bernama Toha (34), warga RT 01 RW 04, Kelurahan Bandengan.

Sambil memilah-milah ikan hasil tangkapan, Toha, bercerita sudah sejak remaja dirinya menjadi nelayan. Selama menjadi nelayan, bapak beranak 2 itu, hidupnya pas-pasan.

“Tapi saya lebih beruntung karena punya kapal sendiri, hasilnya dinikmati sendiri,” ujar Toha.

Toha mengaku, mempunyai perahu dari ayahnya yang dulu juga nelayan. Ikan yang biasa tangkap dari laut, jenis cumi dan udang. “Ada juga rucah (campuran dari beberapa ikan),” kata Toha.

Toha mengaku, jumlah ikan yang ia bawa pulang jumlahnya tidak menentu. Kadang bisa membawa pulang cumi 10 kilogram, kadang sampai 40 kilogram.

Harga cumi per kilonya, saat ini Rp 35.000. Sedang sekali jalan, setidaknya ia membutuhkan solar 10 liter dan bekal makanan, serta rokok. “Kapal saya menggunakan 2 mesin,” jelas Toha.

Menurut Toha, nelayan Bandengan tidak kesulitan mencari BBM. Selain ada Pom BBM khusus untuk nelayan, juga bisa membeli solar di POM bensin umum.

Syaratnya, mendapat rekomendasi dari Dinas Kelautan Kendal. “Saat ini BBM masih mudah,” kata Toha.

80 persen nelayan Kendal masuk strata ekonomi menengah bawah

Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kendal, Triyono, mengatakan dari data terakhir yang ia punya, jumlah nelayan di Kabupaten Kendal sekitar 19.000 orang.

Mereka tinggal di Bandengan Kendal, Gempolsewu Rowosari, Pidodo Cepiring, dan lainnya. Dilihat dari strata ekonomi, sekitar 80 persen nelayan Kendal, masuk kalangan menengah ke bawah.

“Sebanyak 20 persen menengah atas. Mereka adalah juragan pemilik kapal,” kata Triyono.

Triyono mengaku, saat ini ada bantuan uang Rp 600.000 dari pemerintah untuk nelayan. Tapi tidak semua nelayan mendapat bantuan itu.

“Data diserahkan ke RT. Mungkin yang tidak mendapat itu, mereka sedang di tengah laut,” ujar Triyono.

Menurut nelayan, cuaca akhir-akhir ini cukup bagus untuk nelayan mencari ikan di laut. Sebab ombaknya tidak tinggi.

“Kalau pekan kemarin, perahu kecil tidak berani berangkat karena ombaknya besar,” aku Triyono.

Apa yang dikatakan Triyono dibenarkan Kordinator Observasi dan Informasi Stasiun Meteorologi Maritim Tanjung Emas Semarang, Ganis Erutjahjo.

Dihubungi lewat telepon, Ganis menjelaskan cuaca di laut Pantura sangat mendukung nelayan Pantura untuk mencari ikan. Setidaknya, sampai 8 April nanti, ombak tidak begitu tinggi. “Paling tinggi 0,5 meter,” ujar Ganis.

Sementara itu, Plt Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kendal, Hudi Sembodo, mengatakan hasil tangkapan ikan nelayan Kendal sudah mulai membaik.

Hal ini didukung oleh cuaca yang juga baik. Hampir semua nelayan, kini sudah mulai berangkat mencari ikan di laut.

“Setiap nelayan Kabupaten Kendal, kami beri surat untuk bisa membeli solar di POM. Tapi tetap ada pembatasan. Mereka yang mempunyai perahu 1 mesin, kami jatah 10 liter. Kalau 2 mesin 20 liter,” pungkas Hudi.

https://regional.kompas.com/read/2022/04/07/055243678/cerita-nelayan-kendal-hidup-pas-pasan-bahkan-untuk-makan-kurang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke