Salin Artikel

Cerita Pasangan Difabel Rintis Bisnis hingga Beromzet Ratusan Juta Rupiah

Satu per satu diangkatnya, mulai dari tas, sepatu, kain, pashmina, baju hingga berbagai jenis olahan makanan.

Ibu dari lima anak itu mengaku merintis usahanya dari nol dalam bidang jasa pada 2013.

Awalnya olahan makanan dan kini menggeluti ecoprint, teknik memberi pola pada kain dengan menggunakan bahan alami.

Dengan segala keterbatasannya, Jannah sangat merasakan pasang surut dalam mengembangkan usahanya, mulai dari modal hingga cemooh masyarakat.

Sementara suaminya Rizal Assor (44) juga sebagai difabel, berjalan dengan memakai kursi roda akibat jatuh sejak usianya 3 tahun.

“Peran suami sangat besar, jatuh bangun dia terus berikan support. Pernah posisi kita down sekali. Dia sampai tanya kita ini jatuh bangun, terus saya jawab kalau kita tidak bangkit, terus mau buat apalagi. Yang buat saya kuat adalah anak-anak, apalagi saya perantau, kalau bapak asli sini (Ternate),” tutur Jannah.

“Kalau bapak hobi musik, kerja di Red Corner sebagai pemain saxophone. Dia juga Ketua Ikatan Difabel Makugawene Ternate,” tambahnya lagi.

Dicemooh masyarakat

Selama merintis bisnis, pasangan ini sudah merasakan berbagai cemoohan.

Mulai dari pertanyaan siapa orang di balik usaha rumahan mereka sampai keraguan soal kualitas barang yang diproduksi.

“Bahkan kami sampai diperiksa sampai ke dalam,” kata Jannah.


Masalah utama yang ia hadapi adalah stigma masyarakat. Banyak orang yang merasa tidak mungkin seorang ibu Jannah bekerja membuat olahan makanan seperti sambal roa dan garam pati.

“Benar di dapur saya pakai kursi roda supaya tidak jatuh, tapi di sana saya suruh karyawan yang tunarungu, dan saya selalu kontrol karena mereka tidak bisa mendengar dan tidak bisa bicara, mereka andalkan fisik,” tuturnya.

Kadang-kadang mereka dicemooh, orang beli produk hanya karena mungkin merasa kasian.

“Tapi saya tidak pernah mengatakan produk saya enak. Saya hanya berusaha, saya tetap berbuat, menutup mata telinga tentang stigma, tetap berbuat, bekerja, rezeki sudah diatur,” tuturnya.

Bahkan pernah sekali saat pameran, produknya benar-benar detail diperiksa seperti mencari kekurangan produk, apakah sama dengan yang membuatnya.

“Saya memang difabel tapi utamakan kualitas produk kami. Perilaku seperti itu merasa seperti diskriminasi. Ada juga pertanyaan kenapa tidak batik ini, tenun si A yang sudah go internasional, kenapa harus Mayana Ecoprint,” jelasnya lagi.

Beromzet ratusan juta rupiah

Saat melebarkan sayap usahanya ke ecoprint pada 2020, Nurjannah mengenal PT Pertamina. 

Dia kemudia menerima suntikan dana Rp 20 juta melalui program mitra untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Dengan Pertamina, Nurjannah mengaku tak hanya mendapatkan modal usaha, tapi juga banyak yang ia pelajari, terutama menjadi seorang enterprenuer yang sukses, membuat hasil produksi yang bagus, perizinan, promosi hingga ekspor.

“Ecoprint ini baru. Sekitar 2019 saya tertarik dengan kain, motif daun dan pewarna alama. Selama setahun belajar, memahami semua, apa itu ecoprint. Sampai 2020 kita launching dan buat pelatihan untuk SLB kota Ternate, alhamdililah sampai sekarang,” kata Nurjannah.

Ecoprint adalah teknik memberi pola pada kain dengan menggunakan bahan alami.

“Kalau saya mungkin ini lebih ke batik kontemporer. Saya tertarik ini karena saya mau angkat bahwasanya Maluku Utara punya tumbuhan, zat pewarnanya bisa dipakai kain tertentu,” katanya.

Dari usaha ecoprint, dia memproduksi berbagai jenis kain, shal, pashmina, baju, kain dan tas dengan berbagai jenis bahan.

Untuk shal, pashmina dan baju bahan dasarnya mulai dari katun hingga sutera, sementara tas dan sepatu kulit asli sapi.

Harganya pun bervariasi, mulai dari ratusan ribu hingga belasan juta rupiah.

“Produk Mayana Ecoprint ini, Alhamdulilah dipakai oleh tamu VVIP pada moment STQ (Seleksi Tilwatil Qur’an) tingkat Nasional ke XXVI di Sofifi (Ibu Kota Provinsi Maluku Utara) belum lama ini,” katanya.

“Bahkan ada baju yang harganya Rp 15 juta terjual. Kalau dihitung-hitung saat STQ kemarin itu omzetnya ratusan juta rupiah,” katanya lagi.


Karyawannya juga difabel

Selain olahan makanan dan ecoprint, Nurjannah juga memiliki lembaga kursus dan pelatihan (LKP) Serba Usaha.

Dari sini kemudian dia mempekerjakan mereka baik di usaha olahan makanan maupun ecoprint.

Di LKP, hampir semua pesertanya adalah penyandang disabilitas dan itu tidak dipungut biaya bagi yang difabel, sementara yang bukan difabel ada biaya pelatihan.

“Nah uang dari peserta yang bukan difabel kita subsidi silang, uangnya dibelikan alat-alat bagi kebutuhan yang difabel,” kata Jannah.

Jannah mengaku sangat peduli dengan sesama difabel, karena dia melatihnya sehingga dapat berbuat dan bermanfaat, tidak kalah dengan yang bukan difabel.

“Saya kalau tidak sayang, saya mungkin berpikir untuk kembangkan usaha. Tapi demikian bagaimana dengan masyarakat yang difabel, jadi saya itu bagaimana menguatkan mental mereka,” tutupnya.

https://regional.kompas.com/read/2021/10/30/122438978/cerita-pasangan-difabel-rintis-bisnis-hingga-beromzet-ratusan-juta-rupiah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke