Salin Artikel

Digelar di 4 Lokasi, Biennale Jogja XVI Equator #6 Kerja Sama dengan Negara Kawasan Oceania

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Biennale Jogja XVI Equator #6 digelar di 4 lokasi di Yogyakarta seperti di Jogja National Museum (JNM), Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Museum dan Tanah Liat (MDTL), dan Indie Art House.

Biennale Jogja XVI ini bekerja sama dengan negara-negara kawasan Oceania atau Pasifik.

Tujuan bekerja sama dengan negara-negara Oceania adalah untuk memperkenalkan kepada masyarakat Yogyakarta bahwa Indonesia bagian timur adalah termasuk kawasan Oceania.

"Penggunaan terma Oceania, kami bekerjasama dengan negara-negara Oceania seperti Fiji, New Zealand, dan lainnya. Kami berusaha meluaskan pengertian bahwa Oceania tidak terbatasi teritori Pacifik," jelas Kurator Biennale Jogja XVI Equator #6 Ayos Purwoaji saat ditemui di JNM, Rabu (4/11/2021).

Ia mengungkapkan, Oceania terbentang dari Hawai hingga Maluku, Fiji hingga Papua.

Menurut dia, ada kemiripan antara orang Oceania dengan Indonesia timur yakni sama-sama Melanesia.

Oleh sebab itu, pada Biennale Jogja XVI ini banyak seniman-seniman dari Indonesia Timur mengikuti pameran seni rupa kali ini. Mereka merepresentasikan apa yang saat ini terjadi di Indonesia timur ke bentuk-bentuk karya seni rupa.

"Itulah mengapa banyak sekali seniman yang datang dari Maluku, Papua, NTT. Kami memiliki pemahaman Indonesia bagian timur adalah merupakan Oceania," kata dia.

Kurator lainnya Biennale Jogja XVI Equator 6# Evi Nurvista menambahkan pada pameran Jogja Binnale XVI ini terdapat 34 seniman yang terlibat dalam pameran seni rupa ini.

Ia menjelaskan, pada pameran ini ada beberapa isu-isu yang menjadi eprhatian seperti diaspora  atau imigrasi, baik itu imigrasi pekerja atau buruh, hingga migrasi orang-orang yang mencari suaka.

Sejarah kolonialisme Eropa, penemuan kartografi, perkembangan alat transportasi, dan pertumbuhan gagasan mengenai internasionalisme menyebabkan terjadinya migrasi dan diaspora masyarakat adat di seluruh dunia.

Perpindahan fisik tersebut juga membuat sebuah komunitas masyarakat adat terlepas dari tanah asalnya.

Di tanah yang baru, mereka pun lantas merombak ulang tata kehidupan yang sebelumnya dikenal, lantas membentuk kebudayaan campuran melalui proses negosiasi dan asimilasi selama beberapa generasi.

"Dalam kondisi yang sedemikian hibrid, bagaimana warga diaspora di seluruh dunia mendefinisikan akar identitas mereka? Bagaimana pula mereka memandang konsep “nasionalisme” yang mensyaratkan kesatuan sebuah komunitas dalam garis-garis batas geografis?" kata Evi.

Biennale Jogja XVI Equator #6 mencoba merespon fenomena tersebut dengan mengajukan tema “Roots <> Routes” yang berusaha membentangkan spektrum persoalan antara budaya dan mobilitas, seperti perihal kepribumian (indigeneity) dengan rasialisme; batas-batas teritorial (territorial borders) dengan diaspora; mitologi dengan modernitas; pengetahuan tempatan dengan krisis ekologi; hingga ideologi pembangunan dengan batas-batas pertumbuhan (the limit of growth).

"Melalui judul ini berbagai pertanyaan kembali terbuka untuk diajukan, seperti misalnya masih pentingkah, dan bagaimana cara membicarakan keaslian atau lokalitas dalam dunia yang semakin global dan terhubung," kata dia.

https://regional.kompas.com/read/2021/11/04/160015878/digelar-di-4-lokasi-biennale-jogja-xvi-equator-6-kerja-sama-dengan-negara

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke