Salin Artikel

Kata Warga Suku Tengger soal Proyek Wisata "Bali Baru" di Kawasan TNBTS: Kami Risih dan Terganggu

Chandra Irawandi, salah satu perwakilan warga suku Tenger yang juga tim dokumentasi kearifan lokal Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur, mengaku menolak proyek wisata "Bali Baru" di TNBTS.

Terlebih lagi, sampai saat ini tidak pernah ada sosialisasi secara lengkap kepada masyarakat suku Tengger soal pengembangan wisata di kawasan TNBTS.

"Jadi kami cuma diiming-imingi, seperti dibuatkan lahan parkir, yang nantinya bisa dikelola masyarakat setempat. Itu dengan alasan meningkatkan ekonomi masyarakat Tengger," kata Chandra kepada Kompas.com, Jumat (19/11/2021).

Menurut Chandra, iming-iming tersebut tak masuk akal. Sebab dengan kelestarian alam di sana, masyarakat suku Tengger dinilai sudah cukup makmur. 

Bahkan, pendapatan per hari masyarakat Tengger rata-rata mencapai Rp 500.000 yang berasal dari aktivitas bertani.

"Jadi kalau pemerintah bilang mau meningkatkan ekonomi masyarakat Tengger, itu masyarakat yang mana?" ucap dia.

Ia menambahkan, sumber daya alam yang berada di desa-desa suku Tengger itu sudah cukup bagus tanpa perlu ada pembangunan.

Namun, jika pemerintah berpikir untuk mencari keuntungan, hal itu akan menjadi berbeda.

Dengan pengembangan kawasan TNBTS, pemerintah selalu mengatakan akan memberikan lapangan pekerjaan kepada masyarakat suku Tengger.

Ia menilai, bila masyarakat mengambil peluang untuk bekerja sebagai karyawan, pendapatan mereka justru akan menurun.

Bahkan, sekali pun tidak ada parisiwisata di sana, Chandra menilai masyarakat suku Tengger tetap bisa hidup makmur.

"Kalau masyarakat bekerja di sana, UMR kabupaten Malang cuma berapa sih. Mereka jadi tukang ojek ke kebun, setengah hari mereka sudah dapat Rp 300.000. Tanpa pariwisata pun masyarakat di sini bisa hidup dan makmur," ucap Chandra.

"Karena pembangunan ini, kalau bicara keuntungan untuk masyarakat sendiri nggak ada. Tanpa ada taman nasional pun, kehidupan masyarakat suku Tengger sudah lestari," imbuh dia.

Risih dan terganggu

Masyarakat suku Tengger justru merasa risih dan terganggu dengan rencana pengembangan kawasan TNBTS tersebut.

Sebab, pemerintah selalu mengabaikan zona-zona religi atau tempat yang disakralkan untuk dibangun fasilitas wisata.

Apalagi, pengelola taman nasional sebagai pengakses kearifan lokal di kawasan TNBTS yang dihuni warga suku Tengger tidak pernah berbicara secara langsung kepada masyarakat setempat.

"Kami menjadi risih dan merasa terganggu. Kami tidak terima karena kawasan itu sudah disakralkan oleh masyarakat selama ratusan tahun. Tahu-tahu, pengelola taman nasional, dengan investornya, datang membangun wisata di situ," ucap Chandra.

Dia juga mempertanyakan klaim pemerintah yang mengatakan selalu melibatkan tokoh setempat setiap kali membahas perencanaan pembangunan proyek wisata "Bali Baru".

Menurut dia, warga yang dilibatkan hanya orang yang bekerja untuk taman nasional.

Kemudian juga mantan kepala desa yang dinilai sudah tidak lagi memiliki kekuasaan dan kekuatan.

"Sedangkan tokoh masyarakat seperti kepala desa, BPD, Mbah Dukun, itu tidak diajak bicara secara langsung," tutur dia.

Pembangunan jembatan kaca

Ia pun mempersoalkan rencana pembangunan jembatan kaca yang bersebelahan dengan Punden Kutugan di blok Jemplang, Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang.

Menurutnya, pembangunan fasilitas pariwisata itu justru mengancam punden (tempat keramat) yang keberadaannya sangat penting bagi masyarakat Suku Tengger Desa Ngadas.

"Yang jadi problem itu, satu, di situ ada situs yang sangat disakralkan oleh masyarakat. Itu namanya Punden Kutugan, yang menjadi pintu masuk (gerbang) jika masyarakat hendak ke Bromo untuk memberikan tamping atau persembahan di Kutugan," kata Chandra.

Ia mencontohkan, saat upacara Kasada, misalnya, Mbah Dukun dengan perlengkapan sesajian akan membuka pintu gaib.

Jadi, sebelum warga naik ke Bromo, salah satu pintu yang ada di Kutugan harus dibuka terlebih dulu oleh Mbah Dukun.

"Kalau enggak ada urusan, apalagi pintu (gaib) tidak dibuka, masyarakat Tengger enggak berani masuk ke punden atau situs yang disakralkan itu. Karena itu berhubungan dengan religi dan adat suku Tengger," ujar Chandra.

Menurut Chandra, jika ingin mengikuti zonasi dengan benar, seharusnya area di sekitar Punden Kutugan tidak boleh terganggu.

Ia menilai, pengelola TNBTS semestinya menandai wilayah tersebut sebagai zona religi yang tidak boleh diganggu.

Namun faktanya, kawasan religi itu justru masuk dalam zona pemanfaatan.

"Ini kan kacau, padahal itu zona religi yang harus dihormati. Ini menjadi lucu karena yang menentukan zonasi kawasan di TNBTS itu siapa, kan taman nasional juga, terus yang membawa investor taman nasional. Ini seperti orang main bola diwasitin sendiri," kata Chandra.

Mata air banyu ledhok

Kemudian, pemanfaatan mata air banyu ledhok yang akan dimanfaatkan untuk proyek wisata di blok Jemplang, Desa Ngadas, juga dipertanyakan.

Bagi warga suku Tengger, banyu ledhok merupakan mata air yang sangat disakralkan oleh penduduk.

"Karena itu air suci yang dipakai untuk ritual. Jadi itu yang menjadi sorotan oleh kami-kami di sini," kata Chandra.

Eksploitasi semacam itu sangat bertentangan dengan sikap warga suku Tengger yang memegang teguh tradisi leluhur.

Ketika terjadi eksploitasi berupa pemanfaatan lahan yang didayagunakan untuk pengembangan wisata di kawasan TNBTS, warga suku Tengger hanya bisa pasrah.

Namun, jika para leluhur mereka tidak berkenan, hal itu dinilai bisa memunculkan dampak negatif, salah satunya seperti bencana alam.

"Padahal kami di sini sangat memegang teguh adatnya. Jadi adat itu menjadi sangat penting, karena tanpa adat, kami tidak akan bisa lestari sampai hari ini," kata Chandra.

Ia menuding pengembangan wisata itu tidak memiliki azas manfaat, terutama bagi warga suku Tengger dan keuntungan bagi pemerintah desa di sana.

Sebab, klaim meningkatkan ekonomi yang digaungkan pemerintah sangat berbeda dengan memakmurkan desa.

Justru, kata Chandra, pembangunan proyek wisata itu mengancam keberlangsungan hidup warga suku Tengger di masa depan.

"Iya, sisi keharmonisan warga suku Tengger akan terancam (di masa depan). Ini kan cuma akal-akalan saja sebenarnya," kata dia.

Ketimbang mengembangkan pariwisata di kawasan TNBTS, ia mempertanyakan mengapa pemerintah tidak mendorong peningkatan pendapan asli desa (PADes) dari adanya pariwisata di kawasan tersebut.

Sebab, meskipun masyarakat suku Tengger makmur, tetapi pendapatan asli desanya masih kecil karena desa tidak mendapatkan apa-apa dari pariwisata karena hanya mengandalkan dana desa.

Selama ini, kata Chandra, pengelola taman nasional memasang pos jalur di blok Jemplang menuju Gunung Bromo.

Setiap orang yang akan masuk ke jalur pos itu diharuskan membayar biaya tiket masuk namun tidak ada kontribusi yang masuk ke desa.

"Orang masuk ke kawasan TNBTS kan harus membeli tiket. Sedangkan kontribusi tiket ke desa itu apa, tidak ada. Uang itu tidak masuk sama sekali ke desa," kata dia.

Jika desa mendapatkan tambahan PADes, desa-desa yang menjadi tempat penghidupan masyarakat suku Tengger bisa menjadi desa mandiri dan tak perlu melulu bergantung dari desa.

"Sampai kapan desa ini akan ketergantungan dengan dana desa? Keinginan kami, pak kepala desa, tokoh-tokoh adat, inginnya desa itu mandiri. Kita mau bangun apa pun ya terserah desa. Karena desa ini sebenarnya secara de facto adalah desa adat," kata Chandra.

Namun, karena desa adat belum teregistrasi atau tercatat di Indonesia, desa-desa suku Tengger masih menjadi desa administrasi sampai saat ini.

Dengan status desa administrasi, ia menilai untuk bisa menjadi mandiri akan sulit.

"Karena kalau desa administrasi itu kan dalam kontrol pemerintah kabupaten dan provinsi," ujar dia.

Masyarakat suku Tengger masih berharap suatu saat desa-desa suku Tengger bisa menjadi desa otonom, meski itu suatu hal yang musykil.

Posisi desa-desa yang berada dalam kawasan TNBTS itu menjadi cukup rumit bagi warga suku Tengger yang telah banyak kehilangan hak-haknya.

"Yang diinginkan masyarakat Tengger itu desa otonom. Ini menjadi rumit karena posisi desa-desa suku Tengger berada dalam kawasan taman nasional," ucapnya.

"Jadi hak-hak masyarakat banyak yang tercerabut oleh taman nasional. Padahal pemilik wilayah itu adalah masyarakat desa adat, pemerintah desa," imbuh Chandra. 

https://regional.kompas.com/read/2021/11/19/114508578/kata-warga-suku-tengger-soal-proyek-wisata-bali-baru-di-kawasan-tnbts-kami

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke