Salin Artikel

Konflik Bersenjata di Papua, "Hujan Mortir" Buatan Serbia di Kiwirok (2)

Masyarakat di sejumlah kabupaten, termasuk Pegunungan Bintang, Intan Jaya, dan Maybrat, meninggalkan tempat tinggal mereka untuk mencari tempat aman.

Jumlah masyarakat yang mengungsi dari konflik ini diyakini berjumlah ratusan hingga ribuan orang. Namun, data soal ini sulit diverifikasi karena akses menuju lokasi konflik yang sangat terbatas.

'Hujan mortir' buatan Serbia di Kiwirok

Seorang laki-laki berlindung di balik semak belukar. Nafasnya terengah-engah. Awan bergantung rendah di hadapannya.

Dari kejauhan terdengar suara desing senapan api. Mata laki-laki itu mengarah ke langit. Dia mengawasi sebuah helikopter yang terbang di atas pegunungan Distrik Kiwirok.

Peristiwa itu terlihat dalam satu dari sekian video yang dikirimkan pimpinan TPNPB kawasan Pegunungan Bintang, Jenno Taplo, kepada BBC News Indonesia.

Jenno Taplo mengirim sejumlah video untuk membuktikan klaim kelompoknya bahwa aparat menjatuhkan mortir dari helikopter.

Dokumentasi yang dikumpulkan TPNPB menunjukkan sejumlah mortir yang gagal meledak. Namun ada pula mortir yang meledak dan membakar rumah dan sebidang lahan.

Kiwirok dihujani mortir nyaris setiap hari sejak tanggal 10 Oktober, menurut kesaksian Kalaka Benny, warga Distrik Okhika yang mengungsi sejak huru-hara tanggal 13 September meletus.

Kalaka yakin, konflik bersenjata yang kini melibatkan penggunaan artileri ini merupakan lanjutan dari aksi pembakaran, penyerangan tenaga medis, dan kontak senjata satu bulan sebelumnya.

"Dengan biji mata kepala saya sendiri, saya melihat tiga helikopter yang beredar di Kiwirok. Helikopter terbang mulai hari itu. Setiap hari mereka turunkan bom," ujarnya.

"Dari pagi sampai jam sore, setiap hari mereka turunkan bom. Malam tidak. Ada bom yang merusak rumah, tapi rumah itu tidak ditinggali. Semua warga ada di hutan," kata Kalaka.

Kesaksian Kalaka senada dengan klaim milisi pro-kemerdekaan. Meski begitu, BBC News Indonesia hingga saat ini belum dapat memverifikasi kebenaran informasi itu karena ketiadaan akses meliput di kawasan konflik itu.

Yang tampak jelas adalah kesamaan jenis mortir yang ditemukan milisi pro-kemerdekaan itu. Berbagai mortir itu berkaliber 81 milimeter, bercat hijau tua dan bertuliskan KV Lot 01/20.

Dalam industri persenjataan global, inisial KV merujuk produk buatan perusahaan asal Serbia, Krusik. Huruf K merupakan singkatan dari Krusik, sedangkan V menandakan Valjevo, kota tempat pabrik Kursik berada.

Sementara identitas Lot 01/20 yang tertera pada mortir itu merujuk kelompok produksi pertama tahun 2020.

Pakar keamanan dari BBC High Risk Team, menyebut mortir seperti ini hampir mustahil ditembakkan dari udara.

"Mortir ini hanya dapat ditembakkan dengan memasukkannya ke dalam tabung pelontar," katanya.

"Sangat tidak mungkin mortir seperti ini ditembakkan dari pesawat. Mortir dapat diledakkan jika mendapat tekanan dan dorongan dari tabung pelontar," ucapnya.

Saat keluar dari tabung pelontar, mortir akan terbang ke udara dan bergerak dalam lengkungan parabola. Di lokasi yang menjadi sasaran, mortir akan jatuh dari udara.

Menurutnya, terdapat ragam alasan yang menyebabkan sejumlah mortir yang ditemukan milisi TPNPB tidak meledak.

Senjata ini biasa digunakan dalam pertempuran di kawasan hutan, katanya. Alasannya, mortir ini berdaya ledak besar dan dapat ditembakkan ke sasaran yang posisinya tidak jelas.

BBC News Indonesia sudah berulang kali berusaha melakukan konfirmasi kepada pimpinan Kodam Cenderawasih terkait penggunaan mortir yang dituduhkan kepada mereka.

Namun hingga liputan ini dipublikasikan, permintaan wawancara itu tidak ditanggapi.

Kepada Majalah Tempo, Panglima Kodam Cenderawasih, Mayjen Ignatius Yogo Triyono, membenarkan bahwa pasukannya menembakkan mortir di Kiwirok.

Yogo berkata, pasukannya membutuhkan mortir karena medan Pegunungan Bintang yang terjal. Ledakan mortir, kata Yogo, dapat membuat efek kejut pada kelompok TPNPB.

Tulisan yang tertera pada mortir yang ditemukan di Kiwirok merujuk pada perusahaan pelat merah Serbia, Krusik. Mortir Krusik kaliber 81 milimeter pernah dipamerkan ISIS dalam video yang mereka rilis, November 2019.

Merujuk laporan lembaga pemantau berbasis di Bulgaria, Arms Watch, persenjataan yang diproduksi Krusik digunakan milisi ISIS di Suriah dan Yaman.

Militer Ukraina juga menggunakan persenjataan Krusik saat berkonflik dengan milisi pro-Rusia.

Krusik saat ini tengah menjadi sorotan, termasuk oleh Parlemen Eropa, atas dugaan korupsi pimpinan mereka dan pejabat tinggi Serbia. Krusik dituding melakukan kongkalikong dengan sejumlah pemasok senjata swasta, salah satunya yang berbasis di Arab Saudi.

Indonesia adalah negara tujuan ekspor persenjataan terbesar Serbia pada tahun 2019. Fakta ini merujuk dokumen Kementerian Perdagangan Serbia.

Pemerintah dan DPR membuat aturan khusus berupa UU 3/2019 tentang kerja sama bidang pertahanan antara Indonesia dan Serbia. Salah satu poin dalam beleid itu adalah kerja sama pengadaan alat pertahanan.

Anggota Komisi I DPR dari Dapil Papua, Yan Permenas Mandenas, dalam akun Instagram miliknya, memamerkan salah satu persenjataan TNI yang dibeli dari Serbia.

Nilai ekspor persenjataan dari Serbia ke Indonesia mencapai 84,9 juta euro atau sekitar Rp1,4 triliun pada tahun tersebut. Nilai ekspor persenjataan dari Serbia ke Indonesia lebih besar daripada ke Amerika Serikat, berselisih sekitar Rp400 miliar.

Pada 2020, total impor persenjataan seperti mortar, howitzer, dan senjata api dari Serbia ke Indonesia mencapai US$1,8 juta atau sekitar Rp25,7 miliar, menurut laporan Badan Pusat Statistik.

Mantan jenderal bintang tiga TNI Angkatan Darat yang kini menjadi Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional, Agus Widjojo, ragu militer melakukan serangan udara untuk menghadapi kelompok pro-kemerdekaan di Kiwirok dan wilayah lain di Papua.

"Operasi di Timor Timur dulu masuk kategori insurgency plus sehingga militer menggunakan bantuan tembakan taktis dari udara, walau tidak secara besar-besaran," tuturnya.

Dari perspektif militer, menurut Agus, serangan udara untuk menghadapi TPNPB tidak efisien. Ia merujuk pesebaran milisi pro-kemerdekaan yang tidak terpusat dan jumlahnya yang tidak masif.

Bagaimanapun, Agus menyebut mortir adalah persenjataan militer. Penggunaannya, kata dia, harus didasarkan pada dasar hukum yang jelas.

"Sepatutnya ada akuntabilitas. Sebetulnya transparansi ini bisa terwujud dengan dorongan elemen lain. DPR, misalnya, bisa bertanya apa payung hukum operasi di Papua," kata Agus.

"Kalau dorongan itu tidak kuat, TNI dan aparat keamanan bisa merasa tidak diingatkan, apa yang boleh dan tidak boleh, apa yang benar dan yang belum benar.

"Indonesia punya pengalaman menetapkan status darurat militer di Aceh dan Timor Timur serta mengatasi berbagai pemberontakan.

"Generasi masa lalu lebih sadar soal supremasi hukum dan perbedaan kewenangan dalam tingkat kondisi darurat daripada kondisi kontemporer yang seolah-olah bebas menggunakan metode apapun," ujar Agus.

Sejak masuk DPR pada 2019, Yan duduk di Komisi I DPR, institusi yang mengawasi bidang kerja TNI.

"Ini sudah kami lakukan. Tidak semua pekerjaan Komisi I kami publikasikan karena ini sesuatu yang harus dikonsumsi secara terbatas," kata Yan.

"Tapi kami berkomitmen mengawal kasus hukum dan perbaikan kebijakan sehingga bisa memberi hasil signifikan dalam penyelesaian konflik di tanah Papua," ujarnya.

Menurut pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada, Profesor Sigit Riyanto, pertempuran antara TNI/Polri dan TPNPB di Papua terikat pada hukum humaniter internasional. Bukan hanya soal cara berperang tapi juga sarana yang digunakan oleh dua pihak itu, kata Sigit.

"Kalau hukum humaniter tidak dikenakan, maka yang berlaku adalah ketentuan pidana nasional," ucapnya.

"Tapi di seluruh negara, termasuk di Indonesia, masalahnya bukan apa yang boleh dan tidak diizinkan, tapi persoalan mendasarnya adalah menegakkan hukum ketika terjadi pelanggaran.

"Ini soal politik yang relatif rumit. Dari waktu ke waktu sulit menegakkan hukum humaniter. Faktor utamanya adalah kemauan politik," ujar Sigit.

"Saya sudah mengajak mereka untuk berbicara bagaimana membangun Papua bersama, mensejahterakan masyarakat dan mengejar ketertinggalan agar bisa sejajar dengan yang lainnya," kata Jokowi.

"Saya ingin Indonesia damai, Papua damai. Saya tidak ingin berkonflik dengan siapapun. Semua yang berada di teritorial Indonesia adalah rakyat Indonesia. NKRI harus dibangun bersama," ujarnya.

Namun pertikaian bersenjata antara aparat dan kelompok pro-kemerdekaan masih terus berlangsung di Papua, termasuk Kiwirok dan Intan Jaya.

Jumlah masyarakat sipil yang tewas dan tertembak masih terus bertambah. Salah satunya Bernadus Bagau, laki-laki Intan Jaya berumur 45 tahun yang ditemukan meninggal pertengahan November lalu. Saat itu dia sudah tiga pekan menghilang.

Di tubuh Bernadus terdapat luka tembak, kata Pastor Yance Yogi, imam Katolik yang memakamkan jenazah Bernadus. "Dia masyarakat biasa," kata Pastor Yance.

Dan di Distrik Kiwirok, tidak sedikit anak-anak, perempuan-laki laki dewasa hingga orang lanjut usia hingga yang saat ini masih mengungsi hutan di perbukitan. Jumlah mereka tidak dapat diverifikasi, bisa ratusan atau ribuan.

"Kami tidak ada tenda, kami pakai daun, kayu dan apapun yang bisa kami pakai untuk bangun tempat tinggal sementara," kata Kalaka Benny.

---

Yamoye Abeth, wartawan di Timika, berkontribusi untuk laporan ini.

https://regional.kompas.com/read/2021/12/01/062600578/konflik-bersenjata-di-papua-hujan-mortir-buatan-serbia-di-kiwirok-2

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke