Salin Artikel

Air Mata Mbah Mahriyeh, Menanti Kepulangan Sang Suami, Dipisahkan oleh Letusan Gunung Semeru

Mahriyeh yang merupakan warga Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Lumajang itu masih ingat betul, saat tangannya meracik nasi dan ikan asin.

Santapan tersebut disiapkan sebagai bekal makan sang suami pergi ke sawah yang berimpitan dengan jalur aliran lahar Gunung Semeru.

Air matanya seketika menetes saat teringat suaminya.

"Saya ingin suami cepat ditemukan, jika meninggal, dikuburkan dan didoakan yang layak," kata Mahriyeh sembari mengusap air matanya, Selasa (7/12/2021).

Biasanya, Mahriyeh tak pernah berpisah dari Miran. Begitu pula sebaliknya.

Di rumahnya yang kini roboh tertutup abu vulkanik, Mahriyeh hanya tinggal berdua dengan Miran.

Ke mana pun pergi, mereka juga selalu bersama, bahkan ketika menggarap lahan.

Jika bulir-bulir padi mulai berisi, Mahriyeh menemani pria 80 tahun yang dicintainya itu menginap di gubuk. Mereka berdua akan menjaga padi dari serbuan monyet.

Namun sudah sekitar sebulan, Mahriyeh tidak dapat menemani Miran menjaga tanaman padi mereka yang tinggal menunggu panen.

Sebab, penyakit sesak napasnya kambuh.

"Sebenarnya pagi itu saya ajak dia pulang saja karena takut ada banjir. Tapi dia bilang 'biarkan saja banjir,'" kenang Mahriyeh dalam bahasa Jawa bercampur dialek Madura saat dia mengungsi di Desa Gogodeso, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar, Selasa (7/12/2021).

Sabtu (4/12/2021) siang itu, kaki Mahriyeh melangkah menyusuri ladang demi mengantarkan bekal untuk sang suami.

Dia kemudian kembali ke rumahnya lantaran badannya masih belum pulih sepenuhnya.

Kurang dari lima jam setelah mengantar bekal, warga di sekitar rumahnya menjerit-jerit histeris.

Mereka meneriakkan kabar jika Gunung Semeru meletus.

Tak berselang lama, langit mendadak gelap. Listrik mati dan situasi tampak seperti malam hari yang gelap gulita.

Saat itu, Mahriyeh tak kuasa menitikkan air mata teringat Miran seorang diri di ladang padi mereka.

"Waktu di pengungsian juga Emak (Mahriyeh) ini sebentar-sebentar nangis teringat Mbah (Miran)," kata Lailatul Jannah, kerabat Mahriyeh yang turut mengungsi ke Blitar.

Sejak awal, Mahriyeh tidak yakin Miran selamat dari semburan awan panas Gunung Semeru.

Terlebih, lokasi ladang mereka berimpitan dengan sungai aliran lahar. Setelah erupsi Gunung Semeru, banjir lahar mengakibatkan jembatan Gladak Perak di bagian hilir sungai itu terputus.

Selama dua hari dua malam berada di pengungsian di Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Lumajang, Mahriyeh mendapatkan kabar bahwa Miran merupakan salah satu dari dua warga Kajarkuning yang belum ditemukan.

Kata Mahriyeh, seandainya dirinya tidak sedang sakit tentu dia tidak akan terpisahkan dari Miran.

Lokasi keberadaan Miran belum terjangkau

Menantu Mahriyeh, Wagiman (60), mengatakan, dirinya sudah menginformasikan letak ladang padi dan gubuk di mana Miran berada kepada tim Search and Rescue (SAR).

"Katanya sudah dipantau lokasinya menggunakan drone tapi masih belum memungkinkan untuk mengevakuasi Bapak (Miran). Ladangnya itu memang letaknya seperti di lembah, jadi tim SAR mungkin juga belum berani ke sana," kata Wagiman.

Menurut Wagiman, bukan hanya Mahriyeh yang pagi itu meminta Miran untuk tidak menginap sementara waktu di ladang, tapi juga dirinya.

Alasannya, akhir-akhir ini curah hujan sangat tinggi. Posisi ladang dan gubuk dinilai cukup berbahaya terhadap kemungkinan terjadinya banjir lahar dingin.

Padahal untuk menuju ke ladang itu, Miran yang sudah tidak mampu lagi berdiri tegak itu harus menyeberangi sungai aliran lahar Curah Kobokan.

Anak dan cucu pasangan Mariyeh dan Miran sebenarnya sudah lama meminta keduanya untuk berhenti bekerja.

Tapi Miran maupun Mariyeh sama-sama tidak mengindahkan omongan anak dan cucunya.

"Hasil ladang itu paling juga sekali panen 10 karung. Sekitar 5 kuintal lah," kata Wagiman.

Akhirnya, mereka pun berhenti mencegah Miran dan Mariyeh bekerja.

"Mungkin Bapak dan Emak tidak mau merepotkan anak dan cucunya," tambah Wagiman.

Dia enggan meninggalkan barak pengungsian sebelum Miran pulang.

Tapi dia tidak punya pilihan. Jika bertahan, dia tidak akan punya lagi kerabat dekat di sampingnya.

Mahriyeh tahu, anak dan cucunya akan tetap memaksanya ikut ke Blitar jika dia kukuh bertahan di pengungsian.

Baru semalam tiba di rumah kerabatnya di Blitar, sudah beberapa kali Mahriyeh menanyakan kepada putranya kalau-kalau Miran kembali pulang.

"Saya juga terus menghubungi perangkat desa dan teman-teman di pengungsian tentang hasil pencarian Bapak (Miran)," ujar Wagiman. 

Doa selalu dipanjatkan oleh Mahriyeh yang menunggu suaminya pulang.

https://regional.kompas.com/read/2021/12/08/052000778/air-mata-mbah-mahriyeh-menanti-kepulangan-sang-suami-dipisahkan-oleh

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke