Salin Artikel

Potret Toleransi Beragama di Jember Utara, Ada Kitab Injil Berbahasa Madura

Di pinggir jalan, Suratmo tampak sedang berada di halaman rumahnya. Tepatnya di sebelah Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Pasamuan.

Suratmo tak sendiri, di tempat tersebut dia tinggal berdua bersama sang istri.

Kitab injil bahasa Madura

Pasangan suami istri itu bertugas untuk merawat dan menjaga gereja. Di rumahnya, Suratmo menyimpan kitab injil berbahasa Madura.

Kitab itu menjadi acuan umat Nasrani dalam mengarungi kehidupan. Terutama dalam menjaga kerukunan antarumat beragama di kawasan Jember bagian utara.

Disana, warga mampu hidup rukun selama bertahun-tahun meskipun berbeda agama, antara Islam dan Kristen.

“Apa pun agamanya, yang penting kita hidup rukun dan damai,” kata Suratmo mengawali perbincangan dengan Kompas.com.

Suratmo dan istrinya selalu bersikap ramah pada setiap tamu yang datang. Baik Muslim maupun Nasrani.

Dia menilai kerukunan yang sudah dibangun di Kecamatan Sumberjambe sudah mengakar.

Tak pernah ada perselisihan antarumat beragama. Meskipun, mayoritas di kawasan tersebut adalah warga Muslim Madura

Beberapa saat kemudian, Suratmo yang memakai peci hitam masuk ke kamarnya lalu keluar membawa kitab injil berbahasa Madura

Namun, dia sudah tak bisa membaca lagi karena faktor usia yang mengaburkan penglihatannya.

“Saya sudah tidak bisa membaca lagi, tidak kelihatan,” aku dia.

Kekuatan merawat toleransi

Kitab injil berbahasa Madura yang disodorkan tampak terlihat terang. Daftar isi buku itu pun berbahasa Madura.

Tertulis, parjanjiyan anyar (Perjanjian baru), kabar bagus se etotorragi Matiyus (kabar baik yang disampaika matiyus) dan lainnya.

Kitab ini menjadi pegangan jemaat Nasrani di kawasan Jember daerah utara.

Kawasan dengan mayoritas warga Madura. Mulai dari Kecamatan Kalisat, Ledokombo, Sukowono dan Sumberjambe.

“Kalau kitab injil yang asli tidak tau, tapi ini yang sudah dicetak ulang,” tambah Purwati, salah satu penjaga GKJW Slateng Kecamatan Ledokombo. Sama dengan Suratmo, Purwati juga bertugas merawat dan menjaga GKJW Slateng.

Purwati yang tinggal di sebelah gereja juga menilai, toleransi di daerah tersebut sudah mengakar. Tak ada lagi perbedaan yang menyebabkan perselisihan.

Ada dua gereja lain yang berada dibawah naungan GKJW Sumberjambe. Yakni satu gereja di Desa Slateng Ledokombo dan satu lagi di Desa Sumberjambe.

GKJW Sumberjambe merupakan bangunan peninggalan Belanda yang masih berdiri kokoh.

Gereja ini dibangun oleh Belanda pada tahun 1882

Gereja yang berdiri di tengah masyarakat suku Madura dibangun oleh pendeta Dr.Julius Petrus Esser, seorang dokter berkebangsaan Belanda.

Adapun kitab injil berbahasa Madura dipegang oleh umat Kristiani itu bukan yang pertama, namun sudah dicetak ulang berkali-kali.

Hanya saja, sejarah kitab ini memiliki perjalanan yang panjang.

“Kitab ini dibaca ketika jemaat melaksanakan ibadah pada hari Minggu,” tutur Suratmo.

Pembacaannya dilakukan secara bergantian. Pada Minggu pertama, memakai bahasa Madura, minggu kedua bahasa Indonesia, begitu seterusnya.

“Dulu ada kitab dengan bahasa Jawa, Batak dan Inggris, namun sudah rusak tersisa,” ucap dia.

Sejarah kitab injil bahasa Madura

Suratmo menjelaskan Kitab Injil berbahasa Madura itu diterjemahkan oleh pendeta Dr. Julius Petrus Esser.

Awalnya hanya bagian injil dan kisah para rasul. Kemudian diterbitkan dalam huruf jawa oleh The Nethgerlands bible society pada tahun 1890

Penerjemahan kitab injil terus dilakukan hingga Esser meninggalkan Desa Sumberpakem.

Hal itu setelah adanya kesepakatan antara umat nasrani di daerah Sumberjambe untuk menterjemahkan kitab Injil ke bahasa Madura.


Keinginan ini mendapat sambutan positif dari GKJW Malang.

Proses penerjemahan dibantu oleh warga Madura.

Selain itu, peran lain dalam proses ini juga dilakukan oleh seorang Katolik bernama Cicilia Jeane d’Arc Hasaniah Waluyo pada tahun 1982.

Dia merupakan guru bahasa Inggris asal Kabupaten Pamekasan.

Setelah bersusah payah melakukan proses penterjemahan, kitab ini kemudian diserahkan pada Lembaga ALkitab Indonesia (LAI).

Kemudian mendapat restu dari LAI agar dicetak sebanyak 3.000 eksemplar.

Keterbatasan dana gereja untuk mencetak kitab ini mendapat dukungan dari sekelompok penginjil di Jerman yang tergabung dalam VEM.

Mereka membantu pencetakan kitab berbahasa Madura hingga 5.000 eksemplar.

Tak heran, hampir semua umat nasrani di Sumberjambe memiliki kitab injil berbahasa Madura itu.

Mereka menyimpan dengan rapi kitab itu. Kemudian dibawa ketika hendak melaksanakan ibadah di gereja.

Bentuk konkret toleransi

Alfisyah Nurhayati, Dosen Antropologi UIN KHAS Jember menambahkan, toleransi yang sudah terbentuk selama bertahun-tahun itu patut diapresiasi.

“Itu bagian bentuk kongkret toleransi, karena tak hanya soal agama. Tapi juga juga konstruksi etnis,” tambah dia.

Selama ini, kata dia, ada stigma bahwa orang Madura itu harus Islam.

Namun, yang terjadi di kawasan Jember Utara berbeda. Ada sebagian warga Madura yang menganut agama Kristen.

“Itu menjadi kelebihan dan keterbukaan orang Madura pada agama lain,”tambah dia.

Dia menilai warga Madura di kawasan Jember Utara sudah mempraktikkan hidup toleran dan beragam.

Mereka tak lagi mempersoalkan perbedaan agama. Namun berpegang pada kekerabatan atau persaudaraan.

“Ini bagian konstrusi kekerabatan Madura, tetap bersaudara, tapi memiliki kebebebasan memeluk agama,” jelas dia. Mereka memahami yang menyatukan mereka adalah budaya. Hal itu menjadi kunci sehinga sikap toleran terus terjaga.

Selain itu, Itu juga ada campur tangan dari tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat. Mereka terus menggelorakan nilai perdamaian di tengah kehidupan warga.

https://regional.kompas.com/read/2021/11/20/101141178/potret-toleransi-beragama-di-jember-utara-ada-kitab-injil-berbahasa-madura

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke