Salin Artikel

Jalan Panjang Gula Kelapa Banyumas, Bangkit Kala Pandemi hingga Go Internasional lewat Pasar Digital

BANYUMAS, KOMPAS.com - Pagi buta, saat semua orang masih terlelap tidur, Katun Budiono sudah sibuk mengasah arit di dapur rumahnya.

Seperangkat peranti untuk menyadap nira kelapa ditata dengan saksama di atas risban kayu. Air laru dari rawisan kulit manggis dan ragi dituang ke dalam pongkor bambu satu per satu.

Selepas subuh, pria berusia 49 tahun itu melangkahkan kaki menuju kebunnya di RT 005 RW 005, Grumbul Karangpetir, Desa Semedo, Kecamatan Pekuncen, Banyumas, Jawa Tengah.

Kabut dingin memeluk semangat Pak Katun kala menjemput rupiah dari setiap tetes nira yang akan dimasak sebagai bahan baku gula kelapa.

“Saya jadi penderes atau penyadap nira sejak tahun 2003. Dulu nira kelapa diolah jadi gula cetak, kalau sekarang saya bikin gula kristal atau gula semut,” katanya.

Urat pengalaman tercetak tegas di kulitnya yang legam. Posturnya kekar, geraknya liat, kakinya serupa kapak, meniti mantap di setiap ruas pohon yang menjulang setinggi 15 meter mencumbu langit.

Sesampainya di puncak, dengan piawai, Pak Katun mengiris tipis pucuk bunga manggar, lalu dijuntaikannya ke dalam pongkor agar nira tercurah keluar.

“Saya setiap hari memanjat 30 pohon, sudah rutinitas pagi sama sore, enggak pernah libur,” ujarnya.

Selesai dengan pohon pertama, Pak Katun rehat sejenak. Sembari sandar di pangkal pelepah, matanya menatap ke timur jauh.

Dari ketinggian, nampak cakrawala rekah mengabarkan pagi. Pemandangan inilah yang selalu menyulut semangat Pak Katun selama 18 tahun berkiprah.

Sebatang tembakau yang terselip di sela jemari diisapnya dalam-dalam ke rongga dada.

Begitu nafas terkumpul, Pak Katun bersiul dengan suara yang melengking tinggi.

Sejurus kemudian, sayup terdengar bunyi senada bertalu-talu dari kejauhan.

Rupanya, bersahut-siul adalah ritual purwakala untuk saling menyapa antar‘pejabat tinggi’ metafor jenaka bagi profesi penderes nira kelapa.

Benar, Penderes nira kelapa merupakan mata pencaharian utama bagi sebagian besar warga di Desa Semedo.

Selain Pak Katun, ada ratusan warga Desa Semedo yang berprofesi sebagai penderes nira, satu di antaranya adalah Edi Sisnanto.

Bapak dua anak itu mulai menderes sejak masih berusia remaja, sekitar awal tahun 1999.

Dari hasil menderes, setiap hari Pak Edi bisa memasak 6-8 kilogram gula semut siap jual.

“Untuk sekarang, harga gula semut dari petani ke pengepul sekitar Rp15.000. Ya, kalau dirata-rata sehari penghasilannya Rp100.000,” katanya.

Hidup di desa dengan penghasilan sebanyak itu bagi warga Semedo mungkin sudah lebih dari cukup.

Namun, berbicara soal kesejahteraan penderes di Kota Satria merupakan cerita yang panjang.

Adalah Ahmad Sobirin (34), aktor penggerak yang berhasil mengubah wajah industri gula kelapa di Banyumas.

Dengan konsep sociopreneur, dia menyulap produk gula kelapa dari yang sebelumnya dipandang sebelah mata menjadi primadona di pasar digital hingga tembus pangsa mancanegara.

Ketika berbincang dengan Kompas.com, Sabtu (16/10/2021), pria yang akrab disapa Sobirin ini berkisah awal mula terjun ke bisnis gula semut pada tahun 2013.

"Awalnya saya mencoba jadi pengepul, dari sana saya dekat dengan beberapa penderes, terus mulai sedikit demi sedikit mengajak untuk beralih dari produksi gula cetak ke gula semut," katanya.

Alasan utama Sobirin fokus ke gula semut karena dia melihat pertumbuhan pasar ‘si cokelat manis’ yang semakin kuat.

Dia juga yakin, produk gula Desa Semedo punya nilai tawar lebih karena diproses dengan perlakuan organik.

“Tapi awalnya memang berat sekali untuk memberi edukasi soal produk baru ini pada penderes, karena kebanyakan pada ngga mau ribet,” ujar alumni Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada (UGM) itu.

Sobirin menjelaskan, gula semut atau gula kristal adalah gula kelapa berbentuk bubuk.

Menurut dia, para penderes enggan beralih karena proses produksi gula semut sedikit lebih rumit dibanding gula cetak.

"Proses awalnya sebenarnya sama, nira kelapa dimasak sampai jadi kental (karamel). Bedanya, kalau gula cetak cuma tinggal dituang ke cetakan, sedangkan gula semut masih ada proses lanjutan seperti digilas, diayak dan dijemur atau di-oven," katanya.

Seiring berjalannya waktu, makin banyak penderes yang akhirnya mau belajar dan beralih ke gula semut.

Hal ini disebabkan selisih harga antara gula cetak dan gula semut yang terpaut jauh.

Bayangkan, gula cetak yang biasa diproduksi penderes 10 tahun lalu hanya dihargai Rp 1.500 per kilogram, sementara gula semut atau gula kristal sudah menyentuh harga Rp 7.000 per kilogram.

"Selain itu, pasar mancanegara untuk produk gula semut juga sedang tumbuh subur, terutama di Eropa. Permintaan selalu naik karena kesadaran pola hidup sehat, mereka menggeser konsumsi gula tebu ke gula kelapa organik," ujarnya.

Untuk menampung penderes dan menyeragamkan kualitas produk, Sobirin membentuk Kelompok Tani Manggar Jaya pada tahun 2014.

Forum ini terus berkembang hingga bertransformasi menjadi Kelompok Usaha Bersama (Kube).

Saat pasar gula semut semakin bergairah, Sobirin pun berinisiatif untuk memperbaiki branding gula semutnya dengan merek "Semedo Manise".

Kualitas ditingkatkan, kemasan diperbaiki dan pasar diperluas hingga menjadi pemasok utama salah satu eksportir terbesar di Banyumas Raya.

Jalan nasib gula semut Banyumas memang selegit rasanya. Ketekunan Sobirin dalam merajut daya penderes lokal berkembang pesat dalam kurun waktu 2018-2021.

Selama itu pula, Sobirin terus berupaya untuk membuka akses pasar yang lebih luas.

Ekspor gula yang sebelumnya dilakukan dengan sistem curah, oleh Sobirin mulai diinisiasi secara mandiri.

Caranya dengan menggencarkan promosi dan mengirimkan sejumlah sampel gula ke Belanda dan Jepang.

Selain itu, dia juga sudah mendaftarkan produk Semedo Manise untuk tiga jenis sertifikasi, yakni izin Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT), sertifikasi halal, dan sertifikasi organik.

Secara kelembagaan, Sobirin juga membentuk koperasi bernama Semedo Manise Sejahtera.

“Kami juga membuat PT untuk syarat administrasi dalam upaya ekspor impor mandiri,” ujarnya.

Tanpa diduga, upaya strategis yang dilakukan Sobirin membuat iklim Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) gula semut di Banyumas makin melejit.

Harga gula semut dari petani ke pengepul yang sebelumnya hanya Rp 7.000 per kilogram naik menjadi Rp 21.000 per kilogram pada 2020.

Alhasil, penderes dari seantero kabupaten berbondong-bondong migrasi untuk memproduksi gula semut.

Saat ini, Koperasi Semedo Manise Sejahtera memiliki 10 desa binaan dan menaungi sedikitnya 1.000 petani penderes.

“Produksi kami terus naik, dari tiga tahun lalu hanya 3-5 ton per bulan, saat ini sudah 100 ton per bulan,” ungkapnya.

Selama menjalankan bisnis gula semut, Sobirin tak pernah berpaling dari akar pemberdayaan masyarakat.

Terbukti, koperasi yang dibentuk Sobirin berkomitmen untuk menyisihkan Rp 500 per kilogram untuk dikembalikan ke petani dalam bentuk Tabungan Hari Raya (THR), BPJS Ketenagakerjaan, dan kas kelompok tani.

“Target kami (kompensasi) terus naik hingga Rp1.000 per kilogram untuk kegiatan sosial, bantuan alat dan kontribusi ke PADes setiap desa,” ujarnya.

Di kala penderes dan pengusaha tengah menikmati manisnya pasar ekspor, secara mengejutkan pandemi Covid-19 menghantam mereka.

Seluruh sektor perekonomian rakyat terimbas, tidak terkecuali industri gula semut.

Bagaimana tidak, gula semut yang selama ini bergantung pada pasar ekspor harus terhambat karena pembatasan operasional kapal kargo.

“Sejak awal tahun 2021 kapal kargo terkendala birokrasi antar negara karena Covid-19. Kalaupun ada, biaya kirim bisa naik sampai 10 kali lipat, informasinya satu kontainer bisa hampir 20.000 dolar,” katanya.

Karena itu, para pengusaha gula semut sepakat melakukan restrukturisasi harga untuk subsidi kargo.

Imbasnya, harga jual petani turun drastis dari sebelumnya Rp21.000 merosot ke angka Rp15.000 per kilogram.

Dihadapkan dengan polemik baru, Sobirin terus memutar otak.

Pasalnya, timbunan stok gula semut yang terus menggunung di gudangnya juga harus segera diputar.

Sesungguhnya Tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri, begitu pun Sobirin dengan gula semutnya.

Tak ada pilihan lain, ketika pasar ekspor dipaksa melambat, maka Sobirin harus menggenjot pasar domestik.

Dia pun melakukan riset inovasi dan meramu varian gula semut rasa jahe, rempah hingga empon-empon.

Seperti diketahui, pada awal pandemi, tren ramuan jamu tradisional dari jahe hingga empon-empon sempat ramai karena dipercaya bisa meningkatkan sistem imun demi menangkal virus Covid-19.

“Momentum itu saya manfaatkan dengan membuat produk gula varian empon-empon, jahe dan rempah,” ujarnya.

Di luar dugaan, animo permintaan masyarakat sangat tinggi untuk produk-produk terbaru Semedo Manise.

Reseller mulai berdatangan, bahkan penawaran distributor juga datang bukan hanya dari lokal Banyumas melainkan juga dari luar Jawa.

“Akhirnya kami maksimalkan penjualan di marketplace dan media sosial. Tahun 2020 penjualan domestik tumbuh hingga 50 persen karena pasar digital,” ujarnya.

Tokopedia Center

Upaya digitalisasi UMKM di Kabupaten Banyumas rupanya tidak hanya dilakukan oleh Semedo Manise.

Kompas.com melakukan penelusuran produk UMKM di aplikasi Tokopedia dan menemukan satu toko online bernama ‘Produk Desa Banyumas’.

Merchant Produk Desa Banyumas menampilkan aneka kuliner asli Kota Ngapak mulai dari kopi hingga brownies tempe.

Tak hanya itu, deretan kerajinan khas seperti tas rajut hingga kain batik juga menghiasi etalase Produk Desa Banyumas.

Pemilik toko Produk Desa Banyumas, Pradna Paramita (40) mengatakan, dia menginisiasi gerakan sociopreneur ini untuk mengangkat produk UMKM Banyumas di marketplace.

“Saat ini sudah ada 72 produk UMKM desa di Banyumas yang kami pasarkan di sejumlah marketplace,” katanya ketika dihubungi, Rabu (20/10/2021).

Pradna mengungkapkan, kelemahan para pelaku UMKM di Banyumas adalah perkara branding.

Menurutnya, kebanyakan pelaku UMKM masih abai terhadap logo, kemasan, hingga konten promosi di dunia maya.

“Kami menawarkan bantuan kepada para pelaku UMKM di Banyumas untuk pembuatan konten produk gratis. Konten tersebut yakni foto dan video produk untuk promosi di marketplace dan sosial media kami,” terangnya.

Dengan bantuan branding dan jejaring promosi, Produk Desa Banyumas menawarkan dua jenis kerjasama kepada setiap pelaku UMKM yang ingin bermitra.

“Bisa bagi hasil artinya kita mendapat persentase dari penjualan, atau bisa juga sistem mark up,” terangnya.

Sistem kerja sama ini, menurut Pradna, sangat mempermudah pelaku UMKM yang masih merintis usaha.

Sebab, tidak ada biaya jasa pengemasan branding yang dibebankan kepada UMKM di awal kerja sama.

“Prinsip kami adalah membantu pelaku UMKM, kami juga punya tim khusus untuk desain grafis dan media yang disiapkan untuk order kerja profesional,” ujarnya.

Untuk diketahui, di Banyumas sendiri sudah dibentuk Asosiasi Pengusaha Industri Kecil Menengah Banyumas (Aspikmas).

Ketua Aspikmas Pujianto mengatakan, sejauh ini lembaganya telah melakukan penetrasi digital ke 3.300 UMKM di Banyumas.

Aspikmas juga aktif membangun jejaring ke sejumlah akun media sosial kota, seperti @infopurwokerto dan @instapurwokerto untuk berperan aktif menggenjot promosi di Instagram.

“Kami juga melakukan gerakan promosi di status WhatsApp anggota, serentak dan bergiliran setiap hari,” terang Pujianto.

Tak hanya lembaga swadaya masyarakat, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyumas juga turut mendorong akselerasi digital, salah satunya bekerja sama dengan Tokopedia untuk mendirikan Tokopedia Center.

Pada tahun 2019, gerai Tokopedia Center dibuka di dua titik, yakni di Desa Gunung Wetan, Kecamatan Jatilawang dan Desa Lesmana, Kecamatan Ajibarang.

“Program yang dilakukan Tokopedia untuk UMKM di desa adalah fasilitasi pembuatan merchant, pembinaan mutu produk hingga fasilitasi pembayaran elektronik,” kata Kepala Dinas Tenaga Kerja, Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Dinakerkopukm) Kabupaten Banyumas, Joko Wiyono.

Dengan akselerasi digital, Joko melihat pelaku UMKM di Banyumas mampu bertahan selama masa pandemi. Selain itu, Joko menyebut, keberadaan Aspikmas juga turut membantu konektifitas komunal para pelaku UMKM.

“Pemerintah aktif membangun kerjasama dengan berbagai pihak untuk kemajuan UMKM. Selain asosiasi dan perusahaan marketplace, kami juga menggandeng kampus Amikom untuk pelatihan digital content marketing ke pelaku UMKM,” pungkasnya.

Pejabat tinggi go digital

Menengok pesatnya akselerasi UMKM di Banyumas dalam merambah pasar digital semakin memupuk optimistis menatap masa depan.

Dengan gawai di tangan, roda ekonomi tak hanya berputar di kota namun juga bergulir cepat di desa.

Setali tiga uang dengan perjuangan para penderes nira kelapa di Desa Semedo.

Melihat peluang emas dari pasar digital, Koperasi Semedo Manise Sejahtera akhirnya menambah karyawan baru yang khusus mengemas branding media sosial dan digital content marketing.

Kini, profesi penderes sudah bukan lagi pekerjaan kaum marginal. Para penderes sudah setara dengan pegawai kantoran.

Metafota ‘pejabat tinggi’ bukan lagi gurauan untuk merendahkan profesi penderes. Mereka telah siap dan layak untuk menanggalkan status kelompok masyarakat prasejahtera.

https://regional.kompas.com/read/2021/10/25/152405878/jalan-panjang-gula-kelapa-banyumas-bangkit-kala-pandemi-hingga-go

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke