Salin Artikel

Kesusastraan Jawa: Jenis dan Contohnya

Hutomo (1975) dalam Telaah Kesusastraan Jawa Modern menyebutkan bahwa kesusastraan Jawa termasuk kesusastraan tua di Indonesia. Kesusastraan ini sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan dan masih berlangsung hingga era modern.

Sastra berkembang dengan kemunculan sastrawan atau pujangga yang dilahirkannya. Begitu pula dengan kesusastraan Jawa yang melahirkan pujangga besar di masa lalu.

Pada zaman setelah Islam misalnya. Kesusastraan Jawa yang terpengaruh Islam turut dikembangkan oleh Wali Songo, mulai dari Sunan Giri hingga Sunan Kalijaga. Karya sastra pada zaman ini antara lain suluk, syairan, kidung, primbon, hingga hikayat.

Kesusastraan Jawa terus berkembang pada masa Mataram Islam, hingga kerajaan terbesar di Jawa itu pecah menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.

Di Kasunanan Surakarta terdapat pujangga-pujangga besar yang terkenal seperti Kyai Yasadipura I, Kyai Yasadipura II, Kyai Sindusastra, hingga Raden Ngabehi Ranggawarsita.

Jenis-jenis Kasusastraan Jawa

Kasustraan Jawa sangat banyak jenisnya. Ada yang berbentuk puisi, hingga tembang atau lagu. Fungsinya pun beragam, ada yang murni untuk seni atau bahkan dijadikan media sindiran untuk pihak tertentu.

Berikut jenis-jenis kasusastraan Jawa beserta contohnya:

1. Parikan

Parikan dapat diartikan sebagai pantun. Parikan terdiri dari dua bagian, pertama sampiran atau penentu suara. Fungsinya untuk menarik perhatian. Sementara bagian kedua berupa isi dari sampiran tersebut.

Parikan memiliki dua jenis. Pertama parikan tunggal yang terdiri dari dua gatra saja. Kedua parikan rangkep atau ganda yang terdiri dari empat gatra.

Parikan digunakan masyarakat Jawa dalam berbagai hal seperti sebagai sindiran, ekspresi kesedihan, kontrol sosial, hingga sebagai nasihat pendidikan.

Berikut contoh parikan tunggal dan parikan jangkep:

Manuk kutut manggunge ngganter
Yen ora nurut isa keblinger
(Burung perkutut berkicau kencang / kalau tidak nurut bisa tersesat)

Omah gentheeng saponono
Cagak pilar kapuren putih
Abot entheng lakonono
Ati susah bakale pulih
(Rumah genteng sapukan / tiang pilar dicat putih // Berat ringan lakukan / hati susah bakal pulih//)

2. Wangsalan

Wangsalan merupakan rangkaian kata yang digunakan untuk menyampaikan pesan secara simbolik. Wangsalan berisi kalimat tebak-tebakan, namun jawabannya tersandikan dalam kode-kode kata.

Wangsalan bisa berupa satu kalimat, bisa juga berupa tembang yang terdiri dari dua bait.

Berikut beberapa contoh wangsalan:

Roning mlinjo, sampun sayah nyuwun ngaso (roning mlinjo: so-dadi ngaso)
Jenang gula, kowe aja lali (Jenang gula: glali-dadi aja lali)
Kembang jambu, kemaruk nduwe dolanan anyar
(Kembang jambu: karuk-dadi kemaruk)

3. Purwakanthi

Purwankanthi adalah majas yang berupa ulangan bunyi awal pada kata yang berurutan. Purwakanthi banyak ditemukan dalam puisi Jawa.

Purwakanthi terbagi dalam tiga jenis, yaitu guru swara, guru sastra, dan lumaksita.

Contoh purwakanthi:

Ana bungah, ana susah iku wis lumrah (ada senang, ada susah itu sudah biasa)
Becik ketitik, ala ketara (baik dan buruk akan terlihat)
Ana awan, ana pangan (ada awan, pasti ada makanan)

4. Cangkriman

Sama seperti wangsalan, cangkriman juga merupakan susunan kalimat yang berupa tebak-tebakan. Hanya saja, cangkriman tidak menyertakan kode jawaban sehingga harus ditebak oleh pendengar.

Contoh cangkriman:

Ana gajah numpak becak, ketok apane? - ketok mbujuke (ada gajah naik becak, kelihatan apanya? - kelihatan bohongnya)
Dikethok malah duwur, apa? - celana (dipotong malah tinggi, apa? - celana)

Sumber:
Buku Kawruh Basa Jawa, Angger Maulana dan Abi Tofani
Buku Telaah Kesusastaan Jawa Modern, Suripan Sadi Hutomo (1975)
blasemarang.kemenag.go.id

https://regional.kompas.com/read/2022/01/10/114925378/kesusastraan-jawa-jenis-dan-contohnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke