Salin Artikel

Di Desa Ini Ada Wisata Unik, Jadi "Ranger" Lestarikan Burung Maleo, Tertarik?

MOLIBAGU, KOMPAS.com – Desa-desa yang wilayah berdekatan dengan kawasan peneluran (nesting ground) burung maleo (Macrocephalon maleo) ternyata mampu mengembangkan diri sebagai desa ekowisata.

Melalui pembinaan dari Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Bolaang Mongondow Selatan, Sulawesi Utara(Sulut) para pengelola ekowisata menawarkan pengalaman menjadi ranger yang melestarikan burung endemik.

Pengalaman menarik ini mulai dari pengamatan maleo di habitat aslinya, menggali telur dan memindahkan ke hatchery (kandang penetasan).

Menikmati pengalaman berwisata seperti ini harus didampingi pemandu yang berpengalaman, mereka adalah mitra Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone yang telah menjalani serangkaian pelatihan.

Pengalaman wisata yang paling keren lainnya adalah melepasliarkan burung maleo yang baru menetas di hatchery. Sebagian anakan maleo ini ternyata sudah bisa terbang.

Untuk menjaga agar pelepasliaran anakan maleo ini tidak salah, Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone telah mengeluarkan prosedur standar operasional (standard operational procedure).

Tata cara ini harus ditaati oleh siapapun sebagai upaya untuk menjaga anak maleo tidak mengalami stres, cedera. atau membahayakan.

Sebelum ada prosedur ini, pelepasliaran dilakukan secara sembarangan. Bahkan, sempat ada wisatawan mancanegara yang ditemani pemandu wisata luar desa secara serampangan melemparkan anak maleo ke udara. Cara seperti ini sangat membayakan anak burung maleo.

Untuk mengatasi kesalahan dan potensi bahaya saat melepasliarkan anak maleo, Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone telah mengeluarkan tata caranya.

“Maleo dan burung gosong lainnya merupakan kelompok burung dari suku megapoda dengan ciri khas berupa ukuran telurnya yang besar, tidak mengerami secara langsung,” kata Supriyanto, Kepala Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Minggu (21/11/2021).

Supriyanto menjelaskan telur maleo atau burung gosong lainnya dipendam di dalam tanah atau pasir oleh induknya.

Melalui bantuan panas bumi (geothermal), pembusukan serasah, maupun panas matahari telur ini terinkubasi selama 60 hari.

Anak maleo yang menetas di dalam tanah keluar dari cangkang akan merangkak naik hingga 2 hari untuk mencapai permukaan. Mereka akan hidup mandiri tanpa bantuan induknya.

Supriyanto menjelaskan anak maleo dan jenis megapoda tergolong dalam tipe anak burung yang bersifar nidifugous yaitu dapat cepat meninggalkan sarang tanpa membutuhkan banyak perawatan.

Hatchery semi alami banyak dibangun untuk membantu menyelamatkan telur maleo dan burung gosong dari pemangsaan alami maupun pencurian manusia.

Prinsip utama pengelolaan hatchery adalah harus tetap sealami mungkin, dari proses pemindahan telur, inkubasi, sampai anak maleo dilepasliarkan kembali ke hutan.

Pada saat di hatchery

Biarkan anak maleo atau jenis megapoda setelah menetas dan mencapai permukaan tanah selama beberapa jam.

Umumnya mereka akan berdiam beberaap saat untuk memulihkan kondisi fisik setelah lebih dari 1 hari menuju permukaan tanah.

Jika melihat kepala atau sebagian badan anak maleo masih di dalam tanah, tidak perlu membantu mengeluarkan atau mengganggunya.

Anak maleo segera dilepasliarkan setelah mereka dianggap kuat dan lincah. Anak maleo yang telah kuat ditandai dengan berdiri kokoh pada jari-jari kaki, tidak bersandar pada tarsus, serta bergerak lincah.

Hati-hati ketika menangkap anak maleo dari hatchery, pegang dan genggam dengan kedua tangan, satu genggaman untuk satu anak maleo.

Ketika pelepasliaran

Tempat yang paling baik saat melepasliarkan anak maleo adalah di tepi hutan atau ke arah hutan. Jangan melepas mereka di tengah area peneluran, karena lokasi ini justru tempat yang paling rentan terhadap pemangsaan. Secara alami musuh (predator) berada di lokasi peneluran.

Maleo diletakkan di atas permukaan tanah, tidak lebih dari tinggi anak maleo atau sekitar 10 cm dari permukaan tanah. Lepaskan genggaman secara perlahan dan biarkan maleo kecil ini berjalan atau berlari, bahkan terbang sendiri ke arah hutan.

Disarankan petugas atau orang yang melepasliarkan dalam posisi berjongkok.

Maleo dilepas satu persatu, tidak bersamaan dalam satu genggaman tangan. Anak maleo juga bisa dilepasliarkan dari kotak penyimpanan sementara, langsung ke arah hutan. Jangan menyatukan anak maleo dalam kotak kecil, apalagi yang terbuat dari kawat atau logam. Sebaiknya kotak terbuat dari kardus.

Anak maleo cenderung tertekan dalam ruang sempit secara bersama, berpotensi saling tabrak atau menabrak dinding, hal ini berpotensi mencederai anak maleo.

Dalam standar tata cara pelepasliaran anak maleo ini, Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone juga mengingatkan untuk tidak melempar ke udara agar terbang, karena tidak semua anak maleo sanggup terbang cepat.

Secara alami mereka  aakn mengehmat energi dalam beberapa hari setelah menetas sampai mereka mendapatkan makanan yang cukup.

Selain itu juga petugas yang melepasliarkan tidak boleh basah atau berkeringat pada telapak tangan. Bulu maleo atau megapoda mudah lepas jika terkena tangan yang basah.

“Jangan menghalangi jalan anak maleo ketika mereka menuju hutan. Bagi yang tidak melepas dapat berdiri di belakang atau samping arah pelepasliaran. Adanya manusia di depan dapat meneybabkan anak maleo berbalik arah,” tutur Supriyanto.

Prosedur yang terakhir adalah larangan ribut, seperti suara yang riuh, tepuk tangan, tertawa, atau lainnya.

Secara alami mereka dalam kesunyian, keributan dapat menyebabkan stres dan kebingungan sesaat setelah dilepasliaran.

 

https://regional.kompas.com/read/2021/11/22/082806778/di-desa-ini-ada-wisata-unik-jadi-ranger-lestarikan-burung-maleo-tertarik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke