Salin Artikel

Kisah Lada Hitam Lampung, Dulu Dicari Penjajah Kini Diekspor dari Rumah

Bumiku Tanoh Lampungku Lawi/Panjak Wah wah di Nusantara/Tani Tukun Sangun Jak Jebi/Tanoh Lampungku Tanoh Lado.

(Bumiku Tanah Lampung/Terang di Nusantara/Petani damai sejak dahulu/Tanah Lampungku tanah lada)

Demikian penggalan lagu berjudul Tanoh Lado, sebuah lagu pop berbahasa Lampung yang dipopulerkan mantan Bupati Lampung Tengah, Andy Achmad.

Lagu yang diciptakan Fath Syahbudin pada 2010 ini menggambarkan betapa berharganya komoditas lada hitam bagi petani di masa keemasannya.

Berbagai literasi mengenai jalur rempah menyebutkan, lada hitam Lampung menjadi incaran para londo dari Eropa di zaman penjajahan.

Namun, komoditas pertanian yang menjadi ikon Provinsi Lampung ini seperti terasing di negeri sendiri.

Kepala Balai Karantina Pertanian Lampung, Muh Jumadh mengatakan, lada hitam Lampung sebenarnya memiliki potensi dan pasar tersendiri di dunia internasional.

Tetapi, bahkan oleh petani, lada hitam ini dianggap kurang menjanjikan.

"Lampung dahulu terkenal sebagai tanoh lado, sentra penghasil lada di Nusantara, sudah terkenal sejak zaman kolonial," kata Jumadh usai Bimbingan Teknis Ekspor Lada Hitam dan Hortikultura, Kamis (28/10/2021) di Lampung Utara.

Menurut Jumadh, berbagai kendala membuat petani seperti menafikan komoditas lada hitam yang termasuk unggulan ini.

Mulai dari alih fungsi lahan, hingga kesulitan petani memasarkannya.

Padahal, kata Jumadh, lada hitam Lampung menjadi primadona di berbagai negara seperti Vietnam, India, Prancis hingga Belanda.


Ekspor lada hitam

Berdasarkan catatan Balai Karantina Pertanian Lampung, pada 2019 lalu ekspor lada mencapai 15,6 ton, terbanyak diantara wilayah kerja Karantina Pertanian lainnya, masing-masing Tanjung Priok (12.300 ton), Makassar (6.700 ton), Surabaya (4.600 ton) dan Pontianak sebanyak 3.900 ton.

Kemudian, ekspor pada periode Januari - Mei 2021 mencapai sekitar 7.000 ton, atau meningkat 57 persen dibanding periode yang sama tahun 2020 yang hanya sekitar 3.606 ton.

Tetapi, ekspor tersebut hanya dilakukan oleh eksportir partai besar, bukan langsung dari petani.

"Ini yang coba kita ubah, mindset selama ini ekspor adalah jumlah yang banyak, berkontainer-kontainer. Padahal, petani pun bisa menjadi eksportir, yang tentunya lebih menguntungkan petani itu sendiri," kata Jumadh.

Salah satu caranya, kata Jumadh, adalah "ekspor" dari rumah.

"Tidak perlu banyak-banyak, sekilo, dua kilogram, tiga kilogram pun bisa dilakukan sekarang. Sudah mudah, dengan digital marketing yang pangsa pasarnya langsung ke luar negeri," kata Jumadh.

Sebagai keterjaminan ekspor ini diterima oleh masyarakat internasional, Jumadh menambahkan, kualitas harus tersertifikasi.

"Ini yang sedang kita lakukan, kita sertifikasi kualitas calon ekspor itu, agar tetap terjamin diterima di negara tujuan," kata Jumadh.

Branding digital

Praktisi digital marketing, Andy Narendra yang menjadi pemateri bimbingan teknis ekspor lada mengutarakan, branding sangat diperlukan untuk menarik perhatian.

"Ketika sudah ada jaminan kualitas, bisa saja diberikan keterangan, lada hitam Lampung paling pedas, why not? Ini adalah branding," kata Andy.

Mau tidak mau, kata Andy, di zaman sekarang petani pun harus mengembangkan skill lain, khusus di dunia marketing.

Menurut Andy, masyarakat internasional lebih memiliki keterikatan yang kuat ketika sudah klop dengan sebuah produk.

"Sepanjang pengalaman saya, harga tidak pernah menjadi masalah. Mereka (masyarakat internasional) lebih aware dengan kualitas," kata Andy.

Karena itu, kata Andy, sangat penting mencantumkan deskripsi dan keunggulan dengan produk lain yang serupa, serta jaminan kualitas seperti sertifikasi dari instansi penjamin.

https://regional.kompas.com/read/2021/10/28/212821878/kisah-lada-hitam-lampung-dulu-dicari-penjajah-kini-diekspor-dari-rumah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke