Salin Artikel

5 Tradisi Unik di JawaTengah, Perang Lumpur hingga Anak Cucu Berjalan di Bawah Peti Jenazah

KOMPAS.com - Upacara adat yang merupakan tradisi masyarakat Jawa Tengah berkaitan
dengan hubungan kemasyarakatan dan sang Pencipta.

Tradisi dilakukan untuk menjaga kerukunan warga, menghindari kesusahan batin,
maupun mewarisi nilai-nilai luhur para leluhur.

Berikut tradisi di masyarakat Jawa Tengah:

1. Tradisi Ruwatan

Tradisi Ruwatan adalah salah satu bentuk ritual penyucian. Ruwat berasal dari istilah Ngaruati
yang memiliki makna menjaga kesialan Dewa Batara.

Sampai saat ini, tradisi ini dilestarikan oleh masyarakat Demak.

Tradisi Ruwatan juga untuk melestarikan ajaran Kanjeng Sunan Kalijaga dan digunakan bagi
orang Nandang Sukerto atau berada dalam dosa.

Meruwat bisa berarti mengatasi atau menghindari sesuatu kesusahan batin dengan cara mengadakan pertunjukkan atau ritual.

Umumnya, ritual tersebut menggunakan media wayang kulit yang mengambil cerita Murwakala.

Upacara Ruwatan biasanya dilakukan orang Jawa ketika mengalami kesialan hidup.

Masalah kehidupan tersebut, seperti anak sedang sakit, anak tunggal yang tidak memiliki adik atau kakak, terkena sial, jauh jodoh, susah mencari kehidupan, dan lain sebagainya.

2. Tradisi Syawalan

Tradisi syawalan merupakan tradisi masyarakat di Kota Pekalongan, khususnya masyarakat Daerah Krapyak, bagian utara Kota Pekalongan.

Tradisi ini dilakukan setiap hari ketujuh (8 Syawal) sesudah Hari Raya Idul Fitri.

Asal mula tradisi Syawalan ini, supaya dapat membuat acara 'open house' setelah
tidak menerima tamu pada 2-7 Syawal.

Pada 8 Syawal, masyarakat saling mengunjungi, baik dari luar desa maupun kota.

Tradisi ini berkembang dari masa ke masa hingga sekarang.

Yang menarik dari tradisi ini adalah adanya Lopis Raksasa dengan tinggi 2 meter, diameter 1,5 meter, dan beratnya bisa mencapai 1000 kg atau lebih 1 kuintal.

Setelah melakukan doa bersama, lopis akan dipotong oleh Walikota Pekalongan lalu dibagi-bagikan kepada pengunjung.

Pembuatan Lopis Raksasa dimaksudkan untuk mempererat tali silaturahmi. Hal ini, identik dengan sifat lopis yang lengket.

3. Tradisi Nyadran

Tradisi Nyadran merupakan tradisi yang dilakukan di bulan Sya'ban atau menjelang bulan ramadan. Kata Nyadran berasal dari kata 'Sraddaa' yang bermakna keyakinan.

Tradisi yang dilakukan masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta dimaksudkan untuk membersihakan makam orang tua dan leluhur, membuat dan membagikan makanan tradisional, dan berdoa atau selamatan di area makam.

Dalam tradisi Jawa bulan ramadan disebut juga bulan ruwah, sehingga Nyadran disebut juga acara ruwah.

Bagi masyarakat Jawa, Nyadran merupakan tradisi yang penting. Pasalnya, para pewaris tradisi ini menjadikan Nyadran sebagai momentum untuk menghormati para leluhur dan ungkapan syukur kepada Sang Pencipta.

Di beberapa daerah di Jawa, masyarakat membersihkan makam sambil membawa makanan hasil bumi yang disebut sadranan. Lalu, mereka akan makan bersama-sama di atas daun pisang.

Namun, tradisi Nyadran di setiap daerah di Jawa berbeda-beda. Di Muntilan, Jawa Tengah, masyarakat tidak membawa sadaran (makanan hasil bumi) ketika membersihkan makam.

4. Tradisi Popokan

Tradisi ini merupakan upacara adat lempar lumpur di Dusun Sendang, Kecamatan Bringing, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Dilansir dariejournal.undip.ac.id, Laporan Budaya berjudul Popokan: Tradisi Perang Lumpur di Tradisi Desa Sendang Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang oleh Muh Hafidz disebutkan bahwa tradisi ini dilakukan laki-laki yang masih muda.

Mereka saling melempar lumpur satu sama lain di pesawahan desa.

Tradisi ini dilakukan pada Agustus, tepatnya Jumat Kliwon, atau September sesuai masa panen. Tradisi dilakukan setelah acara kirap, tepatnya pukul 15.00 - 15.30 WIB.

Tradisi Popokan merupakan tradisi turun temurun yang masih dilakukan sampai saat ini.

Tradisi ini muncul berdasarkan kesepakatan warga Desa Sendang lalu menjadi tradisi Desa Sendang.

Tradisi dimulai dengan pembersihan mata air atau sendang pada Kamis sore. Setelah shalat Jumat, warga membawa ambeng atau nasi yang bentuknya mirip gunungan dan jajan pasar ke rumah bayan (pengurus kampung) untuk selamatan.

Setelahnya, masyarakat menuju perbatasan desa untuk melakukan kirap dan tradisi Popokan.

5. Tradisi Brobosan

Tradisi Brobosan adalah tradisi ketika jenazah yang meninggal diangkat lalu anak cucu yang meninggal secara beriringan menerobos atau melewati jenazah yang diangkat.

Tradisi ini dimulai dengan anak tertua sampai cucu-cucu dengan cara menunduk di bawah keranda jenazah.

Kemudian, mereka mengelilingi jenazah sebanyak 3 sampai 7 kali searah jarum jam.

Makna tradisi ini adalah penghomatan terakhir dari keluarga yang masih hidup kepada jenazah.

Masyarakat Jawa meyakini bahwa nilai-nilai luhur almarhum akan turun kepada anak cucu.

Sumber: tourism.pekalongankota.go.id, menpan.go.id, ejournal.undip.ac.id, antaranews, dan
pariwisata.demakkab.go.id.

https://regional.kompas.com/read/2022/01/05/210330278/5-tradisi-unik-di-jawatengah-perang-lumpur-hingga-anak-cucu-berjalan-di

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke