Salin Artikel

Menanti Perubahan Besar di Balik Aksi Anak Muda Bantu Lindungi Remaja dengan Edukasi Seksual di NTT

KUPANG, KOMPAS.com – Waktu sudah menunjukkan pukul 17.57 Wita, saat Mariana Yunita Hendriyani Opat, 29, tampak berulang kali mendekatkan wajahnya ke layar handphone, Sabtu (23/10/2021).

Tak berselang lama, dia mulai berbicara dengan mengarahkan pandangan fokus ke arah kamera.

Tata, begitu Mariana akrab disapa, saat itu tengah memerankan diri sebagai moderator dalam acara diskusi yang diadakan secara daring lewat layanan live Instagram.

Diskusi itu diselenggarakan oleh Youth Community Tenggara sebagai bagian dari program Bacarita Kespro.

Tenggara sendiri adalah komunitas yang didirikan Tata bersama salah seorang rekannya pada 30 Agustus 2016.

Tenggara dibentuk dengan fokus mengawal isu hak kesehatan seksual dan reproduk anak dan remaja di NTT.

Setelah menyapa lebih kurang 20 pengguna akun Instagram yang telah bergabung, perempuan asal Kiupukan, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), NTT itu pun giliran memersilakan dua orang narasumber untuk memberi materi.

Diskusi saat itu diarahkan untuk membahas tema “Akses Layanan Kesehatan Mental di Kota Kupang”.

Hadir sebagai narasumber adalah Ima Kulata yang bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit di Kota Kupang, dan Agnestiani Mbeo yang merupakan seorang konselor kesehatan mental di NTT.

Tata menyebut, tema tersebut dipilih karena tidak bisa dipungkiri bahwa pasti ada di antara anak muda atau remaja di Kota Kupang khususnya atau di NTT pada umumnya yang memiliki masalah dengan kesehatan mental.

Masalah tersebut bisa jadi muncul akibat adanya masalah dengan pasangan, persoalan di sekolah, termasuk dampak kekerasan seksual yang pernah dialami.

Tenggara ingin membantu anak muda atau remaja yang mungkin masih bingung mau melakukan apa atau harus ke mana ketika merasa mengalami stres, depresi, atau bahkan ingin bunuh diri.

“Teman-teman pernah punya masalah enggak sih dengan akses layanan kesehatan mental? Kalau ada, boleh komen ya. Selama proses Bacarita Kespro, teman-teman sangat boleh bertanya ke narasumber,” ujar Tata mengawali diskusi yang disiarkan lewat akun Instagram @Tenggarantt.

Pandemi Covid-19 nyatanya tak menyurutkan semangat Tata bersama rekan-rekannya di komunitas Tenggara untuk tetap menjangkau anak-anak dan remaja dari berbagai daerah di NTT.

Tak habis akal, ketika wabah menuntut siapa saja harus menjaga jarak, Tenggara lantas memanfaatkan media sosial (medsos) untuk menggelar Bacarita Kespro.

Tenggara juga beberapa kali telah berhasil menggelar webinar dengan membuka peserta dari muda-mudi NTT.

Sebelumnya, Tata dan bersama kawan-kawannya di Tenggara selalu turun ke lapangan untuk memberikan pendidikan seksual.

Saat berbincang dengan Kompas.com, Selasa (28/12/2021), Tata merasa perjuangannya masih panjang untuk bisa membantu anak-anak di NTT lebih paham akan hak kesehatan seksual dan reproduksi.

Dia pun tak ingin berhenti begitu saja bergerak karena pandemi melanda.

Faktanya, Tata mendapati angka kekerasan dalam rumah tangga yang dialami perempuan dan anak di NTT justru naik selama pandemi.

Menukil data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak (DP3A) NTT, dia menyebut, kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi selama pandemi tahun 2020 naik jadi 564 kasus. Jumlah ini baru mencakup kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan.

Padahal kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tetap diyakini merupakan fenomena gunung es. Artinya, kasus yang sebenarnya terjadi, dipercaya jauh lebih banyak.

“Angka itu pun belum termasuk angka kasus kekerasan dalam pacaran, kekerasan di lembaga pendidikan, tempat kerja, dan di tempat umum,” ungkap Tata.

Bagi Tata, pandemi hanyalah tantangan baru yang harus dihadapi dan ditaklukkan.

Sudah ada banyak persoalan lain yang lebih dulu datang dan berhasil dia lewati dalam upayanya memberikan pendidikan seks kepada anak-anak dan remaja di NTT.

“Advokasi harus jalan terus. Kami ingin bisa ikut berkontribusi menekan angka kasus kekerasan seksual terhadap anak di NTT,” ucap dia.

Selain memberikan pendidikan seks, Tenggara kini mulai membuka layanan aduan yang bisa diakses oleh remaja atau anak muda korban kekerasan seksual.

“Kami sudah bekerja sama juga dengan LBH yang dapat membantu dalam mengadvokasi kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak dan perempuan,” jelas Tata.

"Saya pernah mengalami pelecehan seksual saat kecil dan saya tidak mau ada korban lagi!" Demikian seru Tata saat disinggung soal tujuannya mendirikan Youth Community Tenggara lima tahun silam.

Dia tak ingin anak-anak di NTT kehilangan senyuman mereka karena menjadi korban kekerasan seksual.

Lewat Tenggara, dia ingin mengajak para generasi muda di kawasan NTT untuk bergerak bersama memberikan edukasi tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi kepada anak-anak dan remaja.

Tata yakin dengan dibekali pendidikan seks, anak-anak dan remaja akan semakin tahu bagaimana caranya melindungi diri dari tindak kekerasan seksual.

“Bukan saja sebagai korban, tapi anak-anak diharapkan tidak juga menjadi pelaku (kekerasan seksual),” ucap dia.

Tata memandang, pendidikan seks sangat penting untuk dibicarakan di kalangan anak-anak dan remaja.

Menurut dia, banyak orang tua mungkin melihat isu hak kesehatan dan reproduksi adalah isu yang sederhana sekali.

Beberapa orang tua bahkan masih menganggap tabu atau tidak patut membicarakan soal kesehatan seksual dan reproduksi.

Tata sendiri pernah bertemu dengan beberapa orang tua dan pendamping komunitas anak yang memandang pendidikan seks sama saja seperti mengajarkan pornografi.

Mereka beranggapan anak-anak pasti akan mengetahui sendiri tentang hak kesehatan dan reproduksi ketika sudah berajak dewasa.

“Padahal kan belum tentu demikian. Pendidikan seks sebaiknya diberikan sejak dini untuk membantu anak-anak menyiapkan masa depan dengan lebih baik,” pendapat dia.

Beruntungnya, Tata bercerita jika hampir semua orang tua maupun pendamping anak yang ditemui anggota komunitas Tenggara mau terbuka atau mau diajak bekerja sama setelah dilakukan pendekatan.

Beberapa orang tua bahkan menyampaikan kesanggupan untuk mulai terlibat aktif dalam melakukan edukasi hak kesehatan seksual dan reproduksi di rumah kepada anak-anak mereka.

“Kami pokoknya tak mau gampang menyerah. Bagaimana pun juga, orang tua adalah pendidik utama dalam masalah seksualitas bagi anak-anak,” tutur dia.

Menurut Tata, ada banyak sekali manfaat yang bisa diraih ketika para orang tua mau dan mampu memberikan pendidikan seks kepada anak.

Yang jelas, masing-masing orang tua bisa menjadi lebih dekat dengan sang anak.

Jadi, apabila anak-anak punya masalah, orang tua lah yang akan dicari pertama kali untuk diajak bicara atau dimintai pendapat.

“Hal ini tentu baik untuk meminimalisir anak-anak mendapatkan tanggapan atau informasi yang salah dari luar,” terang dia.

Lebih jauh, Tata meyakini, komunikasi yang terjalin baik antara orang tua dan anak-anak dapat membantu anak-anak menghindari perilaku seksual yang berisiko setelah mulai bergaul dengan teman-teman atau terjun ke lingkungan sosial.

Selama di lapangan, Tata pun banyak mendapati remaja yang tidak merima pemahaman dari orang tua, misalnya terkait bagaimana mereka harus menghadapi pubertas.

“Ketika kami buka sharing di sejumlah tempat, ternyata banyak adik-adik mengaku kaget ketika mengetahui menstruasi ada darah. Terus yang laki-laki bingung, bangun tidur kok kaya ngompol,” tutur dia.

Tata bahkan pernah menemukan ada beberapa anak remaja yang sudah melakukan aktivitas seks seperti masturbasi atau menggesekkan alat kelamin dengan pasangan (petting) tanpa banyak tahu risikonya.

Dari sini, dia melih pemberian informasi atau edukasi terkait kesehatan seksual dan reproduksi penting untuk anak-anak dan remaja guna mengenalkan tubuh mereka.

“Setelah mengenal, adik-adik diharapkan bisa menjaga tubuhnya. Nah, ini bisa berdampak terus sampai adik-adik misalnya tahu harus menjaga diri ketika ada orang tidak dikenal mau sentuh tubuh mereka,” jelas Tata.

Jadi, pendidikan seks bisa membantu anak-anak dan remaja untuk mengerti perubahan fisik yang terjadi selama pubertas dan mengajarkan bagaimana merawat tubuh, termasuk memahami consent (persetujuan) dan mencegah kekerasan seksual.

Tak hanya itu, Tata mengungkap, pendidikan seks penting diberikan agar anak remaja dapat menyikapi mitos dan kesalahan informasi seputar kespro, mengatur hubungan, perubahan emosional, dan sosial, serta menghindari hal-hal terkait dengan risiko perilaku seks, seperti hamil di luar nikah, dan mencegah penyakit menular seksual (PMS) maupun HIV/AIDS.

“Itu mengapa juga pendidikan seks bisa dibilang sebagai cikal bakal pendidikan berkeluarga yang memiliki makna sangat penting,” tutur dia.

Tata bersama Tenggara sendiri pernah melakukan survei soal tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi remaja di NTT pada 2017.

Hasilnya, sebagian besar dari 500-an remaja yang dimintai pandangan tidak memiliki akses terhadap sumber informasi pendidikan seksual dan komunitas untuk menceritakan persoalan pendidikan seksual.

“Kami melihat angka ini sejalan dengan kasus pelecehan seksual yang masih kerap terjadi atau kehamilan di luar nikah pada kalangan remaja di NTT,” kata Tata.

Pada 2016 lalu, Tata semakin mantap mendirikan Tenggara setelah melihat belum adanya komunitas yang dibentuk dari remaja dan untuk remaja di Kota Kupang yang fokus dalam mengadvokasi isu hak kesehatan seksual dan reproduksi.

Dia berharap Tenggara bisa menjadi pusat informasi dan layanan terkait persoalan ini.

“Terlebih saat itu angka kasus kekerasan terhadap anak di NTT juga tinggi. Anak muda harus bisa bantu anak muda,” ujar Tata.

Dari keinginan itulah program Bacarita Kespro kemudian dilahirkan.

Bacarita Krespro menjadi program edukasi kesehatan reproduksi dari Tenggara.

Bacarita diambil dari bahasa Melayu Kupang yang berarti bercerita. Sedangkan Kespro adalah singkatan dari kesehatan reproduksi.

Jadi, Bacarita Kespro adalah kegiatan bercerita tentang kesehatan reproduksi.

Baik sebelum maupun setelah pandemi, program ini biasanya diadakan Tenggara setiap Sabtu, meski tidak menutup kemungkinan bisa juga dilakukan pada hari lain.

Tata menyampaikan, dalam menjalankan program edukasi Bacarita Kespro, Tenggara memiliki sasaran kunci.

Target utamanya adalah remaja berusia 10 sampai 24 tahun yang berasal dari kelompok poor (miskin), marginal (terpinggirkan), social excluded (dikeluarkan dari lingkungan sosial), dan underserved (tak terlayani) atau disingkat PMSEU.

Mengapa begitu? Tata melihat, dari tahun ke tahun, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang hadir di NTT sudah mulai merambah dunia sekolah untuk berbagai isu kesehatan seksual dan repdosuksi.

Sementara, anak-anak yang tidak bersekolah, remaja yang putus sekolah, remaja yang dikeluarkan karena hamil di luar nikah, remaja yang aktif di komunitas di luar sekolah, ataupun remaja di tempat-tempat ibadah dirasa belum banyak mendapatkan informasi terkait hak kesehatan seksual dan reproduksi.

“Oleh sebab itu, Tenggara mantap memilih untuk fokus berbagi pada anak-anak PMSEU,” terang Tata.

Demi bisa bertemu langsung anak-anak tersebut sebelum pandemi, Tata pun rela menjelajah ke desa-desa, berbagai kota, dan bahkan menyeberang laut menyambangi pulau-pulau di sekitar NTT.

Tidak jarang, dia bahkan rela merogoh kocek sendiri agar bisa pergi ke sejumlah daerah memberikan pendidikan seks.

Ketika sudah berhasil menemui anak-anak, Tata akan mengajak mereka berdiskusi banyak hal tentang hak kesehatan seksual dan produksi.

Ini termasuk soal materi kekerasan seksual, kehidupan remaja secara umum, pacaran yang sehat, mencegah kehamilan, pubertas, haid, mimpi basah, dan lain sebagainya.

Sementara, anak-anak yang lebih kecil akan diberikan metode khusus tentang mengenal tubuh.

Alumnus kedokteran hewan Universitas Nusa Cendana itu biasanya akan menggunakan alat peraga untuk menjelaskan hal tersebut kepada anak-anak.

Dalam memberikan edukasi, Tata dan sukarelawan lain di Tenggara memang seringkali akan lebih dulu menyiapkan bahan ajar.

Selain boneka untuk menunjukkan anatomi tubuh, beberapa alat peraga yang kerap digunakan Tata dan teman-temanya adalah permainan ular tangga edukasi dari bahan spanduk dan kertas tebak mitos atau fakta seputar seks.

“Kami ingin membawakan informasi terkait kesehatan reproduksi ini dengan cara yang semenarik mungkin dan ‘dekat’ dengan adik-adik. Komunikasi yang berjalan harus dua arah,” ungkap dia.

Selain menyiapkan alat peraga, sukarelawan Tenggara biasanya akan lebih dulu mengumpulkan data mengenai latar belakang anak-anak sebelum memulai forum Bacarita Kespro.

Hal ini dilakukan karena Tenggara tidak mau asal memberikan informasi.

Edukasi yang disajikan Tenggara harus kontekstual dengan masalah ataupun budaya yang berkembang di lingkungan masing-masing anak atau remaja.

Hal itu juga masih dilakukan Tenggara saat ini saat menggelar Bacarita Kespro secara online lewat Instagram atau Zoom.

“Jadi kami memetakan masalahnya dulu. Kami ingin informasi yang diberikan betul-betul yang dibutuhkan oleh adik-adik dan jangan sampai salah bicara,” tutur dia.

Tak hanya itu, Tata juga memberikan standar kualitas bagi sukarelawan Tenggara yang hendak menjadi fasilitator dalam Bacarita Kespro.

Di mana, siapa saja yang akan menjadi pemantik forum harus bersedia mempersiapkan diri sejak seminggu sebelum kegiatan.

Semuanya wajib membaca modul dan berlatih manajemen forum agar bisa membawakan materi dengan baik untuk anak-anak atau peserta edukasi.

Dia menyampaikan, ketentuan ini sebenarnya hanya untuk penyegaran.

Pasalnya, para sukarelawan Tenggara dari awal bergabung sudah seringkali dibekali dengan beragam pelatihan yang diisi oleh senior maupun pemateri ahli, seperti dari dokter, perawat, psikolog, perwakilan Komisi Penanggulangan AIDS (KPAI), termasuk berbagai LSM terkait.

Pengurus Tenggara beberapa kali juga sempat mengundang mantan pekerja seks komersial (PSK) atau penyintas HIV/AIDS untuk dapat memberikan gambaraan riil mengenai kasus-kasus yang berkaitan dengan masalah kesehatan seksual dan reproduksi ke anggota.

Selain itu, Tenggara juga kerap mendelegasikan 20 anggota secara bergiliran untuk mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh pihak luar.

Ada dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Dinas Kesehatan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, maupun lembaga atau komunitas lainnya.

“Sebelum mendirikan Tenggara, saya juga sepeti itu. Awalnya saya coba menabung untuk bisa membeli buku-buku sebagai sumber referensi. Kemudian, saya cari kesempatan juga untuk bisa ikut pelatihan Kespro,” kenang dia.

Seiring berjalannya waktu, program Bacarita Kespro yang digagas Tata bersama rekan-rekannya di Tenggara mampu merangkul semakin banyak anak-anak dan remaja di NTT.

Hingga akhir 2021 ini, terdata sedikitnya sudah ada 2.000 lebih anak dan remaja dari 43 komunitas di wilayah NTT yang mendapatkan akses informasi dari Tenggara.

Beberapa komunitas yang pernah dirangkul oleh Tenggara di antaranya, yakni:

  • Komunitas Tuli Kupang
  • Komunitas Children See Children Do
  • PAR Benyamin Oebufu Kupang
  • Persatuan Tuna Daksa Kristiani
  • Rumah Sejuta Mimpi
  • Remaja Gereja di Neke
  • Komunitas Dusun Flabomora

Berbagai komunitas ini bukan hanya berasal dari Kota Kupang, melainkan ada juga dari Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan, hingga Pulau Kera di Kabupaten Sumba Timur bersama Kopernik.

Untuk memperluas jangkauan pemberian edukasi, Tenggara akan terus berkolaborasi dengan sejumlah pihak lain, termasuk BKKBN, KPAI, dan Woman for Indonesia.

Kegiatan edukasi Bacarita Kespro juga sudah mendapat dukungan dari International Youth Alliance for Family Planning (IYAFP), termasuk beberapa kolaborasi dari lembaga internasional, dan komunitas lainnya.

Maka dari itu, Tata bersama rekannya-rekannya di Tenggara pun kini tak jarang diundang untuk berbagi informasi mengenai hak kesehatan seksual dan reproduksi di sekolah-sekolah, kampus-kampus, atau komunitas di luar PMSEU lainnya.

Perjuangan Tata yang tak kenal lelah sebagai pengedukasi hak kesehatan seksual anak ini pun telah dilirik oleh juri dalam pemilihan penerima apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2020.

Pada Oktober tahun lalu, Tata terlipih menjadi penerima apresiasi SATU Indonesia Award untuk bidang kesehatan.

Dia menjadikan apresiasi ini sebagai pendobrak semangat untuk bisa terus memberikan kontribusi kepada masyarakat, khususnya bagi generasi muda di NTT.

“Kami sadar bahwa perjuangan tak boleh berhenti sampai di sini. Apresiasi itu ‘menantang’ kami untuk bisa bergerak lebih kencang,” ujar Tata.

Dia berharap pemberian apresiasi SATU Indonesia Award bisa menginspirasi para pemuda untuk mau ikut mengedukasi adik-adik dari kalangan anak-anak dan remaja tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi.

Tata yakin pendidikan seks yang diberikan sejak dini bisa membantu anak-anak menyiapkan masa depan lebih baik.

Apresiasi kepada Tata juga disampaikan oleh Kepala DP3A Provinsi NTT, drg. Iien Adriani, M.Kes.

Dia menyebut, kehadiran pemuda aktif seperti Tata yang bersedia memperdalam khasanah tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi, lalu membaginya kepada anak-anak dan remaja ini sangatlah berarti di masyarakat.

Menurut Iien, Tata dan rekan-rekannya di Tenggara telah menunjukkan praktik dukungan kelompok sebaya yang bagus ditiru.

Dia berucap, dampak positif dari kehadiran “banyak Tata” di masyarakat mungkin tak akan terasa seketika. Tapi, Iien yakin, kontribusi mereka lambat laun dapat menghasilkan sesuatu yang besar.

Ini termasuk berkurangnya angka kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan di NTT karena ada semakin banyak masyarakat yang telah dibuat paham akan isu hak kesehatan seksual dan reproduksi.

Dia pun tidak mencemaskan dalam beberapa tahun ke depan, angka kekerasan seksual terhadap anak di NTT akan mengalami kenaikan.

Pasalnya, hal itu juga bisa jadi pertanda baik bahwa masyarakat semakin peka terhadap isu kekerasan seksual anak dan tahu bagaimana cara melaporkannya saat mengalami atau mendapati kerjadian tersebut.

“Kelompok sebaya bisa menjadi kepanjangan tangan dalam penyampaian informasi mengenai kespro kepada kelompok milenial yang kadang susah dijangkau oleh petugas karena sebagian besar mereka merupakan generasi yang lebih tua,” jelas dia saat diwawancarai Kompas.com terpisah.

Dia berpesan, bagi generasi muda yang ingin meneladan Tata, bisa lebih dulu memerkaya diri dengan pengetahuan mengenai hak kesehatan seksual dan reproduksi sebelum kemudian terjun ke masyarakat.

“Anak-anak muda dapat mengikuti pelatihan-pelatihan kespro yang bisa kami fasilitasi. Kelompok sebaya yang memang sudah mendapat pelatihan sangat diperlukan di NTT,” ungkap dia.

Apresiasi kepada Tata juga disampaikan oleh Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi alias Kak Seto.

Kak Seto menyebut Tata bisa menjadi pelapis atau bahkan pengganti pentingnya peran orangtua dalam memberikan edukasi tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi kepada anak-anak.

Karena tak bisa dipungkiri, kata dia, di Indonesia masih ada banyak orang tua yang tidak mau atau mampu menjelaskan masalah seksualitas kepada anak-anak, terutama dari kalangan menengah ke bawah.

Pendiri dan ketua pertama Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) itu juga melihat sekolah kadang-kadang hanya teoritis dalam memberikan pendidikan seks.

"Jadi, sebagai langkah preventif terjadinya kekerasan seksual terhadap anak atau anak sebagai pelaku, saya kira bagus sekali apa yang dilakukan Tata dan teman-teman di Tenggara dengan memberikan kesadaraan atau pengetahuan ke anak mengenai masalah seksualitas," kata dia diwawancara terpisah.

Kak Seto pun berpendapat, bahwa perjuangan Tata di NTT sangat layak dijadikan teladan bagi muda-mudi lain di berbagai daerah.

Para dewasa muda bisa menjadi kakak yang dapat memberikan benteng perlindungan bagi anak-anak maupun remaja akan bahaya pelecehan atau kekerasan seksual yang masih banyak terjadi di berbagai tempat.

"Bisa menjadi sangat efektif ketika pendidikan seks disampaikan oleh teman-teman muda. Jadi tidak sebagai bapak atau ibu ke anak. Kadang-kadang 'jurangnya' terlalu dalam karena perbedaan generasi," ungkap dia.

Kak Seto melihat, jika edukasi mengenai hak kesehatan seksual dan reproduksi dilakukan oleh seseorang yang usianya tidak terpaut jauh, anak-anak maupun para remaja bisa jadi akan lebih nyaman dan lebih mudah menerima informasi.

"Remaja kan inginnya komunikasi melalui persahabatan, bukan main instruksi, perintah, atau komando yang mungkin masih sering dilakukan para orang tua,” jelas dia.

Kak Seto sangat mengapresiasi para pemuda yang mau bergerak menyisihkan waktu, pikiran, tenaga, maupun materi untuk memberikan pendidikan seks kepada teman sebaya maupun anak-anak yang lebih muda.

“Anak-anak perlu didorong untuk bisa menjadi garda terdepan dalam melindungi dirinya sendiri. Misalnya, mereka perlu diajarkan untuk berteriak atau melapor apabila ada orang lain yang ingin meraba organ intimya atau berbuat tak senonoh. Ajaran ini penting hingga anak dewasa,” jelas dia.

https://regional.kompas.com/read/2021/12/30/151239978/menanti-perubahan-besar-di-balik-aksi-anak-muda-bantu-lindungi-remaja

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke