Salin Artikel

Cerita Warga Gunungkidul yang Selalu Terisolasi Saat Hujan Deras

Namun saat hujan melanda, muncul kekhawatiran sebagian besar warganya karena tidak bisa beraktivitas.

Sebab, akses jalan akan tertutup karena untuk masuk ke lima rukun tetangga (RT) padukuhan tersebut harus melewati crossway yang akan tertutup air jika intensitas hujan cukup deras.

Terletak di perbatasan Gunungkidul-Bantul, untuk menuju ke sana harus melewati hutan jati dan mahoni sepanjang kurang lebih 2 kilometer jalan bervariasi, mulai jalan beraspal disusul cor blok.

Masuk ke Padukuhan Kedungwanglu disambut jembatan permanen.

Pencinta olahraga trabas di Gunungkidul tidak asing melalui kawasan tersebut, karena sering dijadikan even.

"Kedungwanglu ada tiga, pertama jembatan besar yang masuk kampung, dan dua jembatan yang di dalam kampung. Dua jembatan ini melalui sungai prambutan yang sering meluap saat musim hujan," kata salah seorang warga Kedungwanglu, Fauzi, kepada Kompas.com Senin (22/11/2021)

Dikatakannya, setiap hujan turun warga merasa khawatir tidak bisa keluar kampungnya.

Pasalnya ada jalan memutar pun, sulit dilalui karena harus melewati tebing dan menempuh sekitar 15 kilometer.

"Kalau terisolasi warga di sini makan (yang) adanya di sini, kalau di kampung ya apa saja bisa dimakan," kata Fauzi.

Dari pengamatan di lokasi, bekas lumpur sisa banjir beberapa hari yang lalu masih tersisa di salah jembatan crossway pada Jumat (19/11/2021). 

Dukuh Kedungwanglu, Burhan Tholib, mengatakan di wilayahnya ada delapan RT dari jumlah itu, ada lima RT yang lawan terisolasi saat musim hujan karena meluapnya air di Kali Prambutan.

"Saat musim hujan sering banjir dan warga di RT 3,4,5,6 dan 7 tidak bisa beraktivitas karena crossway yang dibangun terendam air," kata Burhan.

"Untuk RT 1,2, dan 8 memang tidak terisolir tetapi tidak bisa sekolah," kata dia.

Luapan terjadi karena sungai Prambutan ada pertemuan dengan Kali Oya sehingga alirannya tidak bisa lancar.

"Sudah biasa aktivitas 470 warga di lima RT karena banjir. Kondisi ini sudah terjadi sejak puluhan tahun yang lalu hingga sekarang," kata Burhan.

Letak Padukuhan di sisi selatan ada Sungai Oya, sisi barat tebing, jadi memang sulit untuk mengakses lokasi tersebut.

"Karena dikelilingi sungai, jadi warga disini hampir semuanya bisa berenang. Nah kalau banjir dan kebetulan ada kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan ya lepas baju dan celana berenang menyeberang sungai. Bajunya diangkat gitu," kata Burhan.

Lurah Banyusoco Damanhuri menambahkan, letak Dusun Dungwanglu berada di daerah aliran sungai sehingga potensi banjir tidak bisa dihindarkan.

"Air dari Playen, Paliyan dan Wonosari masuk ke Kali Prembutan," kata Damanhuri.

Menurut dia, upaya untuk meninggikan crossway sudah pernah dilakukan tapi hal itu tetap tidak membantu saat debit air meninggi.

"Hanya satu cara, yakni membangun jembatan. Untuk membangun satu jembatan saja mungkin sekitar Rp 500 juta. Di sisi anggaran dari dana desa tidak memungkinkan. Untuk status jalan tersebut memang jalan desa," kata Damanhuri.

Upaya untuk mendorong dibangunnya jembatan sudah diupayakan berulang kali, tapi hingga saat ini belum ada tindak lanjut hingga kini.

"Sering ditinjau dari Kabupaten, tetapi sampai sekarang belum ada tindaklanjut. Semoga ke depan segera ada solusi bagi warga kami," kata Damanhuri.


Jalan Belanda

Damanhuri menceritakan, kawasan Kedungwanglu sudah dihuni sejak ratusan tahun lalu terbukti ada kompleks makam yang tidak diketahui identitasnya.

"Cerita dari nenek saja makam di sekitar kedungwanglu itu sudah ada sejak dulu. Itu nenek dari pamong kalurahan disini," kata Damanhuri.

Menurut dia, kawasan Kedungwanglu sudah ada jalan cukup lebar yakni menghubungkan Kedungwanglu-Padukuhan Klepu, dan Kedungwanglu-Selopamioro, Bantul.

"Untuk Kedungwanglu sampai Klepu itu belum lama kami bersihkan, ketebalan tanahnya sekitar 2 meter. Jalannya itu dibangun dari batu hitam selebar 7 meter, ada 12 jembatan yang sampai sekarang masih baik," kata Damanhuri.

Hal itu cukup beralasan karena ada pabrik pengolahan kayu putih di sekitar selopamioro, kemungkinan jalan itu dibangun untuk mengangkut hasil hutan.

"Jalannya lebar, di Padukuhan Menggoro ada klinik sudah sejak jaman Belanda. Sampai sekarang masih digunakan. Dulu saat diresmikan, menurut cerita ibu saya itu ada 17 bendera dari berbagai negara," kata dia.

https://regional.kompas.com/read/2021/11/22/154304878/cerita-warga-gunungkidul-yang-selalu-terisolasi-saat-hujan-deras

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke