Salin Artikel

Demi Sekolah, Anak Buruh Migran di Malaysia Rela Daki Bukit hingga Dikejar Beruang

Salah satu anak PMI tersebut adalah Yoseph Sius Rewo (17).

Bocah dari Ende Nusa Tenggara Timur (NTT) ini tinggal di Ladang Bagahak 1 Sabah Malaysia dan bersekolah di Community Learning Centre (CLC) Permai.

Tantangan jarak dan kondisi jalanan yang masih dipenuhi bebatuan tidak pernah menyurutkan semangatnya untuk bersekolah.

"Meski orangtua kurang berpendidikan, anaknya selalu ditekankan untuk terus sekolah. Nasehat itu keluar saat peluh membasahi badan di sela waktu istirahatnya. Itu menjadi motivasi dan semangat kami untuk terus sekolah apa pun kondisinya," ujar Yoseph, Kamis (10/2/2022).

Yoseph selalu bangun di pagi buta, menaiki sepeda motornya untuk menempuh jalanan yang lumayan sulit.

Tak hanya sekali sepeda motornya rusak di tengah jalan, ular kobra dan sanca menjadi pemandangan umum yang biasa dilihat ketika berangkat sekolah.

"Sering terlambat masuk sekolah karena motor rusak. Jalanan baru dibuka dan banyak sekali batu batu. Kalau rusak, saya tinggal di pinggir jalan, lanjut jalan kaki ke sekolah. Biasa kalau naik motor sampainya sekitar satu setengah jam ke sekolah," lanjutnya.

Guru guru di CLC tempatnya belajar juga tidak pernah menanyakan alasan ia terlambat. Semua tahu sulitnya medan dan tantangan yang harus dilalui.

Asal ia bisa masuk sekolah, guru-guru akan dengan senang hati memberinya pengajaran.


Daki bukit terjal dan dikejar binatang buas

Di perkampungan Bagahak, Yoseph dan orangtuanya tinggal, tidak ada sinyal internet.

Mereka hanya memiliki televisi sebagai hiburan, sementara Yoseph yang tidak terlalu suka menonton, lebih memilih bermain video game offline di ponsel.

"Banyak rumah di Bagahak, tapi jaraknya berjauhan. Makanya kita jarang bermain dengan teman, jadi lebih memilih main hp offline kalau sudah mengulang pelajaran," tuturnya.

Kendala sinyal, menjadi tantangan lain bagi Yoseph, apalagi saat kebijakan sekolah daring.

Ia yang tinggal di areal milik perusahaan, pagi-pagi harus menanak nasi, menyiapkan bekal untuk mendaki bukit terjal yang dinamakan warga setempat Bukit Kijang.

Jarak antara rumah Yoseph dan Bukit Kijang sekitar 1,5 jam. Ia akan berangkat mengendarai sepeda motor, memarkirkannya di bawah bukit, lalu mendaki dengan membawa ransum bersama teman temannya.

"Kita membangun gubuk diatas bukit. Kita tebang pohon, atap dan dindingnya daun kelapa. Lumayan besar gubuknya, bisa menampung sepuluh orang. Di sana kita selalu belajar daring," katanya.

Sinyal di atas bukit Kijang cukup stabil, hanya saja, ancaman binatang buas menjadi perhatian tersendiri.

"Seringkali beruang datang, kami langsung kabur turun bukit. Nanti bergantian memantau beruangnya sudah pergi atau belum, baru kita kembali mendaki, lanjut belajar daring," lanjut Yoseph.

Selain Beruang, gajah juga sering melintas lokasi tersebut. Yoseph dan teman temannya akan lari sejauh jauhnya sampai kawanan gajah pergi meninggalkan lokasi belajar mereka.

"Di gubuk itu sinyal paling bagus. Di puncak bukit memang, jadi kalau Beruang atau Gajah datang, ya menghindar saja. Ketimbang mencari lokasi lain yang belum tentu sinyalnya stabil," katanya.

Yoseph menjadi salah satu pelajar SMP yang menerima beasiswa repatriasi yang dikirim melalui Pelabuhan Tunon Taka Nunukan, Rabu (9/2/2022).

Ia akan melanjutkan sekolah di SMA Santo Gabriel Nunukan Kaltara. Yoseph sudah berjanji akan bersungguh sungguh menempuh pendidikan dan tidak mau mengecewakan orang tuanya.

"Saya ingin jadi Polisi. Orangtua saya berkeinginan seperti itu, dan kebetulan saya suka dengan Polisi sejak kecil," katanya.

https://regional.kompas.com/read/2022/02/10/164854378/demi-sekolah-anak-buruh-migran-di-malaysia-rela-daki-bukit-hingga-dikejar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke