Salin Artikel

Sengkarut Bantuan Rumah Gempa di Lombok, Masih Ada Warga yang Tinggal di Tenda dan Pematang Sawah

Meski sudah empat tahun berlalu, ternyata masih ada masyarakat yang terkatung-katung menanti bantuan.

Mereka tinggal di tenda dan bahkan pematang sawah karena belum tersentuh bantuan rumah tahan gempa (RTG) yang dijanjikan oleh pemerintah.

Setidaknya ada ratusan Kepala Keluarga (KK) yang masih belum menerima bantuan RTG di Desa Sintung, Kabupaten Lombok Tengah.

Penjelasan Kepala BPBD

Menanggapi adanya warga yang belum mendapatkan bantuan, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lombok Tengah Ridwan Ma’aruf mengungkapkan, bahwa ada beberapa persoalan.

Imbasnya, nama sejumlah korban tidak keluar sebagai penerima bantuan, salah satunya saat melakukan pendataan korban.

“Kalau ada masyarakat yang mengaku-aku seperti itu, perlu ditelusuri, dia dulu didata lewat mana, kapan didata, masuk data atau tidak, terakomodir atau tidak,” kata Ridwan, Senin (28/3/2022).

Menurutnya, pendataan dilakukan mulai dari tingkat dusun, desa, kecamatan dan kemudian di posko kabupaten.

Selanjutnya ada proses validasi, ditandatangani oleh bupati, dan diusulkan ke pemerintah pusat.

Sebab, tidak semua usulan nama yang diajukan dapat diterima.

“Jadi kan data itu diusulkan, sekarang kita minta uang ke pusat, pusat ini kan tergantung uangnya ada atau tidak, jadi kita minta jadi usulan kita yang begitu banyak itu tidak bisa direalisasikan semua, dan yang menentukan dapat atau tidak itu bukan kita,” ungkap Ridwan.

Pada awal Maret 2022, pihaknya telah memberikan laporan pertanggungjawaban (LPJ) Dana Siap Pakai (DSP) bantuan stimulan korban bencana gempa 2018 pada pemerintah provinsi.

Menurutnya, hal tersebut menandakan tidak ada bantuan lagi terkait RTG.

“Sekarang program bantuan RTG itu sudah tidak ada, sudah final SPJ laporan pertanggungjawaban audit keuangan sudah dari pusat sudah selesai, tidak ada yang bicara RTG,” tegas Ridwan.

Adapun Jumlah LPJ kelompok masyarakat (Pokmas) yang diserahkan sebanyak 1.764 buku dengan jumlah KK 26.370 yang terdiri dari rusak berat sebanyak 480 buku LPJ dengan 5.133 KK.

Kemudian rusak sedang sebanyak 304 buku LPJ dengan 3.734 KK, dan rusak ringan sebanyak 980 buku LPJ dengan 17.503 KK. 

Dia menjelaskan, warga yang belum mendapatkan bantuan RTG ini, agar dapat diusulkan di program Rumah Tidak Layak Huni (RTLH ) dari Dinas Perumahan dan Permukiman Kabupaten Lombok Tengah.

Ada yang masih tinggal di tenda

Sebelumnya, Sekretaris Desa Sintung Karyadi mengakui ada ratusan Kepala Keluarga (KK) korban gempa yang belum mendapatkan bantuan Rumah Tahan Gempa (RTG), termasuk keluarga Junaidi.

“Di desa kami ada sekitar 300 KK yang belum mendapatkan bantuan, termasuk yang paling parah saat ini ada tiga keluarga yang masih tinggal di tenda,” kata Karyadi dihubungi melalui sambungan telepon.

Karyadi menyebutkan bahwa pihak desa pernah melakukan pendataan dan mengusulkan ke pemerintah kabupaten agar ratusan KK tersebut mendapatkan bantuan, namun hingga kini belum ada tanggapan.

“Terkadang warga juga sudah jenuh, kita terus minta KTP, KK segala macam untuk didata, tapi apa yang kita usulkan ke Pemkab itu sampai sekarang belum ada respons,” kata Karyadi.

“Kalau kesalahan di mana kami juga tidak tahu, kami hanya mengusulkan ke pemerintah atasan, ini warga kami yang belum mendapatkan bantuan, tapi sampai hari ini tidak ada informasi,” kata Karyadi.

Halimah terpaksa tnggal di pematang sawah

Halimah (50) merupakan salah satu warga Desa Sintung yang belum menerima bantuan rumah setelah empat tahun gempa Lombok berlalu.

Kini ia terpaksa tinggal digubuk reyot karena tempat tinggal lamanya rusak parah akibat gempa berkekuatan magnitudo 7,0 kala itu.

Halimah tinggal bersama suami Junaidi (50) dan seorang anak laki-laki yang saat ini masih duduk di kelas 2 Sekolah Menengah Atas (SMA).

Kondisi rumah yang rusak parah tersebut membuat Halimah  dan keluarga masih bertahan dengan kehidupan yang serba terbatas.

Tampak dari kejauhan bangunan rumah memanjang sekitar lima meter di tengah sawah dengan tiang-tiang terbuat dari pohon turi dan bambu.

Sementara sebagai dinding, Halimah memasang karung, beberapa seng bekas, dan atapnya juga terbuat dari seng bekas yang sudah berkarat dengan campuran ilalang yang suah lapuk.

Di dalamnya, tempat tidur Halimah bersama suami dibuat terpisah membelah pematang sawah.

Ranjang tidurnya dibuat menyerupai bangku yang hanya muat pas dengan badan Halimah dan suami.

Dari samping dan atas tempat tidurnya, sejumlah perabotan dan kebutuhan rumah tampak begelantungan, seperti panci, arit, minyak goreng dan lainnya menjadi satu dengan tempat tidurnya.

Sementara dalam rumah tersebut, terdapat satu kamar tidur yang dikhususkan untuk anaknya.

Halimah menuturkan, hampir setiap malam kakinya kesemutan, karena tempat tidurnya tersebut sangat kecil, tidak sesuai dengan panjang tubuhnya. Dia juga mengaku kesulitan jika saat tidur harus berbalik badan.

“Hampir setiap malam kaki saya kesemutan, karena tidurnya tidak bisa terlentang kondisi begini (tempat tidur) pendek mas,” ungkap Halimah kepada Kompas.com.

Ibu tiga anak ini mengaku, ia memiliki kompor gas, namun sudah delpan bulan tidak menggunakannya karena tidak memiliki uang untuk membeli elpiji.

Halimah memilih memasak menggunakan tungku dengan memanfaatkan kayu bakar di tepi sungai.

Saat musim penghujan tiba, rumah yang ia tempati terkadang bocor, dan dinding berlapiskan karung basah terkena percikan hujan.

Saat hendak buang air besar, ia harus pergi ke sungai dengan menggunakan payung.

Hanya didata

Halimah mengatakan, banyak petugas yang telah mendatangi dirinya untuk meminta foto KTP dan KK. Keluarganya dijanjikan untuk mendapatkan bantuan, namun sejauh ini ia tidak pernah mendapatkan bantuan rumah gempa yang diharapkan.

“Sudah beberapa orang ke sini terus foto-foto rumah, KTP, KK, tapi sampai sekarang kondisi tetap tinggal di sawah, bahkan sudah mulai empat kali puasa di sini,” kata Halimah.

Sementara itu, Junaidi sang suami mengatakan hal serupa bahwa dirinya kerap didatangi petugas menyurvei rumahnya yang rusak.

“Banyak yang suah survei, tapi lagi-lagi jawabannya nama kita tidak ada dalam daftar penerima bantuan,” ungkap Junaidi.

Kini Junaidi hanya bisa pasrah dan tetap bertahan di pematang sawah bersama anak dan istrinya, dengan pekerjaan bertani dan buruh serabutan.

“Mau berbuat apa lagi, kita pergi jadi buruh tani, kadang kalau ada pekerjaan bangunan ikut, ya untuk nyambung hidup sehari-hari,” kata Junaidi.

Junaidi mengatakan, saat ini ia belum memiliki uang pribadi untuk memperbaiki rumahnya yang rusak. Dia berharap  pemerintah daerah maupun pusat agar memperhatikan kondisinya.

“Semoga pemerintah, mendengarkan memperhatikan kondisi kita, terketuk hatinya untuk membantu,” kata Junaidi.

https://regional.kompas.com/read/2022/03/28/155807078/sengkarut-bantuan-rumah-gempa-di-lombok-masih-ada-warga-yang-tinggal-di

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke